BANTEN, biem.co – Beberapa minggu terakhir, masyarakat dihebohkan oleh komentar seorang public figure yang mengolok-olok profesi pedagang, khususnya pedagang kaki lima. Dalam sebuah unggahan di media sosial yang viral, public figure tersebut menyampaikan sindiran yang dianggap merendahkan pekerjaan yang dilakukan oleh para pedagang tersebut. Tidak lama setelah itu, komentar tersebut memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, bahkan memunculkan gerakan cancel culture yang menyerukan untuk tidak lagi mendukung sang public figure.
Komentar yang dikeluarkan oleh public figure tersebut dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai bentuk ketidakpedulian ataupun penghinaan terhadap perjuangan para orang kecil, yang sering kali bekerja keras dengan penghasilan yang tidak menentu dan berhadapan dengan berbagai tantangan hidup. Pada dasarnya, para pedagang ini adalah bagian integral dari perekonomian informal yang banyak menyokong kehidupan masyarakat, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti.
Ketika seorang tokoh terkenal, yang seharusnya memberi contoh positif bagi masyarakat, melontarkan pernyataan yang menghina profesi ini, reaksi publik pun tak dapat terhindarkan. Komentar tersebut dianggap tidak hanya sebagai ejekan pribadi, tetapi juga sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap perjuangan ekonomi yang dijalani banyak orang, khususnya mereka yang bekerja keras di sektor informal.
Media sosial berperan besar dalam mempercepat penyebaran kontroversi ini. Komentar tersebut dengan cepat menyebar melalui berbagai platform, mulai dari X hingga TikTok, memicu debat panjang di dunia maya. Bagi sebagian orang, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa ada batasan bagi seorang public figure dalam berbicara. Banyak yang merasa bahwa mereka yang memiliki pengaruh besar harusnya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan, karena kata-kata mereka bisa memengaruhi banyak orang.
Tidak hanya itu, media sosial juga menjadi tempat bagi para netizen untuk saling berbagi pendapat, baik mendukung ataupun mengecam public figure tersebut. Pada akhirnya, banyak yang menyerukan aksi cancel culture, dengan tujuan untuk menarik dukungan agar sang public figure kehilangan popularitas dan berpotensi kehilangan peluang lainnya.
Fenomena cancel culture bukanlah hal baru dalam dunia media sosial. Banyak public figure yang terjerat akibat ucapan atau tindakan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan nilai yang dijunjung masyarakat. Cancel culture adalah bentuk respons masyarakat yang menyuarakan ketidaksetujuan dengan tindakan atau pernyataan seseorang, dengan tujuan untuk menghukum atau menanggapi dengan menarik dukungan terhadap individu tersebut.
Namun, dampak cancel culture bagi pelaku dan korban sering kali menjadi perdebatan. Di satu sisi, gerakan ini dapat menjadi alat untuk menyuarakan ketidakadilan atau menyatakan bahwa ucapan atau tindakan yang merugikan harus mendapat konsekuensi. Di sisi lain, beberapa orang menilai bahwa cancel culture bisa berlebihan dan cenderung menghukum tanpa kesempatan bagi individu tersebut untuk memperbaiki kesalahan atau meminta maaf.
Dalam kasus public figure yang mengolok-olok pedagang ini, banyak yang merasa bahwa pernyataan tersebut melanggar nilai-nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap pekerjaan orang lain. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat merasa bahwa tindakan cancel culture menjadi cara yang efektif untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap ketidakpekaan publik figure tersebut.
Era digital telah mengubah cara komunikasi dan interaksi sosial. Para public figure, baik itu selebriti, influencer, maupun tokoh publik lainnya, memiliki pengaruh besar terhadap audiens mereka. Oleh karena itu, mereka harus lebih bijaksana dalam berbicara dan berinteraksi, mengingat bahwa setiap kata yang diucapkan atau ditulis dapat memicu reaksi publik yang luas.
Tanggung jawab moral seorang public figure lebih berat daripada sebelumnya. Mereka bukan hanya sekadar menghibur atau memberikan konten, tetapi juga menjadi role model yang memiliki dampak terhadap perilaku sosial. Ketika mereka mengolok-olok atau merendahkan kelompok tertentu, baik itu pedagang, pekerja, atau profesi lainnya, dampaknya bisa jauh lebih besar daripada yang mereka kira. (Red)