KabarOpiniTerkini

Mencari Jiwa Kartini Masa Kini; Dalam Buku “Panggil Aku Kartini Saja” Karya Pramoedya Ananta Toer

Oleh : Prof. Dr. Rena Yulia, S.H., M.H

“Berikanlah padanya cinta, dan orang akan menerima cinta itu kembali. Kata-kata yang ramah tidaklah perlu meminta ongkos, namun dapat berpengaruh begitu besar.” -Kartini

Kartini; Priyayi yang Membumi

BANTEN, biem.co – Pram mengawali Biografi Kartini dengan mengangkat latar belakang garis keturunan Kartini yang seorang priyayi. Hal ini ingin memperlihatkan bahwa meski menjalankan kehidupan bangsawan, tetapi Kartini sangat menentang feodalisme dan perbedaan kasta yang kentara dalam kehidupan adat Jawa. Perlawanan Kartini dalam ketidaksetaraan kehidupan ningrat dan rakyat tidak saja pada adat feodalisme. Tetapi perlawanan ini pun digambarkan oleh Pram pada penjajahan. Kolonialisme.

Pemberontakan Kartini terhadap feodalisme dan kolonialisme merupakan sebuah perlawanan yang “hebat” bagi kaum perempuan di masa itu—bahkan masa sekarang—. Menjalani hidup dalam pingitan, harus berhenti sekolah, adalah hal yang paling menyakitkan bagi Kartini kecil. Belum terjawab pertanyaan tentang cita-cita “mau jadi apa kelak” sudah keburu masuk dalam “kurungan”. Demikian Pram menyebutnya.

Bagi kaum perempuan, pemikiran Kartini tentang cita-cita, adalah sebuah kekuatan untuk menuju sebuah kesuksesan di masa datang. Dengan pemahaman terhadap penderitaan rakyat, dengan pembacaan yang begitu terbuka, Kartini sanggup melawan sebuah fenomena ketidaksetaraan dalam sebuah adat kebiasaan. Anak lelaki boleh bersekolah tetapi anak perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan. Tradisi inilah yang membuat Kartini berontak. Menginginkan untuk tetap bisa bersekolah seperti abangnya. Sebuah pemikiran yang maju. Yang hari ini disebut emansipasi wanita. Pemikiran yang modernitas tetapi tidak melupakan entitas. Sebagai seorang perempuan.

Pram, di halaman 64 mengutip salah satu surat Kartini yang berujar: “Kasihan benar orang tua yang bernasib buruk mempunyai anak-anak perempuan seperti kami. Kami berharap dan berdoa, panjanglah usianya hendaknya dan semoga kelak mereka bangga pada kami, sekalipun kami tiada kan berjalan di bawah payung keemasan yang berkilauan”.

Betapa hebatnya emansipasi yang tumbuh dalam pemikiran Kartini. Seorang perempuan yang ingin memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki tetapi tidak pernah ingin berhenti menjadi perempuan sepenuhnya. Hanya ingin menjadi manusia seutuhnya. Meski ia adalah perempuan. Karena perempuan juga manusia.

Kartini tetap menjadi anak perempuan yang tunduk dan patuh pada sang bapa. Rela menanggalkan cita-cita demi bakti pada pujaan hati. Sebuah kekuatan jiwa yang mulia. Yang mungkin sulit untuk ditemukan pada jiwa-jiwa perempuan zaman sekarang.

Menarik untuk kembali mengkaji makna emansipasi yang begitu melekat pada perjuangan Kartini. Perempuan masa kini yang sangat mengagungkan emansipasi cenderung melupakan entitas diri sebagai seorang perempuan sejati. Lebih kepada ingin menyetarakan kedudukan dengan laki-laki dalam berbagai segi. Padahal Kartini, ingin memaknai perempuan sebagai manusia–sebagaimana laki-laki—yang boleh mengenyam pendidikan tinggi tanpa harus menanggalkan hati bagi pujaan hati. Keluarga.

 Kartini; Ningrat yang Merakyat.

Pemikiran Kartini tidak hanya sebatas pada diri dan kaum perempuan. Tetapi juga terkait dengan rakyatnya. Kehidupan ningrat yang dekat dengan lingkungan pejabat, membuat Kartini tidak bisa menutup mata akan berbagai peristiwa yang menggugah hatinya untuk tetap merasakan penderitaan rakyatnya. “Senafas dengan rakyat”, ungkapnya dalam sebuah suratnya.

Dari suratnya terkait dengan kondisi pemerintahan dengan rakyatnya, terasa sekali kepekaan Kartini dalam melihat sebuah fenomena. Sebut saja fenomena pemberian hadiah warga pribumi kepada para atasan. Kartini menyebut itu sebuah kejahatan yang merusak—hari ini hal tersebut disebut gratifikasi—tetapi pemikiran Kartini tidak sampai disitu. Sebab dari diterimanya hadiah menjadi pertimbangannya. Gaji kecil dan kehidupan yang sulit memaksa para pejabat itu untuk menerima hadiah. Itu pun setelah pemberian yang keempat kali dengan pemikiran bukan dia yang meminta. Disisi lain, warga pribumi menganggap memberi hadiah kepada atasan adalah sebuah tanda hormat dan takzim.

O,Kartini sudah memikirkan perbuatan gratifikasi dan sebab-sebab pejabat melakukan korupsi lebih dari seabad yang lalu.

Tidak mengherankan ketika Pram, di halaman 140, mengungkapkan kekagumannya dengan keheranan terhadap Kartini di usia duapuluhan sudah melihat segi-segi yang terkandung di dalam keputusan pemerintah.

Hal itu sungguh berbeda dengan perempuan hari ini. Kepekaan dan ketajaman berpikir untuk hal-hal yang menyangkut pemerintahan negeri seolah hanya diperuntukkan untuk laki-laki. 30 persen quota perempuan yang dapat diduduki, alih alih emansipasi, yang ada hanya membatasi.

 Kartini; Manifestasi Emansipasi

Pram menyuguhkan berbagai kebisaan Kartini. Seorang seniman. Pembatik dan ahli batik. Seorang pelukis. Ketertarikan pada musik gamelan dan tentu saja, sebagai pengarang. Kajian Pram yang disuguhkan di bab ini, bukan tanpa tujuan. Inilah bentuk emansipasi Kartini.

Perempuan dapat melakukan dan menjadi seperti manusia yang lainnya. Tanpa harus mengingkari jati diri ataupun menggugat laki-laki. Dalam hidupnya, Kartini tetap berbakti pada sang bapa. Meski harus menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki istri. Poligami. Sebuah hal yang selama ini dipahami menjadi sebuah tradisi yang merugikan kaumnya. Perempuan. Tapi itupun dengan rela dijalani demi cinta dan bakti.

Seorang perempuan yang memiliki pemikiran maju di masanya. Tetapi masih memeluk teguh tradisi demi rasa cinta dan sayang kepada bapa. Kepada keluarga. Betapa kepatuhan seorang anak terhadap bapa merupakan manifestasi emansipasi tertinggi dari seorang Kartini. Ini yang perlu dipahami oleh perempuan masa kini.

 Kartini; Pejuang Literasi

Berbagai pemikiran Kartini tentang kaumnya, tentang rakyatnya, tentang cita-citanya, ditumpahkan dalam surat-suratnya terhadap beberapa sahabatnya. Kartini dapat menuliskan apapun yang dipikirkan, dilihat dan dirasakan.

Pemikiran yang maju di masanya tersebut diperoleh dari bacaan yang memang tidak didapat oleh rakyat jelata. Sebagai bangsawan, Kartini beruntung dapat sekolah meski sebentar dan memiliki akses terhadap buku-buku berkat kedudukan bapa nya sebagai Bupati.

Membaca dan menulis merupakan hal yang dilakukan Kartini untuk mengisi masa sunyi nya. Tradisi yang membatasi jasmani, tak lantas membatasi hati dan pikir untuk terus mengkaji. Tumpah ruah lah semua pemikiran dan perasaannya dalam bingkai literasi. Meski raga terpenjara dibalik adat kebiasaan. Tetapi pemikiran yang berani dan modern sanggup mengangkasa ke penjuru negeri bahkan ke luar negeri.

Sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan pengadaban Rakyatku. #Kartini

Pram, menutup kekaguman terhadap Kartini dalam sebuah paragraph akhir di halaman 290:  Kecerdasan yang luar biasa pada jamannya nampak lebih nyata lagi bila dipertentangkan dengan situasinya pada waktu itu; tidak ada perpustakaan, tidak ada toko buku, tidak ada sekolah menengah, tidak ada pesawat radio yang kadangkala menyiarkan pandangan-pandangan keilmuan. Bacaannya tiada tersusun menurut rencana atau acara. Apa saja yang jatuh ke tangannya, baik sebagai hadiah atau dipinjamnya dibaca: majalah, koran, buku, dari hal-hal utama sampai iklan, dan—peraturan – peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah jajahan.

Bagaimana dengan perempuan masa kini. Masihkah jiwa Kartini hadir dalam relung hati sebagai pejuang yang menginspirasi. Atau Kartini hanya sebuah symbol negeri. Sesungguhnya apa yang diingat perempuan masa kini tentang Kartini?

Pramoedya Ananta Tour merekam dengan tajam dan penuh pesona atas sosok Kartini. “Panggil Aku Kartini Saja” menyuguhkan kesejatian emansipasi yang seharusnya diwujudkan oleh perempuan masa kini.

Pembacaan perempuan terhadap karya Pram ini, semoga dapat menghidupkan kembali jiwa Kartini, tak hanya sekedar peringatan setahun sekali, dengan memakai busana khas anak negeri. Melainkan inspirasi bagi perempuan masa kini dalam manifestasi emansipasi.

Habis malam terbitlah terang,
Habis badai datanglah damai,
Habis juang sampailah menang,
Habis duka tibalah suka.
(Kartini)

Prof. Dr. Rena Yulia, S.H., M.H, Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button