SERANG, biem.co – Dalam rangka memperingati lima abad Kesultanan Banten, Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten menyelenggarakan seminar kesultanan bertema “Kesultanan Banten: Masa Lalu, Kini dan yang Akan Datang.”
Bertempat di Auditorium Gedung Rektorat Lt. 3 UIN SMH Banten, acara ini menjadi panggung ilmiah dan budaya yang menyatukan tokoh akademik, sejarawan, budayawan, mahasiswa serta masyarakat luas untuk merefleksikan peran penting Kesultanan Banten dalam sejarah Indonesia dan dunia.
Sultan Banten ke-XVIII, RTB. Hendra Bambang Wisanggeni S, membuka acara dengan menyerukan pentingnya melestarikan nilai luhur Kesultanan sebagai warisan budaya yang menginspirasi pembangunan spiritual dan moral bangsa.
Rektor UIN SMH Banten, Prof. Dr. H. Wawan Wahyuddin, M.Pd, menegaskan bahwa kampus harus menjadi garda terdepan dalam pelestarian sejarah dan pengembangan budaya lokal.
“Kita belajar dari sejarah bukan untuk bernostalgia, tetapi untuk membangun masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Ketua Panitia, Drs. H. Makmun Muzakki, menjelaskan bahwa seminar ini bertujuan membuka ruang akademis bagi diskusi sejarah Kesultanan Banten secara objektif.
“Soal Kesultanan Banten adalah soal budaya, bukan politik. Ini forum ilmiah untuk membahas dan merumuskan kontribusi nilai-nilai kebudayaan dalam pembangunan. Tujuan akhirnya adalah menyatukan kita untuk membangun Banten masa depan.”
Pembicara pertama, sejarawan publik dari Kesultanan Cirebon, Mustaqim Asteja, mengangkat tema “Pararaton Kesultanan Banten: Refleksi Sejarah 5 Abad.” Ia menegaskan bahwa sejarah Banten tidak bisa hanya dilihat sebagai sejarah lokal.
“Membahas sejarah Banten bukan membahas sejarah lokal, tapi sejarah internasional. Karena Banten sudah terkenal dalam jalur perdagangan global sejak abad ke-16,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa keagungan dan pengaruh Banten tercatat dalam manuskrip para penjelajah Portugis.
“Banten pernah menjadi kerajaan Islam paling penting di Indonesia, bahkan menjadi pusat perdagangan terbesar di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pedagang Tionghoa, Arab, Melayu, dan bangsa lainnya berkumpul di sini.”
Sementara itu, Prof. Dr. HMA. Tihami, MA, mengkritisi kondisi sosial Banten saat ini yang dinilai jauh tertinggal dibanding masa kejayaan Kesultanan.
“Banten itu sejarahnya hebat. Masa lalunya gemilang. Tapi sekarang, banyak masyarakat yang tidak bahagia, menganggur, tertinggal. Ini terjadi karena dulu ada yang membimbing, ada yang bertanggung jawab. Sekarang, tidak ada yang memikul dan merawat warisan budaya itu,” tegasnya.
Prof. Tihami menekankan pentingnya mengembalikan kedaulatan budaya Banten pada pemangkunya, yaitu Kesultanan.
“Penempatan kebudayaan sebagai identitas, pemangkunya harus punya kedaulatan budaya. Karena sejak awal kedaulatan kebudayaan Banten itu ada pada Kesultanan, maka perlu dirajut kembali rekonstruksi Kesultanan Banten. Prinsip-prinsipnya ditetapkan dalam forum ini,” tambahnya.
Prof. Mufti Ali, MA, Ph.D, turut memaparkan hasil rekonstruksi perjalanan Maulana Hasanuddin dari 4 sumber lokal , menekankan pentingnya pelurusan narasi sejarah berbasis dokumen otentik.
Seminar ini dimoderatori oleh Ahmad Yani, S.Sos., M.Si, dan berlangsung secara dinamis dengan partisipasi aktif dari peserta.
Melalui seminar ini, forum ini merekomendasikan beberapa hal yang akan disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto. (Red)