InspirasiKetahanan PanganOpini

Kritik Terhadap Kasus Kelaparan Berulang di Papua dan Kegagalan Sistem Pangan Indonesia pada Tahun 2022

oleh : Dyah Mustika, Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

BANTEN, w – Masalah utama sistem pangan Indonesia tercermin dari masalah kelaparan yang terus terjadi di Papua. Meskipun memiliki kekayaan sumber daya alam, bencana kelaparan yang berulang di Papua menimbulkan kekhawatiran serius tentang kelemahan sistem ketahanan pangan Indonesia. Kejadian ini merupakan tanda ketidakmampuan sistem pangan nasional untuk menyediakan distribusi, ketersediaan, dan akses pangan yang adil selain menjadi masalah lokal.

Menurut beberapa artikel, kekeringan dan kondisi cuaca buruk lainnya sering kali disalahkan sebagai penyebab kelaparan yang berulang. Namun, menyederhanakan masalah karena perubahan iklim mengabaikan penyebab yang mendasarinya, yaitu kekurangan sistemik dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pangan. Sistem pangan Indonesia cenderung mengabaikan variabel fisik, sosial, dan budaya regional demi pola yang seragam.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, setiap orang memiliki hak asasi manusia atas ketahanan pangan. Namun, terdapat kesenjangan antara kebijakan dan praktik di Papua. Pemerintah sering kali mengabaikan kebutuhan aktual wilayah kecil demi inisiatif besar seperti program food estate. Kebijakan food estate sering kali mempromosikan praktik pertanian berbasis monokultur, yang sangat rentan terhadap gagal panen karena bergantung pada satu jenis tanaman. Eksploitasi sumber daya air, penurunan keanekaragaman hayati, dan degradasi lahan merupakan konsekuensi lebih lanjut dari pendekatan ini. Mengingat dampak perubahan iklim, sistem ini sangat rentan terhadap peristiwa cuaca buruk.

Banyak pihak yang mengkritik gagasan food estate sebagai solusi pangan nasional, terutama karena mengabaikan keunikan alam dan sosial budaya daerah setempat. Program pemerintah sering kali berfokus pada produksi skala besar, mengabaikan dampak jangka panjang terhadap ekologi dan keberlanjutan lingkungan. Faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi harus diintegrasikan ke dalam ketahanan pangan. Misalnya, industri pangan di Papua mengutamakan produk seperti jagung dan beras yang tidak sesuai dengan ekologi setempat. Akibatnya, proyek ini berpotensi merusak ekosistem selain gagal meningkatkan ketahanan pangan. Pendekatan ini cenderung mempromosikan monokultur yang rentan terhadap gagal panen dan kerusakan lingkungan daripada meningkatkan akses pangan lokal.

Ketergantungan pada pangan impor dan distribusi logistik yang tidak efektif merupakan masalah mendasar lainnya. Ironisnya, meski menjadi negara agraris, Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk bahan pangan pokok seperti beras, gandum, dan kedelai. Karena ketergantungan ini, sistem pangan nasional sangat rentan terhadap perubahan harga barang di pasar internasional, gangguan pasokan, atau krisis geopolitik.

Padahal, Indonesia memiliki banyak ruang untuk mendiversifikasi pasokan pangan domestiknya dan mengurangi ketergantungannya pada impor. Karena kurangnya infrastruktur, daerah terpencil seperti Papua menghadapi tantangan logistik yang berat. Ketergantungan pada bantuan pangan tidak mendorong kemandirian pangan jangka panjang; sebaliknya, hal itu memberikan solusi jangka pendek.

Situasi pangan Papua makin buruk ketika sumber daya lokal seperti ubi jalar dan sagu diabaikan. Pemerintah kurang serius dalam mendorong diversifikasi pangan yang sejalan dengan pengetahuan lokal. Kurangnya pemanfaatan bahan pangan lokal termasuk sagu, ubi jalar, dan umbi-umbian lainnya disebabkan oleh kebijakan yang terlalu menekankan beras. Padahal, dibandingkan dengan beras, bahan pangan daerah ini lebih tahan terhadap lingkungan setempat. Pemerintah seharusnya lebih berkonsentrasi pada perlindungan pengetahuan adat dan peningkatan kemampuan masyarakat setempat untuk memproduksi dan menjual barang-barang mereka sendiri. Dampak jangka panjang akan lebih berkelanjutan jika masyarakat adat diberdayakan melalui investasi dan pelatihan.

Dengan menggunakan bahan pangan lokal seperti ubi jalar, sagu, dan hasil hutan, Papua memiliki budaya agraris yang kuat. Namun, pengetahuan lokal ini sering kali diabaikan oleh sistem pangan nasional. Ketidakamanan pangan diperparah oleh pola konsumsi masyarakat Papua yang berubah, yang kini sangat bergantung pada beras dan tanaman lain yang tidak sesuai dengan konteks ekologi setempat. Sumber daya lokal, yang seharusnya menjadi sumber utama ketahanan pangan regional, terasingkan oleh upaya untuk memaksakan keseragaman pola makan ini.

Masalah ketahanan pangan tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga distribusi yang adil. Peningkatan sistem penyediaan pangan yang efisien masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Masih terdapat perbedaan yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa, serta antara daerah perkotaan dan pedesaan. Misalnya, karena logistik dan infrastruktur yang tidak memadai, biaya pangan di daerah pedesaan dapat jauh lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Ketimpangan ini memperburuk tingkat kemiskinan dan ketahanan pangan di daerah tersebut.

Runtuhnya sistem pangan Papua menunjukkan bahwa cara pengelolaan ketahanan pangan negara ini perlu diubah. Berikut ini adalah beberapa kritik penting yang harus ditangani:

  1. Sentralisasi Strategi Pangan: Kebutuhan khusus daerah seperti Papua tidak diperhitungkan oleh strategi pangan yang sangat tersentralisasi. Strategi desentralisasi yang memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah memerlukan dukungan yang lebih besar dari pemerintah.
  2. Investasi Infrastruktur Lokal yang Kurang: Meskipun Papua memiliki potensi alam yang kaya, sistem penyediaan pangan tidak efektif karena kurangnya jalan, fasilitas penyimpanan, dan pasar. Akibatnya, harga pangan naik dan akses masyarakat terhadap pangan menjadi terbatas.
  3. Kurangnya Rasa Hormat terhadap Makanan Lokal: Kebijakan pangan harus ikut serta untuk mempromosikan dan melindungi potensi pangan masyarakat lokal, seperti sagu, yang merupakan sumber karbohidrat penting dan tahan terhadap perubahan iklim.

Masalah ketahanan pangan di Papua memerlukan sejumlah tindakan yang terencana. Masalah ini diperparah oleh kurangnya kesadaran mengenai pentingnya keragaman kuliner daerah. Pengetahuan masyarakat tentang gizi seimbang dan kebiasaan makan sehat juga sangat terkait dengan ketahanan pangan. Karbohidrat masih mendominasi konsumsi makanan di banyak wilayah Indonesia, sementara asupan protein, vitamin, dan mineral sering kali diabaikan. Malnutrisi dan stunting sangat umum terjadi sebagai akibat dari hal ini.

Misalnya, anak-anak sekolah jarang diberi tahu tentang manfaat gizi dari makanan tradisional seperti sagu. Sebaliknya, mereka mengonsumsi lebih banyak jenis makanan cepat saji yang kurang padat gizi. Kurikulum pendidikan dasar Papua perlu memasukkan program gizi berbasis masyarakat yang menonjolkan pengetahuan lokal.

Langkah pertama dalam memastikan ketahanan pangan adalah pemerintah bekerja sama dengan kelompok masyarakat adat untuk melestarikan dan menggunakan hasil bumi asli. Selain meningkatkan identitas budaya, kebangkitan kuliner daerah ini dapat mengurangi ketergantungan pada impor. Kedua, untuk menjamin distribusi pangan yang lebih efektif dan merata, penekanan harus diberikan pada pembangunan infrastruktur yang memfasilitasi aksesibilitas pangan, seperti jalan raya penghubung dan fasilitas penyimpanan.

Ketiga, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang nilai pola makan seimbang dan berbagai jenis makanan, diperlukan program pendidikan dan penyuluhan gizi yang berfokus pada budaya setempat. Untuk menjamin keberlangsungan langkah-langkah yang telah ditetapkan, pemerintah harus membangun sistem terbuka untuk memantau dan menilai ketahanan pangan dan melibatkan masyarakat setempat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. (Red)

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button