InspirasiOpini

Tolak Kaplingisasi Laut!

oleh : Bung Eko Supriatno

“Laut Bukan untuk Dijual: Lawan Kaplingisasi, Selamatkan Masa Depan Rakyat!”  — Bung Eko Supriatno

BANTEN, biem.co – Laut bukan sekadar bentangan air asin yang memisahkan daratan, melainkan ruang hidup bersama, sumber penghidupan, dan simbol kedaulatan bangsa. Namun, apa jadinya jika laut, yang sejatinya adalah milik publik, tiba-tiba dipetak-petak layaknya sebidang tanah kosong untuk bisnis? Di pesisir utara Tangerang, Banten, praktik absurd ini terbongkar. Sebanyak 263 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) diduga diterbitkan untuk pagar laut, sebuah ironi yang menyentuh absurditas hukum dan moral.

Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, dengan tegas menyebut praktik ini ilegal. “Bagaimana ceritanya, itu ilegal! Laut kok dikasih HGB? Seharusnya HGB hanya untuk daratan,” ujarnya, menampar logika dasar tata ruang yang selama ini kita yakini. Agus menuding ada campur tangan pemerintah dalam penerbitan sertifikat-sertifikat ini. “Tanpa keterlibatan pemerintah, mustahil sertifikat itu bisa terbit,” tambahnya.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyatakan komitmennya untuk mengevaluasi dan membatalkan sertifikat yang terbukti melanggar. Nusron menegaskan bahwa jika sertifikat cacat hukum atau prosedural, pembatalan bisa dilakukan tanpa menunggu keputusan pengadilan, asalkan usianya belum mencapai lima tahun. Namun, langkah ini perlu lebih dari sekadar evaluasi administratif. Ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab: siapa yang memungkinkan terbitnya sertifikat-sertifikat ini? Bagaimana mungkin laut, yang seharusnya menjadi ruang publik, bisa diprivatisasi hingga menjadi objek bisnis?

Ketika laut mulai di-”kapling,” bukan hanya keadilan sosial yang ternoda, tetapi juga masa depan rakyat yang bergantung pada laut itu sendiri. Laut adalah hak bersama, bukan milik segelintir korporasi. Jika praktik semacam ini dibiarkan, jangan kaget jika harapan rakyat kecil untuk hidup dari laut makin terpinggirkan, bahkan mati perlahan.[1]

Hilirisasi yang adil adalah keharusan, tapi kaplingisasi laut harus ditolak dengan tegas! Sebab, jika laut dijadikan komoditas eksklusif, apa yang tersisa untuk generasi mendatang?

Kaplingisasi laut bukan sekadar persoalan hukum; ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar keadilan dan hak rakyat atas sumber daya alamnya.

Reklamasi dan Ancaman Kaplingisasi Laut

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menunjukkan komitmennya untuk menegakkan visi Presiden dalam melindungi sumber daya maritim dan membela hak masyarakat pesisir.[2] Namun, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendirian. Dukungan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sangat diperlukan. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa sertifikat yang terbukti cacat hukum atau prosedural dapat dibatalkan tanpa menunggu keputusan pengadilan, selama usianya belum mencapai lima tahun. Namun, langkah administratif saja tidak cukup. Pertanyaan fundamental tetap harus dijawab: siapa yang memungkinkan terbitnya sertifikat-sertifikat ini? Apakah ada pengawasan yang lemah, atau justru ada pembiaran sistematis?

Reklamasi, yang dalam praktik idealnya bertujuan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan bersama, sering kali menjadi alat yang menguntungkan segelintir elit ekonomi dan politik. Dalam kasus reklamasi di Indonesia, korporasi besar mendapatkan keuntungan besar, sementara masyarakat pesisir justru kehilangan akses terhadap ruang hidup dan sumber penghidupan mereka. Ekosistem laut hancur, nelayan terpinggirkan, dan dampak sosialnya sering kali diabaikan.

Bandingkan dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Singapura, dan Jepang. Reklamasi di negara-negara tersebut dilakukan dengan perencanaan matang, melibatkan masyarakat lokal, dan diarahkan untuk kepentingan bersama. Di Singapura, misalnya, Sentosa Island menjadi magnet wisata global tanpa mengorbankan nelayan lokal. Sementara itu, di Indonesia, reklamasi lebih sering meminggirkan rakyat kecil demi kepentingan segelintir pengembang.

Kaplingisasi laut bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga ancaman serius terhadap keadilan sosial dan ekologis.[3] Jika laut yang seharusnya menjadi ruang publik diubah menjadi properti pribadi, apa yang tersisa untuk generasi mendatang? Ketika akses terhadap laut menjadi eksklusif, rakyat kecil kehilangan kesempatan untuk bermimpi. Pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak rakyat, justru sering kali terlihat absen atau bahkan terlibat dalam praktik ini.

Dukungan penuh kepada Kementerian KKP untuk menegakkan visi Presiden adalah keharusan.

Namun, ini harus diimbangi dengan langkah konkret dari Kementerian ATR/BPN. Peninjauan ulang terhadap sertifikat SHGB dan SHM di wilayah pesisir harus dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat terdampak. Lebih dari itu, pemerintah perlu menyusun kebijakan yang memastikan reklamasi dilakukan secara berkeadilan, dengan mempertimbangkan dampak sosial dan ekologisnya.[4]

Korporasi besar memang memiliki peran penting dalam menopang perekonomian nasional. Namun, dukungan terhadap korporasi harus diimbangi dengan perlindungan terhadap rakyat kecil.[5] Pemerintah perlu menciptakan ruang di mana masyarakat pesisir tetap memiliki akses terhadap laut dan sumber daya maritim.

Laut untuk Semua!

Kaplingisasi laut adalah cerminan dari krisis moral dalam pengelolaan sumber daya alam.[6] Di atas meja kekuasaan, kepentingan rakyat kecil sering kali tersisih oleh tumpukan dokumen legalitas yang disiapkan untuk segelintir pihak. Sebuah ironi di negeri maritim terbesar di dunia, di mana laut yang seharusnya menjadi anugerah kolektif, justru terancam menjadi properti eksklusif.

Bagi para nelayan kecil, laut adalah lembaran hidup, bukan sekadar komoditas. Setiap riak ombak menyimpan cerita perjuangan dan harapan. Namun, di tengah gemuruh kepentingan ekonomi, mereka sering kali hanya menjadi penonton dalam panggung pembangunan yang menggusur, bukan memberdayakan.

Pemerintah, sebagai pengendali arah kebijakan, memegang kunci untuk menghentikan laju kaplingisasi. Evaluasi sertifikat SHGB dan SHM di wilayah reklamasi bukan hanya tentang merapikan tumpukan dokumen di kantor pemerintahan, melainkan tentang menyelamatkan masa depan. Kebijakan yang berpihak kepada rakyat pesisir adalah simbol keberanian untuk melawan kapitalisme rakus yang menggerus warisan negeri.

Seperti sabda Bung Karno yang menggema di masa lalu, “Kita gelorakan samudera agar tak menjadi bangsa yang hidup dari 2,5 sen sehari.” Apa artinya kekayaan laut jika hanya segelintir orang yang menikmatinya, sementara anak-anak nelayan harus bertarung dengan gelombang kapitalisme sejak dini?

Namun, masih ada harapan. Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama ATR/BPN dapat menjadi penyeimbang narasi pembangunan. Kolaborasi ini harus mampu mendobrak stigma bahwa reklamasi adalah harga mati bagi modernisasi. Sebaliknya, pembangunan harus memulihkan ekosistem dan memperluas akses masyarakat.

Laut adalah cermin kedaulatan. Menyerahkan laut kepada logika pasar sama dengan menyerahkan masa depan bangsa kepada tangan-tangan tak terlihat yang hanya peduli pada neraca laba-rugi. Kaplingisasi laut harus dihentikan. Biarkan laut tetap menjadi ruang hidup, ruang publik, dan ruang inspirasi.

Seperti pesan leluhur dalam semboyan angkatan laut kita, Jalesveva Jayamahe—di laut kita berjaya. Namun, kejayaan itu hanya bermakna jika seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, bisa menikmati hasilnya. Kejayaan tidak boleh menjadi monopoli, tetapi warisan bersama.

Laut bukan hanya soal geografi; ia adalah identitas. Mari kita jaga laut, bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk generasi yang akan datang. Bukan untuk segelintir, tetapi untuk semua. (Red)

Bung Eko Supriatno, penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. (2023). Mewujudkan Keadilan Sosial-Ekologis melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Diakses dari https://kemitraan.or.id/en/publication/mewujudkan-keadilan-sosial-ekologis-melalui-reforma-agraria-dan-pengelolaan-sumber-daya-alam/
  2. Konsorsium Pembaruan Agraria. (2023). Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Diakses dari https://www.kpa.or.id/2023/10/16/mewujudkan-keadilan-sosial-dan-ekologis-melalui-reforma-agraria-dan-pengelolaan-sumberdaya-alam/
  3. id. (2023). Gaungkan Isu Keadilan Ekologis dalam Perdebatan Politik 2024. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/05/gaungkan-isu-keadilan-ekologis-dalam-perdebatan-politik-2024
  4. Mongabay Indonesia. (2020). Etika dan Dematerialisme Ekologis. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2020/11/02/etika-dan-dematerialisme-ekologis/
  5. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. (2017). Platform Politik Lingkungan Hidup Indonesia Memperkuat Gerakan Rakyat, Mewujudkan Keadilan Ekologis. Diakses dari https://www.walhi.or.id/platform-politik-lingkungan-hidup-indonesia-memperkuat-gerakan-rakyat-mewujudkan-keadilan-ekologis

[1] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (2017) menyatakan pentingnya memperkuat gerakan rakyat untuk menciptakan keadilan ekologis dalam pengelolaan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat, terutama dalam hal perlindungan laut dan pesisir sebagai ruang hidup bersama, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. (2017). Platform Politik Lingkungan Hidup Indonesia Memperkuat Gerakan Rakyat, Mewujudkan Keadilan Ekologis. Diakses dari https://www.walhi.or.id/platform-politik-lingkungan-hidup-indonesia-memperkuat-gerakan-rakyat-mewujudkan-keadilan-ekologis

[2] Kompas.id (2023) mencatat bahwa dalam perdebatan politik 2024, isu keadilan ekologis harus digemakan, mengingat banyaknya proyek reklamasi yang berpotensi merugikan ekosistem laut dan masyarakat pesisir. Kompas.id. (2023). Gaungkan Isu Keadilan Ekologis dalam Perdebatan Politik 2024. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/05/gaungkan-isu-keadilan-ekologis-dalam-perdebatan-politik-2024

[3] Kemitraan (2023) mengungkapkan bahwa reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada keadilan sosial-ekologis menjadi kunci dalam memastikan pemanfaatan sumber daya alam tidak merugikan rakyat kecil, termasuk dalam sektor kelautan. Kemitraan. (2023). Mewujudkan Keadilan Sosial-Ekologis melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Diakses dari https://kemitraan.or.id/en/publication/mewujudkan-keadilan-sosial-ekologis-melalui-reforma-agraria-dan-pengelolaan-sumber-daya-alam/

[4] Mongabay Indonesia (2020) menjelaskan bahwa etika dan dematerialisme ekologis perlu dipertimbangkan dalam kebijakan pembangunan, yang harus mengedepankan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem. Dalam konteks kaplingisasi laut, hal ini sangat relevan. Mongabay Indonesia. (2020). Etika dan Dematerialisme Ekologis. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2020/11/02/etika-dan-dematerialisme-ekologis/

[5] Konsorsium Pembaruan Agraria (2023) menggarisbawahi pentingnya pengelolaan sumber daya alam secara berkeadilan, dengan mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang mungkin timbul akibat praktik-praktik seperti kaplingisasi laut. Konsorsium Pembaruan Agraria. (2023). Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Diakses dari https://www.kpa.or.id/2023/10/16/mewujudkan-keadilan-sosial-dan-ekologis-melalui-reforma-agraria-dan-pengelolaan-sumberdaya-alam/

[6]

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button