BOGOR, biem.co – Penyedap rasa pertama kali diperkenalkan pada pertengahan hingga akhir tahun 1960. Penyedap rasa merupakan salah satu komponen penting dalam industri makanan karena mampu meningkatkan cita rasa suatu hidangan hanya dengan penambahan dalam jumlah kecil.
Penyedap didefinisikan sebagai zat yang ketika ditambahkan ke dalam makanan dapat memperkuat intensitas rasa atau memberikan profil rasa yang lebih kompleks pada produk akhir (Vasilaki et al. 2021). Konsumsi penyedap rasa secara global terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan meningkatnya preferensi terhadap makanan olahan yang praktis dan lezat.
Pada tahun 2021, wilayah Asia Tenggara dan Oseania, termasuk Indonesia, menyumbang 26% dari konsumsi penyedap rasa dunia. Angka ini menunjukkan peran besar kawasan tersebut dalam konsumsi penyedap rasa global, dengan pertumbuhan yang diperkirakan mencapai rata-rata 4,2% per tahun selama periode 2021–2026 (Hackett 2022). Tren ini mencerminkan besarnya potensi pasar, sekaligus peluang bagi inovasi produk penyedap rasa.
Masyarakat modern semakin menyadari pentingnya memilih bahan pangan yang aman dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, bahan alami sering dianggap sebagai alternatif yang lebih sehat dibandingkan bahan sintetis, terutama untuk penyedap rasa.
Upaya untuk mengembangkan penyedap rasa alami telah banyak dilakukan oleh peneliti dengan memanfaatkan sumber daya hayati. Beberapa bahan pangan seperti jamur, asam sunti, dan berbagai produk perikanan telah diteliti karena kandungan senyawa sumber rasa umami yang dimilikinya (Song et al. 2016; Wang et al. 2016; Manninen et al. 2018; Istiqamah et al. 2019; Mouritsen et al. 2019; Yonata et al. 2021).
Bahan alami lain yang memiliki potensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan penyedap rasa adalah tempe.
Tempe telah menjadi bagian integral dari budaya kuliner Indonesia sejak abad ke-16. Produk fermentasi ini tidak hanya populer sebagai sumber protein nabati yang murah, tetapi juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Berdasarkan data BPS (2021), konsumsi tempe di Indonesia mencapai rata-rata 20 gram per kapita per hari, menjadikannya salah satu makanan pokok yang paling digemari.
Berdasarkan tingkat fermentasinya, masyarakat mengenal tiga jenis tempe, yaitu tempe segar (fermentasi 1–2 hari), tempe semangit (fermentasi 5 hari), dan tempe bosok (fermentasi 7 hari atau lebih). Tempe bosok, meskipun memiliki aroma menyengat dan penampilan yang gelap, diminati karena cita rasa khasnya yang unik. Jenis tempe ini sering digunakan dalam masakan tradisional Jawa seperti sambal tumpang, lodeh, dan gudeg, yang mengandalkan perpaduan rasa gurih dan pedas.
Meskipun tempe bosok memiliki nilai kuliner yang tinggi, konsumsi dalam bentuk mentah memiliki keterbatasan karena fermentasi yang berkelanjutan dapat menurunkan kualitas dan keamanan pangan. Oleh karena itu, pengolahan tempe bosok menjadi produk baru seperti bubuk penyedap rasa alami merupakan langkah inovatif untuk memperpanjang masa simpan dan memanfaatkan potensinya secara maksimal.
Produk ini tidak hanya menawarkan alternatif penyedap rasa yang sehat, tetapi juga memberikan nilai tambah pada tempe bosok, membuka peluang diversifikasi produk lokal, dan memperluas pasar hingga tingkat global.
Kandungan gizi dalam tempe bosok meningkat seiring waktu fermentasi. Penelitian Rizal et al. (2022) menunjukkan bahwa aktivitas metabolisme mikroorganisme selama fermentasi tempe menghasilkan perubahan signifikan pada komposisi zat gizi.
Selama fermentasi, jamur Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim protease yang memecah protein menjadi asam amino bebas. Proses ini meningkatkan kadar protein dan memperkaya kandungan asam amino esensial dalam tempe. Selain itu, pemecahan senyawa karbohidrat selama fermentasi juga menyebabkan akumulasi lemak, menjadikan tempe bosok sumber energi yang lebih kaya.
Dengan demikian, kandungan zat gizi dalam tempe bosok tidak hanya bermanfaat untuk kesehatan, tetapi juga berkontribusi pada cita rasa unik yang dihasilkannya.
Keunggulan lain dari tempe bosok terletak pada kandungan isoflavonnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempe segar. Isoflavon seperti daidzein dan genistein diketahui memiliki banyak manfaat kesehatan, termasuk mengurangi risiko osteoporosis, melindungi kesehatan kardiovaskular, dan bahkan mencegah kanker (Herwana et al. 2015; Parida et al. 2014; Pavese et al. 2014).
Berdasarkan penelitian Astawan et al. (2023), kandungan daidzein dalam tempe bosok mencapai 343,0 µg/g, sementara genisteinnya sebesar 587,1 µg/g. Komponen ini tidak hanya menjadikan tempe bosok sebagai bahan pangan yang fungsional, tetapi juga mendukung pengembangan produk pangan sehat berbasis lokal.
Selain isoflavon, kandungan asam amino dalam tempe bosok juga memberikan kontribusi penting terhadap cita rasa dan manfaat kesehatan. Kandungan asam glutamat dan asam aspartat dalam tempe bosok memberikan sensasi umami yang kuat, yang sering dianggap sebagai “rasa kelima” dalam dunia kuliner.
Proses fermentasi yang berlangsung lama memungkinkan akumulasi asam amino bebas dalam jumlah besar, sehingga tempe bosok memiliki rasa gurih yang khas. Selain berfungsi sebagai penyumbang rasa, asam amino ini juga berperan dalam mendukung fungsi tubuh, seperti pembentukan otot, penyembuhan jaringan, dan produksi energi (Brunetto et al. 2020).
Sebagai mahasiswa Ilmu Pangan, saya melihat potensi besar dalam pengembangan tempe bosok menjadi produk inovatif seperti bubuk penyedap rasa alami. Proses ini tidak hanya akan melestarikan warisan kuliner Indonesia, tetapi juga memberikan solusi bagi masyarakat modern yang mencari alternatif penyedap rasa yang sehat dan ramah lingkungan.
Dengan kandungan gizi yang kaya dan cita rasa unik, tempe bosok dapat diolah menjadi produk dengan nilai tambah tinggi yang berdaya saing di pasar global. Selain itu, inovasi ini juga dapat mendorong keberlanjutan ekonomi lokal melalui pemanfaatan bahan pangan tradisional.
Pengembangan tempe bosok menjadi bubuk penyedap rasa tidak hanya mendukung diversifikasi pangan lokal, tetapi juga membuka peluang besar dalam industri makanan modern. Penyedap rasa berbasis tempe bosok memiliki potensi untuk diterima luas karena menggabungkan aspek kepraktisan, kesehatan, dan keunikan rasa.
Dengan dukungan penelitian yang lebih lanjut, saya berharap inovasi ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda, untuk terus mengeksplorasi kekayaan kuliner lokal yang belum tergali secara maksimal. Upaya ini pada akhirnya akan memberikan dampak positif tidak hanya pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada pelestarian budaya kuliner dan penguatan daya saing produk pangan Indonesia di tingkat global. (Red)
DAFTAR PUSTAKA
Ali S, Sattar Khan A, Ullah AM, Anjum MA, Nawaz A, Shah HMS. 2019. Modified atmosphere packaging delays enzymatic browning and maintains quality of harvested litchi fruit during low temperature storage. Scientia Horticulturae 254:14–20. doi: 10.1016/j.scienta.2019.04.065.
Astawan M, Cahyani AP, Wresdiyati T. 2023. Antioxidant activity and isoflavone content of overripe Indonesian tempe. Food Research. 1:42-50.
Brunetto M del R, Gallignani M, Orozco W, Clavijo S, Delgado Y, Ayala C, Zambrano A. 2020. The effect of fermentation and roasting on free amino acids profile in Criollo cocoa (Theobroma cacao L.) grown in Venezuela. Brazilian Journal of Food Technology. 23. DOI:10.1590/1981-6723.15019.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2021. Statistik Indonesia 2021. Jakarta(ID): BPS.Hackett M. 2022. Monosodium Glutamate. Chemical Economics Handbook.
Herwana E, Setiabudy R, Soegondo S, Baziad A, Hidayat A. 2015. Soy isoflavone supplementation increases equol-producing capability in postmenopausal women with osteopenia. Universa Medicina. 31: 120–130.
Istiqamah A, Lioe HN, Adawiyah DR. 2019. Umami compounds present in low molecular umami fractions of asam sunti – A fermented fruit of Averrhoa bilimbi L. Food Chemistry. 270:338–343.
Manninen H, Rotola-Pukkila M, Aisala H, Hopia A, Laaksonen T. 2018. Free amino acids and 5′-nucleotides in Finnish forest mushrooms. Food Chemistry. 247:23–28.
Mouritsen OG, Duelund L, Petersen MA, Hartmann AL, Frøst MB. 2019. Umami taste, free amino acid composition, and volatile compounds of brown seaweeds. Journal of Applied Phycology. 31:1213–1232.
Parida S, Singh TU, Thangamalai R, Reddy CEN, Panigrahi M, Kandasamy K. 2015. Daidzein pretreatment improves survival in mouse model of sepsis. Journal of Surgical Research. 197: 363–373.
Pavese JM, Krishna SN, Bergan RC. 2014. Genistein inhibits human prostate cancer cell detachment, invasion, and metastasis. The American journal of clinical nutrition, 100: 431S–436S.
Rizal S, Kustyawati ME, Suharyono AS, Suyarto VA. 2022. Changes of nutritional composition of tempeh during fermentation with the addition of Saccharomyces cerevisiae. Biodiversitas. 23: 1553-1559. DOI: 10.13057/biodiv/d230345.
Song S, Li S, Fan L, Hayat K, Xiao Z, Chen L, Tang Q. 2016. A novel method for beef bone protein extraction by lipase-pretreatment and its application in the Maillard reaction. Food Chemistry.
Vasilaki A, Panagiotopoulou E, Koupantsis T, Katsanidis E, Mourtzinos I. 2022. Recent insights in flavor-enhancers: Definition, mechanism of action, taste- enhancing ingredients, analytical techniques and the potential of utilization. Crit Rev Food Sci Nutr. 62(32):9036-9052. DOI:10.1080/10408398.2021.1939264.
Wang S, He Y, Wang Y, Tao N, Wu X, Wang X, Qiu W, Ma M. 2016. Comparison of flavour qualities of three sourced Eriocheir sinensis. Food Chemistry. 200:24–31.
Yonata D, Nurhidajah, Pranata B, Yusuf M. 2021. Pengembangan penyedap rasa alami dari cangkang rajungan dengan metode foam-mat drying. Agrointek. 15(1):371-381. DOI:10.21107/agrointek.vl5il.8799.