InspirasiOpini

Arogansi Satryo Soemantri dan Hancurnya Kepercayaan Publik

Bukan jabatan yang menciptakan wibawa, melainkan integritas. Satryo lupa, publik tak pernah buta. Dan Revolusi mental tak akan pernah terwujud jika arogansi tetap kita biarkan menjadi budaya kekuasaan.”— Bung Eko Supriatno

BANTEN, biem.co – Negeri ini ‘kembali’ dihebohkan oleh kabar yang sungguh luar biasa. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, bukan menjadi headline karena gebrakan kebijakan, tetapi akibat video viral yang menunjukkan dirinya berteriak-teriak bak konduktor kehilangan irama di rumah dinasnya. Sebuah ironi pahit dari jabatan yang seharusnya mengedepankan wibawa dan teladan.

Di luar tembok rumah dinas itu, suasana justru semakin memanas. Pegawai Kementerian menggelar aksi demonstrasi lengkap dengan pakaian hitam yang mencekam dan slogan dramatis: “Lawan atau Menunggu Giliran!” Ini bukan sekadar protes administratif. Ini adalah momen di mana sebuah institusi yang seharusnya mempromosikan keadilan justru menjadi simbol kesewenang-wenangan.

Pemecatan Tanpa Dasar, Arogansi Tanpa Batas

Semua ini berawal dari pemecatan Neni Herlina, seorang pegawai senior yang dikabarkan diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Sebuah tindakan yang tidak hanya melanggar norma ketenagakerjaan, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan yang akut. Alih-alih menjelaskan, Satryo memilih membisu di balik dinding kekuasaan. Bukankah ini potret klasik seorang pemimpin[1] yang lupa akan hakikat jabatannya?

Pemecatan ini memicu pertanyaan besar: apakah jabatan menteri adalah tiket untuk bertindak semena-mena? Di bawah Satryo, pengelolaan sumber daya manusia tampaknya bukan lagi soal meritokrasi, melainkan kalkulasi politik dan ego pribadi. Maka, pantaslah jika pegawai kementerian melabelinya sebagai “dirigen” arogansi.

Ketika Kepemimpinan Berubah Menjadi Kepemilikan

Kepemimpinan adalah seni merangkul, tetapi di tangan Satryo, ia berubah menjadi seni menguasai. Para pegawai diperlakukan layaknya properti, bukan manusia.

Padahal, di balik slogan-slogan birokrasi,[2] ada kehidupan nyata yang membutuhkan empati dan pengertian. Namun, Satryo justru memperlakukan mereka sebagai pion dalam permainan kekuasaannya.

Seorang pemimpin sejati tahu bahwa jabatan adalah amanah. Tetapi di sini, jabatan tampak seperti warisan pribadi yang digunakan untuk mengintimidasi. Ketika Satryo mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas, ia sebenarnya sedang menciptakan bom waktu bagi institusinya sendiri.

Video suara viral yang menampilkan Satryo adalah contoh nyata dari bagaimana arogansi bisa menghancurkan reputasi dalam sekejap. Dalam video suara itu, ia tidak hanya kehilangan kendali atas emosinya, tetapi juga atas narasi kepemimpinannya. Publik yang melihatnya tidak hanya kecewa; mereka muak. Video suara itu menjadi simbol bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali bisa berubah menjadi alat perusak.

Protes para pegawai bukanlah drama yang tiba-tiba muncul. Mereka adalah akumulasi dari ketidakadilan yang dirasakan padahal ia bekerja baru beberapa bulan. Slogan “Lawan atau Menunggu Giliran” adalah bukti bahwa mereka tidak lagi percaya pada sistem yang seharusnya melindungi mereka. Dan ketika pegawai kehilangan kepercayaan,[3] institusi kehilangan fondasinya.

Arogansi Sebagai Pola, Bukan Anomali

Mari kita jujur: Satryo bukanlah kasus pertama. Arogansi pejabat telah menjadi pola yang mendarah daging di birokrasi kita.[4] Dari Dirjen yang menggugat laundry kiloan hingga menteri yang menjadikan bawahannya pelampiasan amarah, kisah-kisah ini hanyalah variasi dari tema yang sama. Ketika seseorang terlalu lama duduk di kursi kekuasaan, empati menguap, digantikan oleh ilusi superioritas.

Namun, Satryo membawa standar ini ke level yang baru. Ia tidak hanya menjadi simbol dari apa yang salah dalam birokrasi kita, tetapi juga pengingat bahwa tanpa kontrol publik, kekuasaan hanya akan menjadi alat pemuasan ego.

Dalam teori, revolusi mental[5] yang digaungkan oleh pemerintah seharusnya mengubah pola pikir pemimpin kita. Tetapi dalam praktik, yang kita lihat adalah degradasi moral yang menyakitkan. Ketika seorang menteri bertindak seolah-olah kekuasaan adalah hak istimewa, ia sebenarnya sedang mengkhianati semangat reformasi[6] yang diamanatkan oleh rakyat.

Apakah ada harapan? Tentu saja ada. Tetapi harapan itu hanya akan terwujud jika kita, sebagai masyarakat, berani menuntut lebih. Sanksi harus menjadi bagian dari sistem, bukan sekadar ancaman kosong. Dan yang lebih penting, pendidikan tentang etika kepemimpinan harus menjadi prioritas.

Pelajaran dari Kekacauan

Kasus Satryo adalah cermin dari apa yang salah dalam sistem kita. Ia adalah pengingat bahwa jabatan tanpa integritas hanya akan menciptakan kehancuran. Jika kita tidak belajar dari polemik ini, maka kita hanya akan mengulangi kesalahan yang sama.

Satryo Soemantri, pada akhirnya, adalah simbol dari kejatuhan kepercayaan publik.[7] Ia adalah peringatan bahwa tanpa etika,[8] kekuasaan hanya akan menjadi alat penghancur. Dan jika kita terus membiarkan hal ini terjadi, maka kita, sebagai bangsa, akan kehilangan lebih dari sekadar kepercayaan;[9] kita akan kehilangan masa depan.

Arogansi adalah musuh utama dari kepemimpinan yang sejati. Jika kita ingin maju, kita harus melawan arogansi ini dengan kesadaran kolektif. Revolusi kultural adalah langkah pertama. Kita harus mendidik generasi mendatang untuk memahami bahwa kepemimpinan adalah soal melayani, bukan menguasai.

Satryo Soemantri mungkin hanya satu episode dalam serial panjang birokrasi kita. Tetapi jika kita belajar dari kesalahannya, mungkin, hanya mungkin, kita bisa mengubah jalannya cerita. Dan itulah harapan yang harus kita pegang, meskipun realitas sering kali berkata sebaliknya. (Red)

Bung Eko Supriatno, penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

 

DAFTAR PUSTAKA 

  1. Birokrasi Publik di Indonesia: Sebuah Kajian Teoritis. Jurnal Sosiohumaniora Unpad. Diambil dari https://jurnal.unpad.ac.id.
  2. Etika dan Integritas Kepemimpinan Dalam Pemerintahan di Indonesia Perlu Ditingkatkan. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Diambil dari https://www.kemenkopmk.go.id.
  3. Faktor Penyebab Belum Optimalnya Kualitas Penyelenggaraan Pelayanan Masyarakat dalam Birokrasi Pemerintahan. Caraka Prabu: Jurnal Ilmu Pemerintahan. Diambil dari https://ejournal.fisip.unjani.ac.id.
  4. Hilangnya Kepercayaan Publik. Universitas Tanjungpura (UNTAN). Diambil dari https://untan.ac.id.
  5. Kepercayaan Publik: Hal Terpenting dalam Reformasi Birokrasi. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI. Diambil dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id.
  6. Membangun Kepercayaan Masyarakat Dalam Reformasi Birokrasi. Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI. Diambil dari https://bldk.mahkamahagung.go.id.
  7. Pemimpin = Pelayan Publik. Ombudsman RI. Diambil dari https://ombudsman.go.id.
  8. Revolusi Mental: Implementasi Reformasi Birokrasi Melalui Revolusi Mental Birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Diambil dari https://www.menpan.go.id.
  9. Revolusi Mental: Sejarah, Penerapan, dan Capaian.com. Diambil dari https://www.kompas.com.

[1] Pemimpin = Pelayan Publik. Ombudsman RI. Diambil dari https://ombudsman.go.id.

[2] Birokrasi Publik di Indonesia: Sebuah Kajian Teoritis. Jurnal Sosiohumaniora Unpad. Diambil dari https://jurnal.unpad.ac.id.

[3] Membangun Kepercayaan Masyarakat Dalam Reformasi Birokrasi. Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI. Diambil dari https://bldk.mahkamahagung.go.id.

[4] Faktor Penyebab Belum Optimalnya Kualitas Penyelenggaraan Pelayanan Masyarakat dalam Birokrasi Pemerintahan. Caraka Prabu: Jurnal Ilmu Pemerintahan. Diambil dari https://ejournal.fisip.unjani.ac.id.

[5] Revolusi Mental: Sejarah, Penerapan, dan Capaian. Kompas.com. Diambil dari https://www.kompas.com.

[6] Revolusi Mental: Implementasi Reformasi Birokrasi Melalui Revolusi Mental Birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Diambil dari https://www.menpan.go.id.

[7] Kepercayaan Publik: Hal Terpenting dalam Reformasi Birokrasi. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI. Diambil dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id.

[8] Etika dan Integritas Kepemimpinan Dalam Pemerintahan di Indonesia Perlu Ditingkatkan. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Diambil dari https://www.kemenkopmk.go.id.

[9] Hilangnya Kepercayaan Publik. Universitas Tanjungpura (UNTAN). Diambil dari https://untan.ac.id.

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button