Eko SupriatnoKolom

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Oleh: Bung Eko Supriatno

“Nilai seorang pemimpin diukur dari debu di sepatunya, bukan dari kilau di bajunya.” — Bung Eko Supriatno

BANTEN, biem.co – i tengah peta politik Indonesia yang kerap terjebak dalam retorika kosong, Dedi Mulyadi hadir sebagai angin segar. Gubernur Jawa Barat yang dilantik Februari 2025 ini membawa gaya kepemimpinan yang mengubah paradigma: bukan sekadar pidato, melainkan aksi nyata yang langsung menyentuh akar persoalan masyarakat.

Aksi pertamanya menggemparkan. Tanpa rapat panjang atau birokrasi berbelit, ia menutup tambang ilegal di Subang dengan tangan sendiri. “Ini bukan soal kebencian, tapi cinta pada bumi,” ujarnya dalam video viral yang menjadi buah bibir di media sosial. Hasilnya terukur: kerusakan lingkungan berkurang drastis, dan anggaran yang biasa habis untuk perbaikan jalan rusak akibat truk pengangkut bisa dialihkan untuk kebutuhan lain.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Tak berhenti di situ, di bidang pendidikan ia memastikan 12.000 ijazah yang tertahan karena tunggakan sekolah dikembalikan dalam tiga bulan pertama kepemimpinannya. “Pendidikan adalah hak, bukan barang dagangan,” tegasnya. Kebijakan ini berjalan beriringan dengan perbaikan sistem penyaluran dana PIP, di mana audit cepatnya mengungkap 23% penyaluran salah sasaran. Seorang siswi dengan polos mengaku, “Kami bukan keluarga miskin, tapi dapat bantuan ini.” Mendengar keluhan langsung dari masyarakat, Kang DM segera bertindak.

Kekuatan kepemimpinan Kang DM terletak pada rekam jejaknya yang solid sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode, dengan Indeks Kepuasan Masyarakat yang konsisten di atas 85%. Kemampuannya berkomunikasi secara efektif melalui media sosial juga patut diacungi jempol. Konten-kontennya yang cinematic namun sarat substansi membuat 68% warga Jawa Barat mengaku lebih mudah memahami kebijakannya. Tak kalah penting, ia berhasil memadukan nilai-nilai lokal Sunda dengan tuntutan kepemimpinan modern, sehingga 74% masyarakat Sunda merasa benar-benar terwakili.

Namun, di balik segala pencapaiannya, tantangan tak bisa diabaikan. Sistem yang terlalu bergantung pada satu figur rentan menciptakan kelelahan atau bahkan kegagalan jika konsistensi tak terjaga. Birokrasi yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan gaya kerjanya yang cepat pun mengeluh, dengan 30% ASN mengaku kewalahan mengikuti ritme kerjanya.

Di sisi lain, ekspektasi publik yang melambung tinggi 82% warga berharap semua masalah selesai dalam setahun bisa menjadi bumerang jika tak dikelola dengan baik.

Pada akhirnya, Dedi Mulyadi menawarkan template kepemimpinan yang segar: cepat, faktual, dan mudah dipahami. Esensinya bukan tentang mengkultuskan individu, melainkan bagaimana membangun transparansi melalui aksi nyata, mengangkat kearifan lokal tanpa terjebak romantisme semu, serta memanfaatkan media sosial sebagai alat edukasi politik yang efektif. Inilah eksperimen nyata dalam memadukan kredibilitas lapangan dengan kapasitas birokrasi, sebuah model yang hasilnya akan menentukan apakah ia bisa bertahan sebagai perubahan permanen, atau sekadar menjadi fenomena sesaat yang berlalu begitu saja.

Fenomena Pemimpin Tatar Sunda

Di warung kopi pinggir jalan Kasomalang, Subang, obrolan tentang Kang DM mengalir begitu saja. Tanpa diminta, seorang pedagang bakso dengan semangat bercerita: “Dia datang sendiri ke sini waktu jalan kampung kita rusak. Dua hari kemudian, aspal baru sudah terhampar.” Matanya berbinar saat menunjuk jalan mulus di depan warungnya—bukti nyata yang lebih berarti dari ribuan pidato.

Di dunia digital, fenomena serupa terjadi. Sebuah video pendek yang dibuat warga biasa menjadi viral: memperlihatkan perbandingan mencolok antara kelambanan birokrasi daerah lain dengan kecepatan Kang DM merespon keluhan. Dalam satu adegan, seorang nenek mengeluh tentang selokan mampet. Esok harinya, video tim dinas terkait sedang bekerja sudah tayang di akun media sosial gubernur.

Yang mengejutkan, pengaruhnya melampaui batas budaya. Saat berkunjung ke Pongangan, Temanggung—daerah yang kuat dengan tradisi Jawa—nama Kang DM justru sering disebut sebagai teladan kepemimpinan. “Kita butuh pemimpin seperti dia yang kerja nyata,” ujar seorang kerabat, sambil menggelengkan kepala melihat kondisi jalan di wilayahnya.

Tapi seperti halnya fenomena, cahayanya tak lepas dari bayangan. Bisik-bisik tentang masa lalu yang kelam, kehidupan pribadi yang dipertanyakan, hingga kritik dari kelompok tertentu terus mengikuti. Namun di warung-warung kopi Jawa Barat, kritik itu seperti butiran garam di tengah lautan—hanya terasa jika sengaja dicari.

Kekuatan Kang DM terletak pada kemampuannya menjadikan kearifan lokal bukan sekadar pajangan, melainkan nafas kebijakan. Larangan alih fungsi lahan di kawasan hutan bukan hanya tertulis di peraturan, tapi benar-benar ditegakkan—seperti saat ia memaksa tutup tambang ilegal di Subang meski banyak yang menentang.

Pola kepemimpinannya ibarat petani Sunda yang paham musim: tahu kapan harus menabur benih kebijakan, kapan harus memanen dukungan.

Media sosial dijadikan cangkul modern—bukan untuk menggaungkan janji, melainkan menunjukkan bukti kerja.

Pertanyaan besarnya: akankah warisannya bertahan ketika sang aktor tak lagi di panggung? Saat ini yang jelas, Kang DM telah menorehkan catatan penting: di era dimana politik identitas kerap dijadikan senjata, ternyata rakyat lebih menghargai pemimpin yang tangan dan sepatunya lebih sering kotor oleh debu lapangan daripada oleh debu podium.

Kearifan lokal menjadi nafasnya. Ia tak sekadar memakai baju adat Sunda atau menyapa dengan “sampurasun”. Ia menghidupkan filosofi “leuweung hejo, masyarakat ngejo”—hutan hijau, masyarakat makmur.

Saat Gus Dur pernah berkata, “Islam datang ke Indonesia bukan untuk mengganti budaya,” Kang DM menjadi bukti hidup kalimat itu. Ia menjaga alam dengan tangan kanan dan melestarikan budaya dengan tangan kiri, membuktikan bahwa keimanan dan tradisi bisa berjalan seiring, tidak bertentangan.

Mantra Kepemimpinan: Tegas, Cepat, dan Membumi

Kang DM bukan tipe pemimpin yang berdiam di menara gading. Ia memilih turun ke lumpur, berjalan bersama rakyat, dan mendengarkan keluh kesah mereka. Gaya kepemimpinannya mirip dengan tokoh adat atau ulama desa: santai, akrab, dan hangat. Ketika bertemu warga, ia tak tampil sebagai pejabat yang dituntut, melainkan sebagai sahabat yang siap membantu. “Saya bagian dari kalian,” pesan itu tersirat dalam setiap isyaratnya, dan rakyat bisa merasakan kebenarannya.

Gebrakan yang ia lakukan muncul dari spontanitas yang terencana dengan baik. Ia melarang studi banding sekolah yang tak bermanfaat, membongkar bangunan pembohong tanpa izin, dan menghapus denda pajak kendaraan untuk meringankan beban masyarakat.

Media sosial menjadi alat utamanya. Tim konten yang masif dan cerdas merekam setiap ekspresi wajahnya—marah saat menutup tambang ilegal, tersenyum saat membantu anak miskin, atau sedih saat mendengar keluhan warga. Dengan sudut kamera yang tepat, narasi yang memikat, dan cerita yang menggugah, citra Kang DM terbentuk kuat, jauh dari sekadar permainan uang politik. “Rakyat menyukai cerita, entah nyata atau dibuat, asalkan mampu menyentuh hati,” demikian amatan penulis. Dan Kang DM menguasai seni itu dengan luar biasa.

Harapan yang Menggema

Dalam sebuah perjalanan bersama Presiden Prabowo, sebuah kalimat penuh makna terucap: “Saya hanya akan menjadi presiden satu periode, setelah itu Pak Dedi yang melanjutkan.”

Dengan usianya yang tak lagi muda dan riwayat kesehatannya, Prabowo menyadari bahwa waktu adalah sekutu yang tak bisa dirayu. Gerindra, partai yang menjadi rumah bagi keduanya, menjelma sebagai jembatan logistik untuk estafet kepemimpinan ini. Jika misi besar Prabowo—membangun Indonesia yang adil dan makmur—belum rampung, Kang DM hadir sebagai harapan untuk menyelesaikannya.

Kang DM bukan sekadar gubernur Jawa Barat. Ia adalah simbol perlawanan terhadap paradigma usang: bahwa pemimpin Indonesia harus berasal dari suku Jawa karena jumlah penduduknya. Kemenangannya yang telak di Pilkada 2024—meraih 62% suara dan mengungguli Ahmad Syaikhu dari PKS yang hanya mendapat 18%—membuktikan bahwa karakter dan karya nyata jauh lebih berpengaruh daripada identitas politik. Bagi penulis, ini adalah harapan baru bagi suku-suku lain di Nusantara, dan masyarakat tampaknya setuju dengan pandangan itu.

Refleksi atas Sebuah Model Kepemimpinan

Dedi Mulyadi telah menorehkan babak baru dalam politik praktis Indonesia. Melalui pendekatan hands-on dan komunikasi efektif, ia membuktikan bahwa kepemimpinan yang dekat dengan rakyat bukan sekadar wacana. Data Indeks Kepuasan Masyarakat yang konsisten di atas 85% selama kepemimpinannya di Purwakarta menjadi bukti empiris model ini bekerja.

Tiga pelajaran utama yang dapat kita petik dari fenomena ini: Pertama, kebijakan yang responsif dan berbasis bukti langsung dari lapangan mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Kedua, penggunaan media sosial dalam tata kelola pemerintahan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Ketiga, kearifan lokal dapat menjadi kerangka kerja yang efektif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Tantangan ke depan terletak pada upaya melembagakan model ini menjadi sistem yang berkelanjutan. Sejarah telah membuktikan bahwa kepemimpinan karismatik sering kali hanya menjadi fenomena sementara, redup begitu sang figur meninggalkan panggung. Kini, keputusan ada di tangan kita semua—apakah kita akan menjadikan ini sebagai momentum transformasi sejati, atau sekadar mengenangnya sebagai babak menarik dalam dinamika politik nasional. Pilihan itu akan membentuk wajah demokrasi kita di masa mendatang, (Red)

 

BUNG EKO SUPRIATNO, penulis adalah Pengamat Politik, Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Banten.

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button