Era digital membuka peluang besar sekaligus tantangan bagi bahasa Indonesia. Dari tren penggunaan emoji hingga serapan asing seperti ‘influencer,’ bahasa kita terus berkembang. Namun, bagaimana kita menjaga identitas sekaligus beradaptasi? Mari bersama-sama menjadi bagian dari solusi untuk melestarikan kekayaan bahasa Indonesia sambil menjadikannya relevan di masa kini!”
BANTEN, biem.co – Digitalisasi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk cara manusia berkomunikasi. Kehadiran internet dan media sosial menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru, seperti singkatan, emoji, hingga istilah serapan dari bahasa asing.
Fenomena ini memunculkan keraguan – keraguan dimana satu sisi, digitalisasi dianggap dapat mengancam kemurnian bahasa Indonesia. Di sisi lain, digitalisasi menawarkan peluang untuk memperkaya bahasa agar lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan situasi yang terus berkembang ini, muncul pertanyaan penting dalam benak masyarakat, seperti apakah digitalisasi bahasa merupakan ancaman yang harus diwaspadai atau justru peluang besar yang perlu dimanfaatkan?
Salah satu kekhawatiran yang mencuat di era digital adalah ancaman digitalisasi terhadap kemurnian bahasa Indonesia. Transformasi yang cepat, terutama melalui media sosial, telah mempermudah penyebaran bahasa gaul, singkatan, dan penggunaan emoji yang sering kali tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku.
Fenomena ini menciptakan budaya komunikasi baru, di mana kata-kata seperti “ntar,” “gws” (get well soon), atau frasa campuran seperti “no problem deh” semakin populer di kalangan masyarakat, bahkan menggantikan kosakata baku dalam percakapan sehari-hari.
Perubahan ini, meski tampak sepele, memiliki dampak jangka panjang yang tidak dapat diabaikan. Banyak pihak khawatir bahwa kebiasaan ini akan mempersulit generasi mendatang dalam memahami teks-teks klasik atau karya sastra yang menggunakan bahasa Indonesia baku.
Ketika generasi muda lebih terbiasa dengan bentuk-bentuk bahasa informal, pemahaman mereka terhadap literatur berkualitas, dokumen resmi, atau karya akademik yang menggunakan tata bahasa yang benar, bisa menurun secara signifikan.
Melihat tren ini, diperlukan langkah proaktif untuk menjaga kelestarian dan kedalaman bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Pemerintah dan lembaga bahasa, seperti Badan Bahasa, diharapkan dapat memainkan peran strategis.
Upaya ini dapat mencakup kampanye literasi yang menyasar generasi muda, pembaruan pedoman penggunaan bahasa di era digital, serta penguatan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Selain itu, peran masyarakat, termasuk komunitas digital, juga sangat penting.
Dengan kesadaran bersama, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat tetap relevan di tengah arus globalisasi dan digitalisasi. Langkah ini tidak hanya menjaga kemurnian bahasa Indonesia, tetapi juga melestarikan kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya.
Namun, di sisi lain, digitalisasi juga membuka peluang besar untuk memperkaya bahasa Indonesia. Bahasa memiliki sifat dinamis yang memungkinkan terciptanya istilah-istilah baru yang relevan dengan perkembangan zaman.
Munculnya istilah seperti “influencer,” “start-up,” dan “e-wallet” menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia mampu mengakomodasi konsep-konsep modern. Bahkan, beberapa istilah serapan telah berhasil diadaptasi secara kreatif, seperti “gawai” untuk gadget atau “swafoto” untuk selfie.
Hal ini menunjukkan fleksibilitas bahasa Indonesia dalam menghadapi perubahan zaman. Untuk memanfaatkan peluang ini, diperlukan upaya untuk mengkodifikasi istilah-istilah baru agar tetap sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar. Proses ini dapat dilakukan melalui pembaruan rutin Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Meski demikian, digitalisasi juga menghadirkan tantangan besar dalam menjaga identitas bahasa Indonesia. Sebagai identitas bangsa, bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosakata yang khas.
Namun, penyerapan berlebihan dari bahasa asing, terutama bahasa Inggris, berpotensi mengikis keunikan tersebut dan membuat bahasa Indonesia terlihat seperti turunan dari bahasa lain.
Contohnya, penggunaan kata-kata seperti “event,” “meeting,” atau “launching” sering menggantikan padanan kata bahasa Indonesia yang sebenarnya sudah ada, seperti “acara,” “rapat,” atau “peluncuran.”
Untuk menghadapi tantangan ini, masyarakat perlu lebih kritis dalam memilih kata dan ungkapan yang digunakan, serta mendukung penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari.
Digitalisasi bahasa membawa dampak yang kompleks bagi perkembangan bahasa Indonesia. Di satu sisi, ia menghadirkan ancaman terhadap kemurnian bahasa dan identitas nasional; di sisi lain, ia menawarkan peluang untuk memperkaya kosakata dan mengakomodasi kebutuhan zaman.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang seimbang untuk menghadapi tantangan sekaligus memanfaatkan peluang yang ada. Pemerintah, lembaga bahasa, dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menjaga kelestarian bahasa Indonesia tanpa menghalangi kreativitas dan evolusi bahasa yang wajar.
Dengan pendekatan yang tepat, digitalisasi dapat menjadi katalis untuk memperkuat bahasa Indonesia, bukan mengancamnya. (Red)