Eko SupriatnoKolom

Takhayul Pembangunan

Oleh : Bung Eko Supriatno

“Pembangunan sejati adalah ketika manusia berdiri merdeka, keadilan bukan retorika, dan kesejahteraan bukan mimpi—karena perubahan lahir dari tangan yang berani menggenggam nasib sendiri.” — Bung Eko Supriatno

BANTEN, biem.co – negeri ini, sebuah mimpi mengapung di udara, bagai kabut yang diselimuti cahaya fajar. Mimpi itu bernama “pembangunan,” sebuah janji yang seringkali lebih menyerupai ombak yang datang menggulung, tapi tak pernah menyentuh daratan[1].

Ia berselimutkan kata-kata manis yang terus diperdengarkan kepada rakyat: kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan. Di luar sana, kedengarannya begitu indah, seperti lagu yang tak pernah berhenti mengalun. Tapi, ketika kita melangkah lebih dekat, kita akan melihat sesuatu yang berbeda—sebuah ruang hampa yang semakin melebar, kosong dan terpinggirkan oleh kebijakan yang seakan menyentuh setiap permukaan, namun tak pernah menyelam ke dalam[2].

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Sebuah keajaiban yang sering dipamerkan, dicatat dalam buku-buku sejarah, dan diterjemahkan dalam bahasa politik yang indah, namun kosong dari substansi yang menguatkan mereka yang membutuhkan[3].

Masyarakat seakan dipaksa mengenakan topeng kebahagiaan, tersenyum palsu di tengah perut yang keroncongan dan dompet yang semakin kosong. Ketika dunia berbicara tentang pertumbuhan ekonomi yang melesat, mereka yang ada di kaki tanah hanya merasakan hantaman harga yang terus membumbung, sementara upah yang mereka peroleh tak kunjung seimbang dengan biaya hidup yang kian melangit[4].

Di balik gemerlap gedung-gedung tinggi yang menjulang, di balik tumpukan kertas yang tercetak, mereka yang berada di puncak tampak sibuk merancang aturan yang mereka klaim untuk rakyat. Namun, jika kita buka lebih dalam, kita akan menemukan bahwa setiap langkah yang mereka ambil lebih banyak memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka sendiri.

Bukan untuk rakyat, tetapi untuk menambah kekuatan mereka di kursi yang mereka duduki, yang semakin terisolasi dari realitas yang ada di bawahnya[5].

Mimpi pembangunan ini bukanlah barang baru. Ia telah lama menjadi mantra yang diteriakkan dalam setiap sesi percakapan politik, di setiap ruang rapat, dan setiap pembukaan acara publik. Tetapi, meski telah berulang kali diucapkan, ia tetap hanya menjadi sebuah janji yang tak pernah benar-benar terealisasi. Sebuah janji yang diciptakan untuk mengalihkan perhatian, untuk menenangkan mereka yang mulai merasakan getirnya hidup yang semakin terabaikan[6].

Namun, jika kita ingin melihat kenyataannya, kita hanya perlu melangkah keluar, menatap mereka yang ada di jalan-jalan dan pasar-pasar. Mereka yang masih bertahan dengan harapan yang memudar, dengan senyum yang semakin dipaksakan, karena mereka tahu bahwa dalam segala ketidakadilan yang ada, mimpi itu seolah hanya diciptakan untuk mereka yang telah lama terlupakan[7].

Tentara, Polisi, Jaksa

Di sebuah negeri yang seharusnya dibangun atas asas keadilan, kita justru menyaksikan para penjaga dan pelindung yang seharusnya melindungi rakyat, kini semakin jauh dari tujuan asal mereka[8].

Tentara, yang seharusnya berdiri tegak sebagai benteng pertahanan negara, kini seperti bayangan yang menghantui ruang hidup rakyat. Mereka bukan lagi penjaga yang hadir untuk menenangkan, tapi malah terkesan menginvasi kehidupan sehari-hari, masuk ke dalam setiap ruang, merayap ke dalam setiap sudut kehidupan yang seharusnya menjadi hak rakyat untuk merdeka. Kehadiran mereka bukan untuk menjaga, tetapi untuk mengendalikan—sebuah fenomena yang semakin mencemaskan, dimana kekuatan militer seakan ingin menguasai, bukan melindungi[9].

Begitu pula dengan polisi, yang dulu digambarkan sebagai pelayan publik yang rendah hati, yang tugas utamanya adalah menegakkan hukum dan menjaga ketertiban, kini semakin kehilangan arah. Dalam sebuah era yang seharusnya membangun fondasi kepercayaan, mereka justru semakin jauh dari cita-cita Reformasi yang dipersembahkan dengan darah dan air mata.

Polisi, yang dulu menjadi simbol harapan bagi mereka yang tertindas, kini menjadi simbol kebingungannya sendiri—mereka terjebak dalam korupsi kekuasaan, terhimpit antara tugas mereka dan praktik yang menyimpang dari tugas suci mereka[10].

Jaksa, yang diharapkan menjadi wajah dari keadilan, kini lebih suka berlindung di balik kebijakan yang memperkuat posisi mereka, bukan membela rakyat. Mereka meminta kekebalan hukum, seakan ingin menjadi “malaikat di atas malaikat”, tak tersentuh oleh hukum dan pengawasan yang seharusnya mengatur setiap gerak mereka. Seharusnya mereka berdiri di garis depan untuk menegakkan kebenaran, tetapi apa yang kita lihat sekarang? Mereka lebih sering berada di belakang meja, menuntut lebih banyak kekuasaan, sementara rakyat yang mereka janjikan perlindungan, semakin terpinggirkan[11].

Lalu, di mana posisi rakyat dalam semua ini? Rakyat, yang dulu menjadi sentral dari setiap perubahan, kini hanya menjadi penonton dalam panggung besar ini. Mereka dipaksa menerima narasi pembangunan yang terus digembar-gemborkan, tanpa memahami esensi sebenarnya. Mereka diberitahu bahwa “semuanya untuk pembangunan”, sementara dalam kenyataannya, pembangunan ini hanya menguntungkan segelintir orang yang berkuasa, yang menumpuk kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh di tangan mereka. Sementara mayoritas rakyat terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakpastian, perjuangan mereka tetap terabaikan[12].

Pembangunan yang dimaksudkan seharusnya adalah untuk menciptakan kemakmuran yang merata, namun kenyataannya justru memperlebar jurang ketimpangan[13]. Ketika kekuasaan dan otoritas disalahgunakan, keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan. Rakyat hanya dipaksa untuk menerima kenyataan, menelan janji-janji yang tak pernah terwujud, dan hidup dalam bayang-bayang sebuah narasi yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, meskipun mereka tak pernah benar-benar merasakannya[14].

Pejabat Gagal yang Tak Mau Beranjak

Lihatlah, para pejabat itu. Mereka duduk dengan nyaman di kursi-kursi empuk, yang tak pernah lepas dari desiran kekuasaan. Di sekitar mereka, dunia bergerak dengan cepat, namun mereka tetap diam, tenggelam dalam kenyamanan mereka yang tak tergoyahkan.

Ada yang mungkin bertanya: apa yang membuat mereka begitu nyaman, meski tanggung jawab mereka terbengkalai? Apa yang membuat mereka tetap bertahan, meskipun tugas mereka gagal mereka jalankan dengan sebaik-baiknya?[15]

Mereka berlindung di balik jargon-jargon besar—pembangunan, kemajuan, kesejahteraan—seolah-olah itu adalah mantra sakti yang bisa menutupi segala kebusukan yang tersembunyi di balik tindakan mereka yang kosong. Dan kita, dengan segala harapan yang masih menyala, terus saja memercayai bahwa suatu hari nanti semuanya akan berubah. Kita menelan segala janji manis mereka dengan harapan perubahan itu akan datang, meski kita tahu bahwa ini semua hanyalah ilusi belaka. Pembangunan? Kemajuan? Apakah itu lebih dari sekadar kata-kata kosong yang terus-menerus diulang-ulang?[16]

Namun, tak ada yang lebih menyesatkan daripada sebuah takhayul yang diberi wajah manis. Takhayul pembangunan ini bukan hanya tipuan belaka. Ini adalah hipnotis massal yang terus mengikat kita dalam kebodohan yang disamaratakan dengan ketaatan. Kita terus membayar pajak, kita terus mematuhi segala aturan yang diberlakukan, dan kita tetap berharap bahwa suatu saat nanti kita akan merasakan perubahan yang dijanjikan. Padahal, yang terjadi hanyalah pengulangan dari drama yang sama: janji yang belum terwujud, kegagalan yang diabaikan, dan pembenaran tanpa akhir yang selalu diciptakan untuk mengalihkan perhatian kita dari kenyataan[17].

Di dunia yang seharusnya dipenuhi oleh kemajuan, kita malah dibiarkan terjebak dalam perputaran waktu yang tak kunjung membawa kita menuju tujuan. Kegagalan demi kegagalan tak mampu menghentikan mereka untuk tetap berkuasa. Bahkan, tak jarang kita melihat mereka dengan percaya diri mempertahankan jabatan, meski hasil yang mereka hasilkan hanya melahirkan kekecewaan dan penderitaan bagi rakyat. Mereka tetap nyaman di kursi mereka, seolah-olah dunia di luar sana tidak lebih dari sekadar bayang-bayang yang tak perlu mereka pedulikan[18].

Namun, apakah kita harus terus menunggu? Berapa banyak lagi rakyat yang harus menderita sebelum kita menyadari bahwa ini bukan hanya masalah mereka yang berkuasa, tetapi juga masalah kita semua? Berapa lama lagi kita harus mengulang siklus yang sama, di mana mereka yang gagal tetap mempertahankan posisinya, sementara kita, rakyat yang membayar harga untuk kegagalan mereka, hanya bisa menunggu dengan harapan kosong?[19]

Jika ada satu hal yang perlu kita sadari, ini adalah: kita tidak hidup dalam dunia yang berjalan tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas. Kita tidak dilahirkan untuk terus menerus dipaksa mempercayai kebohongan demi kebohongan. Rakyat sudah lelah, dan saatnya untuk membuka mata—untuk berhenti menjadi bagian dari permainan yang sudah usang ini. Tidak ada lagi ruang bagi ilusi. Tidak ada lagi tempat untuk mereka yang menunggangi jabatan mereka untuk keuntungan pribadi, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang pasif. Keputusan ada di tangan kita: apakah kita terus membiarkan takhayul ini menguasai kita, atau kita bangun untuk mengambil kendali atas masa depan kita sendiri?[20]

Hidup Bernegara Macam Apa Ini?

Hidup bernegara macam apa ini? Sebuah pertanyaan yang seharusnya kita ajukan setiap saat, kepada diri kita sendiri, kepada para pemimpin, dan kepada sistem yang sudah terlalu lama kita pertahankan tanpa pertanyaan yang cukup. Hidup bernegara, seharusnya menjadi perjalanan bersama menuju kemajuan, menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun, kenyataannya, kita terjebak dalam sebuah permainan kekuasaan yang menjelma menjadi tuhan baru. Kekuasaan, yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru malah menjadi entitas yang tak tersentuh, tak tergoyahkan, dan semakin menjauh dari kebutuhan dasar rakyat. Di negeri ini, hukum hanya berlaku untuk mereka yang tak punya kuasa, sementara mereka yang memegang kendali bebas dari segala jerat hukum[21].

Ke mana kita harus mencari keadilan, jika hukum itu sendiri telah terkubur dalam jebakan kekuasaan yang rakus? Di mana kita mencari kesejahteraan, jika pembangunan yang dijanjikan hanya menguntungkan segelintir orang yang terhubung dengan mesin kekuasaan? Setiap gedung megah, setiap proyek ambisius yang diklaim sebagai “pembangunan”, hanyalah cermin dari ketidakadilan yang lebih besar. Sementara rakyat, yang sejatinya adalah pemilik negeri ini, terus terhimpit dalam derita. Mereka menjadi penonton dari film yang mereka sendiri tidak pernah pilih. Mereka mendengar janji-janji manis yang tak kunjung terealisasi, sementara di depan mata mereka, kemiskinan dan ketidakadilan semakin merajalela[22].

Kita tidak bisa terus membiarkan takhayul ini menguasai hidup kita. Takhayul yang menyelubungi realitas kita dengan ilusi pembangunan, yang hanya sebuah perwujudan dari kepentingan segelintir elit. Takhayul yang menjadikan rakyat sebagai pelengkap dalam sebuah permainan besar yang sudah diatur sebelumnya. Kita harus bangun. Tidak ada lagi waktu untuk berpura-pura. Tidak ada lagi ruang untuk berharap tanpa tindakan. Harapan yang tanpa tindakan hanyalah mimpi yang terbuang.

Kita harus membuka mata, melihat dunia ini dengan penuh kesadaran, dan menyadari bahwa kita bukan sekadar penonton dalam panggung kehidupan ini. Kita adalah aktor utama yang memiliki hak untuk menentukan arah[23].

Pembangunan sejati tidaklah terukur dari gedung-gedung megah yang dibangun tanpa melibatkan suara rakyat. Pembangunan sejati bukanlah tentang beton dan aspal yang diletakkan di atas tanah, tetapi tentang manusia. Pembangunan sejati adalah tentang keadilan yang merata, kesejahteraan yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, dan martabat yang dihormati oleh setiap individu. Bukan hanya tentang angka-angka yang dikeluarkan untuk membangun infrastruktur, tetapi tentang kesejahteraan yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari rakyat, yang merasakan perubahan nyata di dalam hidup mereka, yang tidak lagi dibayangi ketidakpastian dan ketimpangan[24].

Pembangunan sejati adalah ketika kita, sebagai bangsa, berhasil menghentikan ketidakadilan yang telah mengakar. Pembangunan sejati adalah ketika kita melihat kemajuan dalam pendidikan yang merata, akses kesehatan yang memadai, dan peluang ekonomi yang terbuka untuk semua, bukan hanya segelintir orang yang berada di puncak kekuasaan. Pembangunan sejati adalah ketika hukum berlaku setara bagi setiap orang, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, dan tanpa kompromi[25].

Jika kita terus mendiamkan keadaan ini, jika kita terus membiarkan kekuasaan menjadi tuhan baru yang bebas dari kontrol, maka kita akan terus hidup dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Tapi jika kita berani membuka mata, menyadari bahwa kita adalah bangsa yang besar, yang berhak menentukan nasibnya sendiri, maka kita akan mulai melihat bahwa perubahan itu tidak hanya mungkin—itu adalah keniscayaan[26].

Hidup bernegara macam apa ini? Itu adalah pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri, setiap saat. Pertanyaan yang menuntut kita untuk bertindak, menuntut kita untuk berani melawan ilusi yang telah mengikat kita terlalu lama. Kita harus berani, seperti yang dilakukan oleh setiap pejuang sejati di sepanjang sejarah kita. Kita harus berani mengatakan bahwa kita tidak akan lagi tertipu oleh janji palsu, bahwa kita tidak akan lagi diam dan menerima takdir yang ditentukan oleh mereka yang tidak mengerti perjuangan rakyat[27].

Ini saatnya untuk bangkit. Ini saatnya untuk membangun negara yang sejati. Negara yang berlandaskan pada keadilan, kesejahteraan, dan martabat manusia. Negara yang bukan hanya untuk mereka yang di atas, tetapi untuk kita semua[28]. (Red)

Bung Eko Supriatno, penulis adalah Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Banten, dan Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

 

 DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdoellah, O. S. (2016). Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Di Persimpangan Jalan. https://books.google.com
  2. Abdullah, O. S. (2017). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan.
    https://books.google.com
  3. Akib, I. (2023). Urgensi Reformasi Agraria dalam Menegakkan Hak Asasi Manusia dan Good Governance. http://ojs.unpatompo.ac.id
  4. Candrawati, C., & Nugroho, A. A. (2024). Analisis Potensi dan Ketimpangan Pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau. http://repository.stialan.ac.id
  5. Fauzi, A., & Oxtavianus, A. (2014). Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. http://ejournal.unisba.ac.id
  6. Fawaid, A. (2010). Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance.
    http://ejournal.iainmadura.ac.id
  7. Ghany, H. (2018). Penyelenggaraan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Sekolah Dasar. http://journal.stitpemalang.ac.id
  8. Indrianti, N. (2022). Pembangunan Berkelanjutan. http://eprints.upnyk.ac.id
  9. Lubis, A. (2007). Energi Terbarukan dalam Pembangunan Berkelanjutan.
    https://www.neliti.com
  10. Pratiwi, N., Santosa, D. B., & Ashar, K. (2018). Analisis Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Timur. http://jurnal.uns.ac.id
  11. Rahadian, A. H. (2016). Strategi Pembangunan Berkelanjutan. https://www.academia.edu
  12. Sadono, T. P. (2017). Good Governance sebagai Model Retoris.
    http://journal.ubm.ac.id
  13. Salim, E. (2010). Pembangunan Berkelanjutan.
    http://madaniberkelanjutan.id
  14. Satibi, I., & Ediyanto, E. (2020). Etika dan Perilaku Birokrasi dalam Mendukung Penguatan Good Governance. http://ejournal.fisip.unjani.ac.id
  15. Suparmoko, M. (2020). Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan Regional. http://journal.budiluhur.ac.id
  16. Yurizal, R., & Aripin, S. (2022). Ketimpangan Penyediaan Pelayanan Keimigrasian di Daerah Terpencil. http://jurnal.stialan.ac.id
  17. Zai, S., & Sabailaket, A. S. (2024). Analisis Peran Kebijakan Fiskal dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi di Negara Berkembang. http://sihojurnal.com

 

[1] Rahadian, A. H. (2016). Strategi Pembangunan Berkelanjutan. Membahas peran dana desa dalam mendorong ekonomi lokal serta kaitannya dengan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. https://www.academia.edu

[2] Salim, E. (2010). Pembangunan Berkelanjutan. Menyajikan tantangan pembangunan berkelanjutan, termasuk masalah ketimpangan sosial dan ekonomi. http://madaniberkelanjutan.id

[3] Suparmoko, M. (2020). Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan Regional. Mengkaji konsep pembangunan berkelanjutan dan penerapannya dalam perencanaan pembangunan nasional dan regional. http://journal.budiluhur.ac.id

[4] Fauzi, A., & Oxtavianus, A. (2014). Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Membahas cara mengukur pembangunan berkelanjutan, termasuk analisis ketimpangan sosial dan ekonomi. http://ejournal.unisba.ac.id

[5] Indrianti, N. (2022). Pembangunan Berkelanjutan. Fokus pada tujuan pembangunan berkelanjutan dan tantangan implementasinya dalam konteks Indonesia. http://eprints.upnyk.ac.id

[6] Abdoellah, O. S. (2016). Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Di Persimpangan Jalan. Mengkritik implementasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dengan fokus pada hambatan yang ada. https://books.google.com

[7] Lubis, A. (2007). Energi Terbarukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Membahas peran energi terbarukan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. https://www.neliti.com

[8] Satibi, I., & Ediyanto, E. (2020). Etika dan Perilaku Birokrasi dalam Mendukung Penguatan Good Governance. Mengulas pentingnya etika birokrasi dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan good governance. http://ejournal.fisip.unjani.ac.id

[9] Fawaid, A. (2010). Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance. Membahas hubungan antara budaya korupsi dan penerapan prinsip good governance dalam pembangunan. http://ejournal.iainmadura.ac.id

[10] Zai, S., & Sabailaket, A. S. (2024). Analisis Peran Kebijakan Fiskal dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi di Negara Berkembang.

Menyoroti peran kebijakan fiskal dalam mengurangi ketimpangan ekonomi di negara berkembang. http://sihojurnal.com

[11] Yurizal, R., & Aripin, S. (2022). Ketimpangan Penyediaan Pelayanan Keimigrasian di Daerah Terpencil. Membahas ketimpangan dalam penyediaan pelayanan publik di daerah terpencil, terkait dengan prinsip good governance. http://jurnal.stialan.ac.id

[12] Candrawati, C., & Nugroho, A. A. (2024). Analisis Potensi dan Ketimpangan Pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau. Fokus pada ketimpangan pembangunan regional dan potensi yang dapat dikembangkan. http://repository.stialan.ac.id

[13] Sadono, T. P. (2017). Good Governance sebagai Model Retoris. Membahas konsep good governance sebagai model dalam pembangunan dan kebijakan publik. http://journal.ubm.ac.id

[14] Akib, I. (2023). Urgensi Reformasi Agraria dalam Menegakkan Hak Asasi Manusia dan Good Governance. Membahas hubungan antara reformasi agraria, hak asasi manusia, dan prinsip good governance. http://ojs.unpatompo.ac.id

[15] Pratiwi, N., Santosa, D. B., & Ashar, K. (2018). Analisis Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Timur.

Membahas implementasi pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur dan tantangannya. http://jurnal.uns.ac.id

[16] Ghany, H. (2018). Penyelenggaraan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Sekolah Dasar. Menjelaskan peran pendidikan dasar dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan. http://journal.stitpemalang.ac.id

[17] Abdullah, O. S. (2017). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Membahas hubungan antara ekologi manusia dan prinsip pembangunan berkelanjutan. https://books.google.com

[18] Satibi, I., & Ediyanto, E. (2020). Etika dan Perilaku Birokrasi dalam Mendukung Penguatan Good Governance. Membahas etika birokrasi dalam memperkuat penerapan good governance. http://ejournal.fisip.unjani.ac.id

[19] Fawaid, A. (2010). Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance. Mengkritik praktik korupsi dan bagaimana hal itu mempengaruhi good governance. http://ejournal.iainmadura.ac.id

[20] Zai, S., & Sabailaket, A. S. (2024). Analisis Peran Kebijakan Fiskal dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi di Negara Berkembang.

Membahas strategi kebijakan fiskal dalam mengurangi ketimpangan ekonomi di negara berkembang. http://sihojurnal.com

[21] Yurizal, R., & Aripin, S. (2022). Ketimpangan Penyediaan Pelayanan Keimigrasian di Daerah Terpencil.

Analisis tentang ketimpangan dalam pelayanan keimigrasian, relevansi dengan good governance. http://jurnal.stialan.ac.id

[22] Candrawati, C., & Nugroho, A. A. (2024). Analisis Potensi dan Ketimpangan Pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau. Mengkaji potensi dan ketimpangan pembangunan di provinsi Kepulauan Riau. http://repository.stialan.ac.id

[23] Sadono, T. P. (2017). Good Governance sebagai Model Retoris. Mengupas teori dan penerapan good governance dalam berbagai kebijakan publik. http://journal.ubm.ac.id

[24] Akib, I. (2023). Urgensi Reformasi Agraria dalam Menegakkan Hak Asasi Manusia dan Good Governance.

Membahas urgensi reformasi agraria dan kaitannya dengan hak asasi manusia dan good governance. http://ojs.unpatompo.ac.id

[25] Rahadian, A. H. (2016). Strategi Pembangunan Berkelanjutan. Kembali menyoroti pentingnya dana desa dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi lokal yang inklusif. https://www.academia.edu

[26] Salim, E. (2010). Pembangunan Berkelanjutan. Menyajikan tantangan pembangunan berkelanjutan dan bagaimana ketimpangan sosial dapat diatasi. http://madaniberkelanjutan.id

[27] Suparmoko, M. (2020). Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan Regional.

Membahas penerapan konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional dan regional. http://journal.budiluhur.ac.id

[28] Fauzi, A., & Oxtavianus, A. (2014). Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Mengkaji pengukuran pembangunan berkelanjutan serta dampaknya terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi. http://ejournal.unisba.ac.id

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button