InspirasiOpini

Ijazah Bukan Sandera

Oleh: Bung Eko Supriatno

BANTEN, biem.co – Ijazah. Sebuah lembar kertas berharga, menjadi harapan anak-anak negeri untuk melangkah ke jenjang kehidupan yang lebih baik. Namun, alih-alih menjadi jembatan menuju masa depan, ijazah sering kali berubah menjadi alat tawar-menawar yang getir di tangan sistem pendidikan yang masih kerap tak ramah pada rakyat kecil. Sekolah, tempat belajar tentang keadilan dan cita-cita, justru menjelma jadi ruang sempit yang mengukur masa depan dengan nominal rupiah. Pendidikan, sebagai pilar dasar negara, sudah seharusnya bersifat inklusif dan memberikan akses yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat, seperti yang termaktub dalam UUD 1945, Pasal 31 (1) yang mengamanatkan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Detik.com, nd.)[1]

Ijazah. Sebuah dokumen yang seharusnya menjadi simbol pencapaian, kini sering berubah menjadi jerat bagi anak-anak negeri yang tak punya apa-apa selain impian. Di sekolah, mereka diajarkan tentang keadilan, tentang cita-cita setinggi langit. Namun begitu lulus, mereka dihadapkan pada kenyataan pahit: ijazah mereka tertahan karena tunggakan biaya. Sekolah, tempat belajar tentang keadilan dan cita-cita, justru menjelma jadi ruang sempit yang mengukur masa depan dengan nominal rupiah. Ketidakadilan ini menjadi cermin dari ketimpangan pendidikan yang masih mencolok di Indonesia, sebuah realitas yang bahkan diakui dalam berbagai penelitian dan kajian mengenai kesenjangan sosial dalam pendidikan (Biem.co, 2024)[2]

Di negeri yang katanya makmur ini, keadilan masih sering bertopeng birokrasi. Anak-anak miskin hanya bisa menunduk, bertanya kapan ijazah mereka yang tertahan di sekolah akan dilepas. Masa depan mereka seperti tergantung pada belas kasih institusi yang seharusnya mengabdi, bukan mendikte. Bukankah sudah cukup rakyat kecil jadi korban sistem yang menumpuk kekayaan di satu sisi dan meninggalkan kemiskinan di sisi lain? (Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, nd.)[3]

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Inikah wajah pendidikan kita? Sistem yang dengan bangga mengusung slogan “mencerdaskan kehidupan bangsa,” tetapi di sisi lain tega menyandera masa depan anak-anak karena mereka lahir di keluarga yang tak punya banyak uang? Ironi yang mengiris hati, tetapi tetap dibiarkan hidup, seperti luka yang tak pernah sembuh (Supriatno, 2013).[4]

Penahanan ijazah karena alasan tunggakan biaya adalah cerita lama yang terus berulang. Seolah sudah mendarah daging dalam sistem pendidikan kita, praktik ini menghantui siswa, khususnya di sekolah-sekolah swasta yang kerap bergulat dengan persoalan pembiayaan operasional (Ruangguru.com, nd.)[5]. Di mata sekolah, ini adalah langkah pragmatis untuk menekan orang tua agar melunasi tanggung jawab finansial mereka. Namun, di mata siswa, ini adalah jeruji besi yang menutup akses mereka ke pendidikan lebih tinggi atau dunia kerja.

Bukankah UUD 1945 telah dengan tegas mengamanatkan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Lalu, mengapa pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga malah bertransformasi menjadi beban? Kita berbicara soal angka-angka dalam APBN, tapi lupa bahwa pendidikan bukan sekadar soal statistik; ia soal manusia, soal mimpi, soal masa depan (Muttaqin.id, 2015).[6]

Lalu datanglah Dedi Mulyadi. Gubernur Jawa Barat terpilih ini membawa janji yang terdengar seperti sajak pembebasan: ijazah tidak boleh jadi sandera. Sebuah janji yang sederhana, namun menohok, karena apa yang ia ungkapkan bukan sekadar tentang dokumen pendidikan, tetapi juga tentang wajah pemerintahan yang seharusnya berpihak pada yang tertindas.

“Jangan tahan ijazah anak-anak kita. Serahkan kepada mereka, apa pun kondisinya. Karena masa depan tak seharusnya tertahan oleh tunggakan biaya,” tegas Dedi. Kalimat itu mungkin terdengar seperti janji pemimpin lain, tapi bedanya, ia langsung turun tangan, meminta sekolah menyusun daftar tunggakan dan menyelesaikannya (JDIH Kemenkeu, nd.)[7]

Tentu, kebijakan ini akan menimbulkan riak. Ada yang memuji, ada pula yang mencibir. Para birokrat mungkin gelisah, bertanya-tanya dari mana anggaran akan ditarik untuk menutup semua ini. Namun, bukankah keberanian seorang pemimpin diuji justru saat ia berhadapan dengan resistensi? Dedi paham, kebijakan ini bukan sekadar langkah populis, tetapi sebuah sikap politik yang mendobrak.

Jika ditelaah lebih dalam, langkah Dedi ini adalah kritik keras terhadap sistem pendidikan yang diskriminatif. Sebuah sistem yang, meski berdiri di atas fondasi keadilan sosial, masih kerap tunduk pada logika kapitalisme (BEM Rema UPI, 2017).[8] Pendidikan dijadikan barang dagangan, sementara keadilan hanya menjadi hiasan retorika dalam dokumen-dokumen negara.

Tapi, apakah langkah ini cukup? Tentu tidak. Sebab, menebus ijazah yang tertahan hanyalah solusi jangka pendek.

Pemerintah harus mereformasi sistem pembiayaan pendidikan, memastikan tidak ada lagi sekolah yang menjadikan tunggakan biaya sebagai alasan untuk menahan hak siswa. Pendidikan adalah hak, bukan privilese.

Kebijakan ini adalah langkah awal, bukan akhir. Penahanan ijazah hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar: ketimpangan pendanaan pendidikan. Sekolah swasta sering kali berada di posisi sulit karena mereka tidak mendapatkan subsidi penuh seperti sekolah negeri. Akibatnya, mereka bergantung pada biaya dari orang tua siswa untuk menjalankan operasional.

Ijazah yang tertahan adalah cermin buram dari ketimpangan sosial yang masih menjalar di negeri ini. Langkah Dedi Mulyadi mungkin kecil, tetapi seperti satu puisi yang menggugah, ia memantik kesadaran. Kesadaran bahwa keadilan harus diperjuangkan, bukan hanya dijanjikan. Sebab, pada akhirnya, pendidikan bukan tentang angka di atas kertas, melainkan tentang membuka jalan bagi setiap anak bangsa untuk bermimpi dan mewujudkannya.

Dan, seperti sajak perlawanan yang lantang, langkah Dedi mengajarkan kita satu hal: keadilan bukan hal yang mustahil, selama ada keberanian untuk melawannya.

Pendidikan sebagai Hak Dasar

Di tengah riuhnya dinamika politik dan janji manis pemimpin, kebijakan Dedi Mulyadi tentang pembebasan ijazah seharusnya menjadi titik tolak untuk kita merenung lebih dalam tentang esensi pendidikan. Bukan hanya sebagai simbol status sosial, tetapi sebagai hak dasar yang tak boleh dipertanyakan. Pendidikan, dalam pandangan Dedi, bukanlah sesuatu yang patut diperdebatkan hanya karena masalah administrasi. Lebih jauh lagi, ia adalah fondasi masa depan yang harus dibangun dengan niat tulus dan kebijakan yang berkelanjutan.

Namun, kita tidak bisa hanya berhenti pada langkah berani yang menyentuh sebagian kecil dari masalah ini. Sebab, menebus ijazah adalah langkah pertama dalam pertempuran panjang untuk menghapus ketimpangan sosial yang tertanam dalam sistem pendidikan kita. Jika kita berbicara tentang hak dasar, maka kita berbicara tentang akses yang adil bagi setiap anak bangsa, tanpa kecuali. Penahanan ijazah akibat tunggakan biaya pendidikan adalah cermin ketidakadilan yang belum sepenuhnya terselesaikan.

Pendidikan bukan hanya tentang menuntut ilmu di ruang kelas, tetapi juga tentang memberi kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk meraih mimpi. Kebijakan Dedi Mulyadi bisa jadi pintu masuk, tetapi reformasi struktural yang lebih luas—baik di sektor pembiayaan maupun penguatan kebijakan pendidikan—adalah kunci untuk memastikan pintu itu tetap terbuka lebar. Seperti kata Widji Thukul yang selalu menggugah kesadaran kita: “Jika rakyat pergi, penguasa akan mati.”

Begitu pula dengan pendidikan; jika kita membiarkan ketidakadilan ini terus mengakar, maka kita sedang mematikan masa depan bangsa.

Kepemimpinan daerah yang berani mengambil sikap tegas untuk pendidikan adalah contoh nyata dari kepemimpinan yang peduli dan progresif. Namun, ini baru permulaan. Tantangan sesungguhnya adalah menjaga komitmen tersebut agar tidak tergerus oleh angin politik yang terus berubah. Sebab, tanpa adanya reformasi yang nyata, kebijakan ini hanya akan menjadi kisah manis yang cepat dilupakan.

Mari kita berpikir lebih jauh dan lebih kritis: pendidikan adalah investasi yang tak ternilai harganya. Bukan hanya untuk mencetak ijazah, tetapi untuk mencetak karakter, akal, dan keberanian bangsa ini. Sebab, seperti yang kita ketahui, ijazah bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah tiket menuju perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih cerah dan berkeadilan.

Jadi, sudah saatnya kita bersama-sama mengangkat pendidikan sebagai hak dasar yang harus diperjuangkan oleh setiap pemimpin. Tidak ada alasan untuk menjadikan pendidikan sebagai alat politik, apalagi sebagai barang dagangan. Karena sejatinya, pendidikan adalah hak yang harus dijaga, bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. (Red)

Bung Eko Supriatno, Penulis Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

 DAFTAR PUSTAKA 

  1. BEM Rema UPI. (2017). Ketimpangan Dalam Pembangunan Pendidikan Nasional (Pemerataan Pendidikan). Diakses dari http://bem.rema.upi.edu/ketimpangan-dalam-pembangunan-pendidikan-nasional-pemerataan-pendidikan/.
  2. co. (2024). Pemulangan Tiga Siswa. Diakses dari https://www.biem.co/read/2024/10/31/105118/pemulangan-tiga-siswa/.
  3. com. (nd). Isi Pasal 31 Ayat 1 – 5 UUD 1945 dan Hak Warga Negara Indonesia. Diakses dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5895945/isi-pasal-31-ayat-1-5-uud-1945-dan-hak-warga-negara-indonesia.
  4. JDIH Kemenkeu. (nd). Undang-Undang Republik Indonesia · Sistem Pendidikan Nasional. Diakses dari https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2003/20tahun2003uu.htm.
  5. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan. (nd). Pendidikan Pembebasan (Studi Pemikiran Paulo Freire dan …). Diakses dari https://journal.ummat.ac.id/index.php/CIVICUS/article/download/5812/3367.
  6. id. (2015). Makalah tentang Problematika Pendidikan di Indonesia. Diakses dari https://www.muttaqin.id/2015/11/makalah-tentang-problematika-pendidikan.html.
  7. com. (nd). Masalah Ketimpangan Sosial di Bidang Pendidikan | Sosiologi Kelas 12. Diakses dari https://www.ruangguru.com/blog/masalah-ketimangan-sosial-di-bidang-pendidikan.
  8. Supriatno, E. (2013). Orang Miskin Wajib Sekolah. Suara Guru. Diakses dari https://suaraguru.wordpress.com/2013/02/14/orang-miskin-wajib-sekolah-2/.

[1] Detik.com. (nd). Isi Pasal 31 Ayat 1 – 5 UUD 1945 dan Hak Warga Negara Indonesia. Diakses dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5895945/isi-pasal-31-ayat-1-5-uud-1945-dan-hak-warga-negara-indonesia.

[2] Biem.co. (2024). Pemulangan Tiga Siswa. Diakses dari https://www.biem.co/read/2024/10/31/105118/pemulangan-tiga-siswa/.

[3] Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan. (nd). Pendidikan Pembebasan (Studi Pemikiran Paulo Freire dan …). Diakses dari https://journal.ummat.ac.id/index.php/CIVICUS/article/download/5812/3367.

[4] Supriatno, E. (2013). Orang Miskin Wajib Sekolah. Suara Guru. Diakses dari https://suaraguru.wordpress.com/2013/02/14/orang-miskin-wajib-sekolah-2/.

[5] Ruangguru.com. (nd). Masalah Ketimpangan Sosial di Bidang Pendidikan | Sosiologi Kelas 12. Diakses dari https://www.ruangguru.com/blog/masalah-ketimangan-sosial-di-bidang-pendidikan.

[6] Muttaqin.id. (2015). Makalah tentang Problematika Pendidikan di Indonesia. Diakses dari https://www.muttaqin.id/2015/11/makalah-tentang-problematika-pendidikan.html.

[7]JDIH Kemenkeu. (nd). Undang-Undang Republik Indonesia · Sistem Pendidikan Nasional. Diakses dari https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2003/20tahun2003uu.htm.

[8] BEM Rema UPI. (2017). Ketimpangan Dalam Pembangunan Pendidikan Nasional (Pemerataan Pendidikan). Diakses dari http://bem.rema.upi.edu/ketimpangan-dalam-pembangunan-pendidikan-nasional-pemerataan-pendidikan/.

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button