InspirasiOpiniTerkini

Politik Matahari Kembar

Oleh: Bung Eko Supriatno

BANTEN, biem.co – Transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden Prabowo Subianto menandai babak baru dalam lanskap politik Indonesia.[1] Dalam kajian ilmu politik pemerintahan, pergantian kekuasaan di tingkat eksekutif sering kali memunculkan berbagai dinamika yang kompleks, terutama ketika ada keterhubungan erat antara pemimpin baru dan pendahulunya. Fenomena ini sering diistilahkan sebagai “matahari kembar,” di mana bayang-bayang politik mantan presiden tetap terasa kuat dalam pemerintahan yang baru.

Fenomena ini semakin relevan ketika menyoroti hubungan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Dukungan penuh Jokowi kepada Prabowo dalam Pemilu Presiden 2024, di mana putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi pasangan wakil presiden, menciptakan narasi politik yang unik. Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah sejauh mana pengaruh Jokowi bertahan dalam pemerintahan Prabowo dan bagaimana dinamika ini memengaruhi stabilitas politik serta tata kelola pemerintahan ke depan.

Dalam beberapa bulan pertama pemerintahan Presiden Prabowo, intensitas pertemuan antara Prabowo dan Jokowi menjadi sorotan publik. Apakah ini mencerminkan hubungan harmonis antar-elite atau justru memperlihatkan potensi konflik kepentingan di masa depan?

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Sebagai bangsa yang menganut sistem presidensial, Indonesia seharusnya mampu memastikan bahwa transisi kekuasaan tidak melahirkan dualisme otoritas. Pemerintahan yang efektif memerlukan satu pusat kendali yang tegas, bukan dualisme yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dan kebijakan publik.[2]

Politik Simbolik

Sejak dilantik sebagai Presiden RI pada Oktober 2024, Prabowo Subianto telah menunjukkan intensitas interaksi yang cukup signifikan dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tiga pertemuan yang berlangsung di Solo, Jakarta, dan dalam sebuah acara resepsi pernikahan mencerminkan lebih dari sekadar hubungan personal. Hubungan ini mengandung dimensi politik simbolik yang mengindikasikan kelanjutan pengaruh Jokowi sekaligus dinamika unik dalam transisi kekuasaan.

Pertemuan pertama, yang berlangsung di kediaman Jokowi di Solo pada November 2024, diikuti dengan santap bersama di sebuah angkringan sederhana. Dalam konteks budaya politik Indonesia, kunjungan Prabowo ini memuat simbol penghormatan kepada Jokowi sebagai pemimpin terdahulu yang telah mengakhiri masa jabatan dengan “kembali ke akar.” Silaturahmi ini merefleksikan pengakuan terhadap legitimasi politik Jokowi sebagai figur yang tidak hanya mewariskan kekuasaan tetapi juga meninggalkan jejak kepemimpinan yang kuat.[3]

Namun, secara satir, pertemuan ini juga dapat dilihat sebagai bentuk “ritual politik” yang mencoba menutupi friksi atau potensi konflik kepentingan. Apakah benar hanya silaturahmi? Atau ini merupakan langkah Prabowo untuk memperkuat posisinya melalui dukungan moral mantan presiden?

Pertemuan kedua di Kertanegara, Jakarta, menggambarkan situasi yang lebih kompleks. Narasi publik yang disampaikan kepada media, seperti ungkapan “kangen” dari Jokowi, dapat dilihat sebagai upaya untuk menonjolkan kehangatan hubungan antara kedua tokoh ini. Tetapi, dalam konteks politik pemerintahan, narasi ini menyisakan pertanyaan: apakah murni hubungan personal atau ada agenda strategis yang dibahas di balik layar?

Dalam diskursus politik, hubungan harmonis semacam ini sering digunakan untuk membangun citra stabilitas pemerintahan. Namun, pertemuan ini juga memunculkan kekhawatiran tentang potensi “matahari kembar” di tengah transisi kekuasaan. Meski Jokowi secara formal tidak lagi memegang jabatan, keberadaan tokoh-tokoh loyal di kabinet Prabowo, seperti Gibran Rakabuming sebagai Wakil Presiden, menunjukkan jejak kekuatan politik Jokowi yang masih signifikan.

Pertemuan ketiga, yang berlangsung dalam suasana resepsi pernikahan, memberikan kesan politik yang lebih subtil. Jokowi secara eksplisit menyatakan bahwa pembicaraan politik tidak dilakukan dalam acara ini. Namun, kehadiran kedua tokoh tersebut dalam momen publik yang santai tetap menjadi perhatian. Dalam politik, bahkan kehadiran sederhana semacam ini dapat diinterpretasikan sebagai sinyal, baik kepada pendukung maupun oposisi.

Analisis politik simbolik dari pertemuan-pertemuan ini mengungkapkan kompleksitas relasi antara mantan presiden dan presiden baru. Di satu sisi, ini menunjukkan transisi kekuasaan yang relatif damai. Di sisi lain, intensitas interaksi ini juga mencerminkan “pengaruh residu” Jokowi dalam pemerintahan Prabowo.[4]

Politik simbolik yang diperankan melalui pertemuan ini berfungsi sebagai sarana legitimasi, baik bagi Prabowo untuk menunjukkan kontinuitas, maupun bagi Jokowi untuk mempertahankan relevansi politiknya.[5]

Namun, apakah hubungan ini benar-benar harmonis atau hanya tampak di permukaan? Dalam realitas politik, keharmonisan sering kali memiliki batas ketika menyangkut kepentingan dan kekuasaan. Transisi kekuasaan yang sukses memerlukan keseimbangan antara penghormatan kepada pendahulu dan kemampuan untuk menjalankan agenda baru tanpa bayang-bayang masa lalu.

Relasi Politik dan Warisan Kekuasaan

Kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI merupakan manifestasi nyata dari pengaruh politik Jokowi. Penempatan figur yang memiliki hubungan langsung dengan mantan presiden dalam posisi tertinggi kedua di pemerintahan bukan hanya bentuk kesinambungan politik tetapi juga langkah strategis untuk menjaga stabilitas warisan Jokowi.[6]

Dalam perspektif politik pemerintahan, posisi Gibran memberikan dua dampak utama. Pertama, ia menjadi penghubung simbolis antara pemerintahan sebelumnya dan pemerintahan saat ini. Kedua, keberadaannya menciptakan jaminan bahwa kebijakan strategis Jokowi, terutama di bidang infrastruktur dan sosial, akan terus berjalan tanpa terganggu oleh perubahan radikal.

Namun, secara satir, hal ini juga memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana Gibran benar-benar berperan sebagai pemimpin independen, atau apakah ia hanya menjadi “perpanjangan tangan” dari Jokowi dalam dinamika politik yang lebih besar. Dalam konteks ini, Prabowo menghadapi tantangan untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya memiliki karakteristik independen tanpa terjebak dalam bayang-bayang Jokowi.

Keberadaan sejumlah menteri yang sebelumnya menjabat di kabinet Jokowi, seperti Airlangga Hartarto dan Tito Karnavian, mempertegas kesinambungan politik antara pemerintahan Jokowi dan Prabowo.

Menurut perspektif penulis, kekuatan politik Jokowi tetap eksis selama figur-figur loyalisnya masih memegang posisi strategis. Kapolri, KPK, dan Jaksa Agung menjadi contoh nyata dari aktor-aktor politik yang tetap mempertahankan “jejak” kebijakan era Jokowi.

Struktur ini menunjukkan pola transisi kekuasaan yang lebih menyerupai kesinambungan daripada perombakan total.

Di satu sisi, ini memberikan stabilitas politik yang diperlukan untuk melanjutkan program-program pemerintahan sebelumnya. Namun, di sisi lain, ini juga menciptakan tantangan bagi Prabowo untuk menunjukkan bahwa ia memiliki visi dan agenda pemerintahan yang benar-benar independen.

Langkah Prabowo untuk mengevaluasi sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) era Jokowi menjadi simbol upaya untuk menegaskan otoritas baru dalam pemerintahan. Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah PIK 2 Coastland Tropical, yang meskipun secara resmi bukan bagian dari PSN, telah menjadi representasi dari ambisi infrastruktur masif Jokowi.[7]

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, menegaskan bahwa evaluasi dilakukan untuk memastikan proyek-proyek tersebut tetap relevan dan berada pada jalur yang sesuai. Namun, kritik muncul ketika Airlangga Hartarto menyatakan bahwa PIK 2 tidak pernah menjadi bagian resmi dari PSN, sehingga evaluasi ini dianggap lebih sebagai langkah politik untuk menonjolkan otoritas pemerintahan baru.

Dalam diskursus politik pemerintahan, evaluasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Prabowo: bagaimana menyeimbangkan penghormatan terhadap warisan Jokowi dengan kebutuhan untuk menampilkan kebijakan yang merepresentasikan karakteristik pemerintahannya sendiri.[8]

Fenomena “Matahari Kembar” dan Implikasinya

Fenomena “matahari kembar,” di mana mantan pemimpin tetap memiliki pengaruh signifikan dalam pemerintahan baru, bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Kasus ini mengingatkan pada relasi antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri pada awal pemerintahan SBY.

Dalam konteks Jokowi-Prabowo, fenomena ini menciptakan dualitas yang unik: kesinambungan kebijakan memberikan stabilitas, tetapi pengaruh informal dari luar pemerintahan dapat memicu ambiguitas dalam pengambilan keputusan.

Prabowo harus mampu mengelola hubungan ini dengan cermat. Terlalu bergantung pada warisan politik Jokowi dapat melemahkan otoritasnya, tetapi mengabaikannya secara total dapat menciptakan instabilitas politik. Harmonisasi hubungan antara keduanya menjadi kunci untuk menjaga kestabilan pemerintahan sekaligus mendorong arah kebijakan yang baru.

Pengaruh politik Jokowi dalam pemerintahan Prabowo mencerminkan kompleksitas transisi kekuasaan di Indonesia.

Keberadaan Gibran sebagai Wakil Presiden, para loyalis Jokowi dalam kabinet, serta kesinambungan kebijakan PSN menunjukkan bahwa warisan politik Jokowi masih sangat kuat.[9]

Namun, transisi ini juga mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kesinambungan dan inovasi. Prabowo harus mampu menegaskan otoritasnya sebagai pemimpin baru tanpa sepenuhnya mengabaikan kontribusi pendahulunya. Dalam hal ini, kemampuan Prabowo untuk menjaga harmoni tanpa subordinasi akan menentukan keberhasilan pemerintahannya dalam menghadapi tantangan politik yang kompleks.

Transisi pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo merupakan salah satu momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Meskipun kekuasaan telah berpindah, pengaruh Jokowi masih terasa kuat, baik melalui aktor-aktor politik maupun kebijakan yang diwariskan.

Dalam situasi ini, Prabowo perlu memainkan perannya dengan cermat untuk memastikan kesinambungan tanpa kehilangan otoritasnya sebagai presiden. Fenomena “matahari kembar” ini memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas transisi kekuasaan dan dinamika pengaruh dalam politik pemerintahan. Dengan pendekatan yang inklusif dan strategis, Prabowo dapat memanfaatkan warisan Jokowi sebagai landasan untuk mencapai visi dan misinya sendiri tanpa harus terjebak dalam bayang-bayang pendahulunya.[10]

Dinamika hubungan Jokowi dan Prabowo memberikan pelajaran penting tentang tantangan transisi kekuasaan di Indonesia. Fenomena “matahari kembar,” di mana pengaruh presiden sebelumnya tetap kuat dalam pemerintahan yang baru, dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini dapat menciptakan stabilitas politik. Namun, di sisi lain, ini juga berisiko menghambat efektivitas pemerintahan baru jika kekuasaan tidak benar-benar terpusat pada pemimpin yang sedang menjabat.

Sebagai presiden, Prabowo perlu memastikan bahwa ia mampu mengelola transisi ini dengan baik, tidak hanya melalui simbolisme, tetapi juga melalui kebijakan yang menunjukkan arah dan identitas pemerintahannya sendiri. Begitu pula, Jokowi sebagai mantan presiden memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung pemerintahan baru tanpa menciptakan ruang bagi “matahari kembar” yang dapat memecah fokus negara.

Transisi yang sehat membutuhkan keharmonisan tanpa subordinasi, pengaruh tanpa dominasi, dan kerjasama tanpa mengorbankan otoritas. Dengan demikian, relasi Jokowi-Prabowo menjadi ujian nyata bagi keberlanjutan demokrasi dan stabilitas politik Indonesia. (Red)

Bung Eko Supriatno, Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

 

DAFTAR PUSTAKA 

  1. Berita BBC Indonesia. (2024). Pemilu 2024: Ironi mendasarkan demokrasi di tangan Jokowi di balik gencarnya pembangunan infrastruktur dan investasi. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9901z9lp0go.
  2. CNN Indonesia. (2024). VIDEO: 10 Tahun Presiden Jokowi: Prestasi dan Kontroversi. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241018163353-36-1156924/video-10-tahun-presiden-jokowi-prestasi-dan-kontroversi.
  3. Detik.com. (2023). Polarisasi Politik, Ruang Oposisi, dan Konsolidasi Kekuasaan. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-7568816/polarisasi-politik-ruang-oposisi-dan-konsolidasi-kekuasaan.
  4. Investasi Indonesia. (n.d.). Reformasi – Analisis Politik Indonesia Pasca Suharto – Demokrasi. Diakses dari https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/reformasi/item181.
  5. Kompas.com. (2013). Jaringan Politik Kekerabatan. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2013/10/29/1047509/Jaringan.Politik.Kerabatan.
  6. Kompas.id. (2024). Presiden Joko Widodo Era Sepuluh Tahun. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/03/sepuluh-tahun-era-jokowi.
  7. LIPI. (n.d.). Politik Luar Negeri Indonesia: Refleksi dan Prediksi 10 Tahun. Diakses dari https://ejournal.politik.lipi.id/index.php/jpp/article/download/503/312.
  8. Percakapan. (2024). Jelang akhir kekuasaan Jokowi: 2 warisan kontroversial yang memengaruhi lanskap politik Indonesia. Diakses dari https://theconversation.com/jelang-akhir-kekuasaan-jokowi-2-warisan-kontroversial-yang-memengaruhi-lanskap-politik-indonesia-221317.
  9. RMOL.id. (2025). Jokowi Tinggalkan Banyak Warisan Anomali Buat Bangsa. Diakses dari https://rmol.id/politik/read/2025/01/22/653240/jokowi-tinggalkan-banyak-warisan-anomali-buat-bangsa.
  1. Universitas Airlangga. (n.d.). Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Bawah Pemerintahan Jokowi: Variasi Gagasan Tradisional. Diakses dari https://unair.ac.id/kebijakan-luar-negeri-indonesia-di-bawah-pemerintahan-jokowi-variasi-gagasan-tradisional/.

[1] Percakapan. (2024). Jelang akhir kekuasaan Jokowi: 2 warisan kontroversial yang memengaruhi lanskap politik Indonesia. Diakses dari https://theconversation.com/jelang-akhir-kekuasaan-jokowi-2-warisan-kontroversial-yang-memengaruhi-lanskap-politik-indonesia-221317.

[2] Detik.com. (2023). Polarisasi Politik, Ruang Oposisi, dan Konsolidasi Kekuasaan. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-7568816/polarisasi-politik-ruang-oposisi-dan-konsolidasi-kekuasaan.

[3] LIPI. (n.d.). Politik Luar Negeri Indonesia: Refleksi dan Prediksi 10 Tahun. Diakses dari https://ejournal.politik.lipi.id/index.php/jpp/article/download/503/312.

[4] Investasi Indonesia. (n.d.). Reformasi – Analisis Politik Indonesia Pasca Suharto – Demokrasi. Diakses dari https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/reformasi/item181.

[5] Kompas.com. (2013). Jaringan Politik Kekerabatan. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2013/10/29/1047509/Jaringan.Politik.Kerabatan.

[6]Universitas Airlangga. (n.d.). Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Bawah Pemerintahan Jokowi: Variasi Gagasan Tradisional. Diakses dari https://unair.ac.id/kebijakan-luar-negeri-indonesia-di-bawah-pemerintahan-jokowi-variasi-gagasan-tradisional/.

[7] Berita BBC Indonesia. (2024). Pemilu 2024: Ironi mendasarkan demokrasi di tangan Jokowi di balik gencarnya pembangunan infrastruktur dan investasi. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9901z9lp0go.

[8] RMOL.id. (2025). Jokowi Tinggalkan Banyak Warisan Anomali Buat Bangsa. Diakses dari https://rmol.id/politik/read/2025/01/22/653240/jokowi-tinggalkan-banyak-warisan-anomali-buat-bangsa.

[9] CNN Indonesia. (2024). VIDEO: 10 Tahun Presiden Jokowi: Prestasi dan Kontroversi. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241018163353-36-1156924/video-10-tahun-presiden-jokowi-prestasi-dan-kontroversi.

[10] Kompas.id. (2024). Presiden Joko Widodo Era Sepuluh Tahun. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/03/sepuluh-tahun-era-jokowi.

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button