BANTEN, biem.co – Ketahanan pangan di Indonesia,sedang mengalami berbagai masalah sulit. Hasil panen yang ada di berbagai wilayah telah hancur akibat fenomena cuaca ekstrem yang semakin sulit diprediksi oleh masyarakat maupun pemerintah, yang mana fenomena ini mengancam pasokan bahan pangan utama seperti padi, jagung, dan sayuran.
Namun, ada lebih dari faktor alam yang menyebabkan situasi ini. Situasi yang diperparah lagi karena alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan komersial seperti mal, perumahan, dan pabrik. Ketergantungan pada impor pangan sebagai solusi instan berbahaya bagi ketahanan pangan nasional,yang dimana lahan produktifnya juga terus menyusut.
Diversifikasi Pangan: Antara Harapan dan Realita
pemerintah mencoba menangani masalah ini,Dengan menyarankan masyarakat untuk memasukkan makanan tambahan seperti sukun, ubi, jagung, dan sagu,yang mana pemerintah bertujuan untuk membantu meningkatkan diversifikasi makanan pada masyrakat.
Namun Mengubah kebiasaan makan masyarakat, yang telah ada selama bertahun-tahun, bukanlah hal yang mudah. Masyarakat harus terbiasa dengan makanan alternatif ini melalui sosialisasi dan pendidikan yang intensif. Langkah ini juga harus diiringi dengan upaya untuk memastikan bahwa produk alternatif tersedia dan dapat diaksesdipasar.
Dalam hal diversifikasi makanan, sagu dan ubi memiliki potensi besar untuk berfungsi sebagai sumber karbohidrat yang lebih baik daripada beras. Ini karena sagu, yang banyak ditemukan di Indonesia bagian timur dan sangat kaya akan karbohidrat.
Selain itu, ubi jalar memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dibuat menjadi berbagai jenis makanan yang lezat. Potensi ini akan sulit diwujudkan tanpa sosialisasi dan pemerataan edukasi dari pemerintah yang memadai dan distribusi yang merata.
Masalah Irigasi dan Infrastruktur: Solusi di Atas Kertas
Program Percepatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) dicanangkan sebagai solusi untuk mengatasi kekeringan yang kerap mengganggu pertanian. Di atas kertas, program ini tampak menjanjikan. Sayangnya, di lapangan, pelaksanaannya sering terhambat oleh berbagai kendala teknis dan birokrasi. Akibatnya, banyak petani yang masih kesulitan mendapatkan akses air yang memadai untuk irigasi lahan mereka.
Selain irigasi, buruknya infrastruktur di pedesaan juga menjadi masalah besar. Jalan yang rusak dan minimnya akses pasar membuat hasil panen tidak terdistribusi secara merata. Banyak daerah penghasil pangan mengalami surplus yang tidak terserap, sementara daerah lain kekurangan pasokan. Kondisi ini menciptakan ketimpangan yang memengaruhi harga pangan.
Harga Pangan yang Fluktuatif dan Dampaknya
Ketidakstabilan harga makanan di Indonesia yang terjadi sepanjang tahun secara terus-menerus.Menjadi Penyebab utama daripada biaya distribusi yang tinggi dan ketidakseimbangan antara area penghasil dan konsumen. Karena harga jual hasil panen yang terlalu rendah, petani sering merugi.Sementara itu juga konsumen yang berada di kota besar harus membayar lebih banyak untuk produk yang sama. Pemerintah dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) harus dapat untuk lebih berusaha menjaga stabilitas harga, tetapi hasilnya belum memuaskan.
Menurut Moga Simatupang, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, kolaborasi antara asosiasi pedagang pasar sangat penting untuk menjaga keseimbangan harga. Ia mendorong komunikasi yang lebih efektif antar pasar untuk menghindari depresiasi harga yang berlebihan. “Kolaborasi ini harus diperkuat agar tidak terjadi lonjakan harga yang merugikan semua pihak,” ungkapnya.
Ketahanan Pangan di Tengah Ketidakpastian Global
Laporan dari Bright Institute memperingatkan bahwa ketahanan pangan Indonesia sangat rentan terhadap guncangan global. Krisis geopolitik yang memanas menyebabkan negara-negara produsen beralih dari orientasi perdagangan ke orientasi ketahanan dalam negeri, termasuk membatasi ekspor pangan. Akibatnya, harga beras dunia melambung dan suplai berkurang.
Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, menyatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia tidak cukup kuat untuk menghadapi krisis global. “Kelemahan utama adalah kurangnya produksi dalam negeri,” jelas Awalil. Selama sepuluh tahun terakhir, kebijakan pangan di Indonesia belum mampu mengatasi penurunan produktivitas tanaman pangan.
Data menunjukkan bahwa porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian turun dari 24,35% pada 2014 menjadi hanya 18,02% pada 2023. Fokus yang berlebihan pada komoditas ekspor seperti kelapa sawit dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan ini.
Muhammad Andri Perdana, Direktur Riset Bright Institute, menambahkan bahwa kondisi ini memperburuk kerawanan pangan. “Produksi padi dan jagung stagnan, sementara konsumsi terus meningkat. Ketergantungan pada impor menjadi solusi sementara yang berisiko,” paparnya.
Peran Semua Pihak dalam Mengatasi Krisis
Krisis pangan adalah masalah kompleks yang tidak bisa diatasi oleh satu pihak saja. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Pemerintah harus lebih serius dalam mempercepat perbaikan infrastruktur, memastikan kebijakan yang adil, dan mendukung inovasi di sektor pertanian.
Sektor swasta juga harus berperan aktif dengan mendukung petani melalui investasi dan transfer teknologi. Inisiatif seperti yang dilakukan PT Wilmar Padi Indonesia (WPI) dalam mengolah lahan rawa di Banyuasin menjadi lahan produktif patut dicontoh. Selain itu, masyarakat sebagai konsumen akhir memiliki peran penting dengan mendukung diversifikasi pangan dan memilih produk lokal yang berkelanjutan.
Ketahanan pangan bukan sekadar slogan. Ini adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan aksi nyata. Dengan kerja sama semua pihak, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengatasi krisis ini dan memastikan masa depan pangan yang lebih baik.
Seperti diungkapkan Sarwo Edhy, Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional, penurunan jumlah wilayah rentan rawan pangan dari 72 kabupaten/kota pada 2021 menjadi 62 pada 2023 adalah hasil sinergi lintas sektor. “Alhamdulillah, ini bukti bahwa kolaborasi bisa membawa perubahan,” ujarnya.
Dengan komitmen yang lebih kuat dan strategi yang tepat, Indonesia masih memiliki peluang untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan inklusif.
Evaluasi Kebijakan Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam periode 2020-2024, termasuk program food estate, peningkatan infrastruktur pertanian, dan kolaborasi lintas sektor.
Namun, efektivitas kebijakan tersebut masih menjadi perdebatan. Salah satu indikator yang menunjukkan keberhasilan adalah penurunan jumlah wilayah rentan rawan pangan dari 72 kabupaten pada 2021 menjadi 62 pada 2023. Program-program seperti P3-TGAI untuk memperbaiki irigasi juga memperlihatkan potensi, meskipun implementasinya kerap menghadapi hambatan teknis dan birokrasi.
Meskipun ada kemajuan dalam aspek ketersediaan pangan, tantangan signifikan tetap ada. Masalah utama adalah distribusi pangan, yang terganggu oleh buruknya infrastruktur, biaya logistik yang tinggi, dan manajemen rantai pasok yang kurang efisien. Kebijakan food estate sendiri juga dikritik karena menyebabkan kerusakan lingkungan dan lebih fokus pada produksi komoditas tertentu yang Jawa-sentris, bukan pada kebutuhan masyarakat luas. (Red)
DAFTAR PUSTAKA:
Anjani, D. P. (2024, Oktober 8). Krisis Pangan 2024: Indonesia Perlu Solusi Nyata, Bukan Sekadar Wacana. Kumparan
Liputan6.com. (2024, Januari 10). Ekonom: Indonesia Dihantui Gejala Krisis Pangan. Liputan6.
Badan Pangan Nasional (2024). FSVA 2024: Daerah Rentan Rawan Pangan Turun, NFA Perkuat Sinergi dan Kolaborasi Lintas Sektor.
Tempo.co. (2024, Januari 12). Prabowo Lanjutkan Food Estate, Pengamat: Mustahil Berhasil dengan Cara Lama. Tempo.co
Andaresta, D. P., Retnowati, D., Fatmawati, A., & Purnomo, S. D. (2024). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan di Indonesia. Prosiding Nasional 2024, Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.