Eko SupriatnoKolom

KPU, Pilkada Ulang, dan Kegagalan Demokrasi

Oleh : Bung Eko Suproatno, Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

BANTEN, biem.co – Pilkada Ulang di 24 daerah, sebuah peristiwa yang seharusnya menjadi sekadar catatan administratif, malah berubah menjadi cermin keretakan dalam fondasi demokrasi Indonesia. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) menyentakkan kita pada kenyataan pahit tentang kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu kita: Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sebuah lembaga yang seharusnya menjadi simbol kemurnian demokrasi, kini terperosok dalam kontroversi yang menggugah pertanyaan mendalam: Apakah kita benar-benar masih memiliki sistem pemilu yang jujur dan transparan, atau hanya sekadar pesta demokrasi yang dihiasi dengan kesalahan dan keraguan?[1]

Pernahkah kita bertanya, seberapa kuat integritas KPU kita dalam menjalankan tugasnya? Dan, lebih dari itu, apakah kita siap menerima kenyataan bahwa pemilu, yang seharusnya menjadi puncak kematangan bernegara, justru semakin terjebak dalam kompleksitas yang tak terkelola?[2]

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Pemilu, yang seharusnya mencerminkan kehendak rakyat, kini dipertanyakan: apakah suara kita benar-benar dihitung dengan adil, ataukah hanya menjadi alat legitimasi yang cacat, yang disusun oleh tangan-tangan yang terinfeksi oleh kekuasaan?[3]

Sebagai bangsa, kita berhadapan dengan dilema besar. Demokrasi kita, yang seharusnya menjadi pengejawantahan dari suara rakyat, justru berada di persimpangan jalan yang memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Pemilu adalah ujian, tapi apakah kita lulus dengan gemilang, atau justru berada dalam ujian yang tak pernah kita sadari kelemahannya? PSU ini adalah cermin kegagalan yang tak bisa kita abaikan, sebuah peringatan bahwa sistem pemilu kita, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, bisa runtuh hanya karena sedikit kelalaian.[4]

Apa yang terjadi ketika lembaga penyelenggara pemilu gagal menjalankan tugasnya dengan integritas? Ketika hasil pemilu dipertanyakan dan mekanismenya diragukan? Apa artinya demokrasi ketika kepercayaan publik goyah, dan ketika legitimasi suara rakyat dipertaruhkan?

Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa ini, kita harus berani melihat ke dalam—menilai kembali, memperbaiki, dan memperkuat kembali sistem demokrasi yang selama ini kita percayai. Karena jika kita tidak melakukannya, bukan hanya KPU yang akan tercoreng, tetapi seluruh fondasi demokrasi yang kita bangun dengan susah payah.

Evaluasi Kinerja KPU

Keputusan untuk mengadakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah seharusnya menjadi momen yang menuntut kita semua untuk berhenti sejenak, melihat, dan mengevaluasi kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara menyeluruh. Ini lebih dari sekadar menilai seberapa efisien mereka dalam melaksanakan tugas teknis, lebih dari sekadar soal bagaimana mereka mengatur logistik, mendistribusikan formulir, atau menghitung suara. Ini adalah kesempatan emas untuk mengevaluasi apakah KPU masih memiliki ruh independensi dan integritas, dua pilar yang seharusnya menjadi napas dari lembaga penyelenggara pemilu di negeri ini.[5]

Tanpa jaminan bahwa anggota KPU yang dipilih berasal dari mereka yang memiliki rekam jejak yang bersih dan tak tercemar oleh kepentingan tertentu, maka kita hanya akan menciptakan mesin pemilu yang rapuh, yang mudah dipengaruhi oleh kekuatan politik dan finansial. Proses seleksi yang terbuka, transparan, dan penuh integritas bukan hanya menjadi sebuah harapan, tetapi juga kewajiban jika kita ingin melangkah ke masa depan yang lebih baik. Jika tidak, kita akan terjebak dalam siklus kegagalan yang berulang, yang hanya mengundang keraguan lebih banyak lagi.[6]

Masalah yang muncul dari PSU ini, meskipun tampak sepele di permukaan, adalah gambaran dari betapa rapuhnya mekanisme penyelenggaraan pemilu kita. Di tengah kemajuan teknologi yang seharusnya memudahkan kita mencapai tingkat transparansi yang lebih tinggi, kita malah dihadapkan pada kenyataan bahwa pemilu kita sering kali sulit dipercaya. Pengawasan yang lemah, validasi suara yang terganggu, dan prosedur yang tidak konsisten hanya mengarah pada satu hal: menurunnya kredibilitas sistem demokrasi kita.

Inilah mengapa evaluasi terhadap KPU harus dilakukan secara holistik. Tidak hanya sekadar melihat masalah teknis, tetapi juga menyoroti akar permasalahan yang lebih dalam. Apakah KPU kita benar-benar siap menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks? Apakah mereka cukup mandiri untuk menanggalkan segala bentuk intervensi politik dan menjaga netralitas? Apakah mereka sudah cukup transparan dalam setiap tahapan pemilu, agar masyarakat bisa mempercayai bahwa suara mereka dihitung dengan jujur dan adil?

Di dunia yang semakin digital dan terhubung, di mana informasi bisa tersebar dalam hitungan detik, rakyat membutuhkan lebih dari sekadar janji. Mereka membutuhkan kepastian bahwa suara mereka benar-benar didengar, dan bahwa hasil pemilu yang dihasilkan adalah cerminan nyata dari kehendak mereka. Jika kita gagal dalam evaluasi ini, jika kita hanya terus berdiam diri dan membiarkan sistem ini terjerat dalam kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka bukan hanya KPU yang akan tercoreng, tetapi demokrasi itu sendiri yang akan semakin rapuh.

Kita tak boleh lagi terjebak dalam retorika kosong tentang perbaikan yang tak pernah terwujud. Evaluasi yang mendalam dan perubahan sistemik adalah langkah yang harus diambil dengan segera. Jika kita terus-menerus mengabaikan aspek-aspek mendasar dalam penyelenggaraan pemilu, kita hanya akan menciptakan ilusi demokrasi, bukan demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang sehat dimulai dari pemilu yang kredibel, dan itu dimulai dengan perbaikan yang konkret, bukan sekadar janji kosong yang hanya menjadi angin lalu.

Pentingnya Perbaikan Berkelanjutan

Pemilu bukan sekadar acara rutinitas lima tahunan yang bisa dilewati begitu saja dengan janji-janji kosong dan harapan kosong pula. Pemilu adalah ujian bagi demokrasi Indonesia, ujian yang tidak hanya diuji oleh angka suara yang tercatat di TPS, tetapi oleh integritas dan kredibilitas sistem yang menanggulanginya. Setiap celah yang muncul, baik itu dari masalah teknis hingga kegagalan sistemik, adalah retakan yang dapat menghancurkan pondasi demokrasi kita. Dan jika kita terus mengabaikan celah-celah ini, kita hanya akan mengukir sejarah kegagalan, bukan kesuksesan.[7]

Penyelenggaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah menjadi gambaran jelas dari masalah mendalam yang belum tuntas diselesaikan. PSU bukan hanya soal menghitung kembali suara atau memilih kembali, ini adalah panggilan untuk refleksi mendalam. Ini adalah titik balik, bukan kegagalan yang bisa disapu begitu saja. Karena jika kita tidak melihat PSU ini sebagai peluang untuk perbaikan berkelanjutan, kita hanya akan semakin terperangkap dalam lingkaran setan ketidakpercayaan publik. Demokrasi kita yang rapuh ini membutuhkan lebih dari sekadar pemilu yang digelar dengan teknis yang rapi, namun juga harus dijaga oleh sistem yang kokoh dan terjaga integritasnya.[8]

Komisi II DPR, yang bertanggung jawab dalam seleksi anggota KPU, memegang peran krusial dalam proses ini. Tanggung jawab mereka jauh lebih besar dari sekadar memilih nama-nama untuk duduk di kursi KPU.

Mereka harus memastikan bahwa setiap calon yang terpilih bukan hanya memiliki keahlian dalam hal teknis, tetapi juga memiliki kapasitas untuk menjaga integritas di tengah godaan politik yang kerap datang dengan cara licik. KPU yang baik tidak hanya menyelenggarakan pemilu dengan baik, tetapi juga harus mampu menjaga independensinya dari segala bentuk intervensi eksternal yang bisa merusak citra mereka di mata publik. Ini adalah ujian yang sesungguhnya, ujian bagi lembaga yang mengemban amanah besar dalam menjaga jalannya demokrasi.

Independensi KPU adalah elemen kunci bagi pemilu yang jujur dan transparan. KPU harus bebas dari intervensi pemerintah atau partai politik. Tidak ada satu pihak pun yang boleh mengendalikan KPU. KPU bukanlah alat politik, bukan alat untuk memenangkan pihak tertentu, tetapi alat untuk memastikan suara rakyat dihitung dengan adil.

Secara institusional, KPU harus bebas dari tekanan eksternal; fungsinya harus berjalan dengan prinsip objektivitas dan netralitas, bukan untuk memuaskan kepentingan pihak tertentu. Dan yang terpenting, komisioner-komisioner KPU harus memiliki integritas pribadi yang tak tergoyahkan, mampu menjaga netralitas dalam setiap situasi.

Namun, tantangan sesungguhnya tidak hanya pada aspek independensi ini, melainkan juga pada bagaimana sistem internal KPU itu sendiri dikelola. KPU harus terus mengembangkan kapasitas dan kapabilitasnya, memastikan bahwa setiap tahapan pemilu dilaksanakan dengan ketelitian tinggi dan penuh transparansi. Jangan sampai verifikasi faktual, yang selama ini menjadi sorotan, justru menciptakan ketidakadilan atau diskriminasi. Setiap pihak harus merasa bahwa mereka diperlakukan dengan adil dan dihargai dalam sistem ini.

Di tengah kekhawatiran yang terus berkembang tentang kualitas pemilu kita, reformasi sistemik menjadi keharusan. Setiap pemilu adalah ujian bagi kepercayaan publik pada demokrasi. Kita tidak bisa terus-menerus hanya berbicara tentang perbaikan, tetapi harus memulai langkah konkret yang bisa mengubah segala kelemahan yang ada. Undang-Undang Pemilu yang akan direvisi pada 2025 bukan hanya sekadar perubahan tekstual. Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki setiap kekurangan yang ada, menguatkan kelembagaan KPU dan Bawaslu agar mereka lebih efektif dalam menjalankan tugasnya.

Masa depan pemilu di Indonesia bergantung pada seberapa serius kita dalam melakukan perubahan yang mendalam dan nyata. Pemilu bukan hanya sebuah momen untuk memilih pemimpin, tetapi juga momen untuk membuktikan bahwa kita bisa menjadi negara yang demokratis, adil, dan transparan. Oleh karena itu, kita harus terus mendorong reformasi berkelanjutan, bukan hanya di dalam KPU, tetapi di seluruh sistem yang mendasari pemilu kita.

KPU yang terpilih ke depan harus memiliki kapasitas yang jauh lebih baik dalam menjalankan tugasnya. Kita tidak hanya ingin pemilu yang efisien, tetapi juga yang berintegritas tinggi. Kita tidak ingin pemilu yang hanya menjadi ajang untuk memenangkan politik, tetapi juga untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita bisa berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Jika kita terus mengabaikan celah yang ada, kita hanya akan menciptakan demokrasi yang penuh dengan ilusi, bukan kenyataan.

Maka dari itu, saat kita melihat PSU di 24 daerah ini, kita tidak boleh hanya melihatnya sebagai sebuah kegagalan, tetapi sebagai kesempatan untuk mereset dan memperbaiki sistem. Demokrasi kita bukan sesuatu yang bisa kita anggap remeh atau biarkan begitu saja berjalan tanpa perubahan. Ia adalah perjalanan panjang yang membutuhkan upaya dan keseriusan dalam menjaga integritas.

Jika kita gagal melakukannya, kita tidak hanya akan kehilangan kepercayaan rakyat, tetapi juga menghancurkan fondasi demokrasi itu sendiri.

Menjaga Integritas, Meningkatkan Kualitas Demokrasi

Pada akhirnya, Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah harus kita pandang bukan sebagai sebuah kegagalan, melainkan sebagai sebuah peluang besar untuk melakukan introspeksi dan perbaikan yang mendalam. Begitu banyak yang perlu disoroti, tetapi jika kita bisa menanggapi hal ini dengan keteguhan hati, dengan evaluasi yang jujur dan terbuka, kita akan menemukan jalan untuk memperbaiki sistem ini. KPU, sebagai lembaga yang memegang kunci demokrasi kita, tidak boleh hanya menjadi mesin administrasi yang berjalan tanpa kesadaran penuh akan tanggung jawab besar yang dipikulnya. Ia harus hadir dengan integritas dan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu yang benar-benar mencerminkan suara rakyat.[9]

Reformasi sistem pemilu bukanlah sekadar urusan teknis atau administratif. Itu adalah perjuangan untuk memastikan bahwa setiap suara, sekecil apapun, dihitung dengan adil, transparan, dan tanpa ada kekhawatiran akan kecurangan atau manipulasi. KPU bukanlah sekadar alat negara yang memfasilitasi proses pemilu, tetapi penjaga harapan rakyat yang ingin suaranya dihargai, diakui, dan diperhitungkan dalam menentukan arah bangsa. Jika kita mengabaikan hal ini, maka kita akan terus terperangkap dalam lingkaran kebohongan yang menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.[10]

Namun, perubahan bukanlah hal yang instan. Ini adalah perjalanan panjang, dan kita harus siap dengan langkah-langkah nyata untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi ketidakadilan atau ketidaktransparanan.

Perbaikan yang berkelanjutan adalah hal yang tak terhindarkan. Setiap kali ada celah yang merusak kredibilitas pemilu, kita harus siap menghadapinya dengan sikap kritis, bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk memperbaiki. Kita harus memastikan bahwa setiap tahapan pemilu dilakukan dengan penuh ketelitian, dan setiap lembaga yang terlibat bisa melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Jangan biarkan PSU yang terjadi di 24 daerah ini menjadi noda yang sulit dihapus dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Jangan biarkan kita menjadi bangsa yang hanya bergantung pada ilusi demokrasi, tanpa fondasi yang kuat. Kita harus bergerak menuju reformasi yang lebih dalam, bukan hanya di dalam lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga dalam sistem yang lebih luas. Untuk itu, diperlukan keberanian untuk terus bertanya: apakah kita sudah cukup serius dalam menjaga integritas pemilu, atau kita hanya bermain-main dengan kata-kata besar yang akhirnya kehilangan maknanya?

Demokrasi kita adalah pilihan yang kita buat setiap hari. Pilihan untuk mendengarkan, untuk memperbaiki, dan untuk menjaga kepercayaan rakyat. Jika kita tidak melakukan itu, maka kita akan kehilangan arah, dan pemilu akan berubah menjadi sekadar formalitas. Ini adalah ujian besar bagi kita semua—apakah kita siap menjaga integritas demokrasi kita atau hanya akan melanjutkan permainan yang penuh tipu daya. Apa yang terjadi di PSU ini adalah cermin bagi kita semua untuk melihat sejauh mana kita siap untuk memperbaiki diri dan membangun demokrasi yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih adil. (Red)

[1] Habermas menekankan pentingnya integritas dan transparansi dalam demokrasi. PSU menggugah pertanyaan tentang apakah sistem pemilu kita masih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. http://plato.stanford.edu/entries/habermas/

[2] Putnam mengingatkan tentang pentingnya legitimasi dalam demokrasi. PSU menunjukkan bagaimana hilangnya kepercayaan publik terhadap KPU dapat mengancam legitimasi sistem pemilu. http://www.jstor.org/stable/10.1086/692177

[3] Putnam membahas penurunan keterlibatan sosial yang dapat melemahkan demokrasi. PSU mengindikasikan berkurangnya kepercayaan terhadap pemilu dan dampaknya terhadap kohesi sosial. http://www.simonandschuster.com/books/Bowling-Alone/Robert-D-Putnam/9780743203043

[4] Rendahnya akuntabilitas KPU dalam PSU mencerminkan masalah akuntabilitas publik yang bisa merusak integritas demokrasi. http://www.oxfordscholarship.com/view/10.1093/acprof:oso /9780199239899.001.0001/acprof-9780199239899

[5] Kode Etik NASW menekankan pentingnya integritas dalam setiap keputusan publik. KPU harus menjaga integritas dan transparansi agar pemilu benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. http://www.socialworkers.org/about/ethics/code-of-ethics

[6] Putnam menyatakan bahwa sistem demokrasi rapuh jika dipegang oleh individu tanpa integritas. Pemilu yang adil membutuhkan proses seleksi anggota KPU yang transparan dan berintegritas. http://www.jstor.org/stable/10.1086/692177

[7] Putnam menekankan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat dalam demokrasi. Pemilu seharusnya tidak hanya menjadi rutinitas, tetapi juga mencerminkan keinginan rakyat. http://www.simonandschuster.com/books/Bowling-Alone/Robert-D-Putnam/9780743203043

[8] PSU seharusnya menjadi kesempatan untuk memperbaiki sistem akuntabilitas pemilu agar kepercayaan publik tetap terjaga. http://www.oxfordscholarship.com/view/10.1093/acprof:oso /9780199239899.001.0001/acprof-9780199239899

[9] Habermas mengingatkan tentang pentingnya komunikasi bebas distorsi. PSU mencerminkan adanya distorsi dalam pemilu yang merusak kepercayaan terhadap transparansi dan keadilan sistem pemilu. http://plato.stanford.edu/entries/habermas/

[10] Evaluasi terhadap PSU seharusnya menjadi bagian dari upaya memperbaiki sistem akuntabilitas pemilu untuk menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi. www.oxfordscholarship.com/view/10.1093/acprof:oso /9780199239899.001.0001/acprof-9780199239899

DAFTAR PUSTAKA

  1. Habermas, J. (n.d.). Jürgen Habermas. Stanford Encyclopedia of Philosophy.

Diakses dari: http://plato.stanford.edu/entries/habermas/

  1. (2017). Code of Ethics. National Association of Social Workers.

Diakses dari: http://www.socialworkers.org/about/ethics/code-of-ethics

  1. Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community.

Diakses dari: http://www.simonandschuster.com/books/Bowling-Alone/Robert-D-Putnam/9780743203043

  1. Putnam, R. D. (2017). Political Legitimacy and Normative Disorientation in European Liberal Democracies.

Diakses dari: http://www.jstor.org/stable/10.1086/692177

  1. Bovens, M., Goodin, R. E., & Schillemans, T. (2008). Does Public Accountability Work? An Assessment Tool.

Diakses dari: http://www.oxfordscholarship.com/view/10.1093/acprof:oso/9780199239899.001.0001/acprof-9780199239899

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button