BOGOR, biem.co – Menurut FAO (2011), Sekitar 1,3 miliar ton limbah pangan dihasilkan setiap tahun di seluruh dunia. Angka ini setara dengan makanan yang di produksi untuk konsumsi manusia. Limbah pangan tidak hanya terjadi pada rumah tangga tetapi juga sepanjang rantai pasok, mulai dari produksi hingga distribusi.
Dengan berkembangnya teknologi pengolahan limbah organik, budidaya pertanian masa depan berpotensi mengarah pada sistem pertanian tanpa limbah (Zero Waste Farming System). Dalam sistem ini, limbah organik dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pakan ternak, pupuk organik, media tanam, briket bahan bakar, gas, dan bioetanol.
Ada beberapa faktor yang mendorong pengembangan penelitian produksi alkohol secara global saat ini. Pertama, kebutuhan dan konsumsi energi terus meningkat, sedangkan sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi semakin terbatas.
Kedua, bioetanol memiliki keunggulan dibandingkan bensin, antara lain meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Ketiga, bahan lignoselulosa yang melimpah dan tidak dimanfaatkan sebagai bahan pangan dapat dijadikan sumber energi tanpa mengganggu pasokan pangan. Selain itu, etanol juga memiliki banyak fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Toharisman (2010), pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar memiliki beberapa kelebihan, di antaranya seperti lebih ramah lingkungan. Bioetanol memiliki angka oktan 117, lebih tinggi dibandingkan premium yang hanya memiliki oktan 87-88.
Oleh karena itu, etanol dapat menggantikan Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Methyl Tertiary Butyl Ether (MTBE) yang mengandung timbal. Penggunaan etanol murni juga menghasilkan emisi CO₂ yang 13% lebih rendah dibandingkan premium, serta menurunkan emisi CO dan UHC dibandingkan dengan penggunaan premium. Pemanfaatan limbah pangan menjadi bioetanol bertujuan untuk menyelesaikan beberapa masalah utama, antara lain:
- Mengurangi Limbah Pangan: Mengubah limbah pangan menjadi bioetanol membantu mengurangi jumlah limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Limbah pangan yang tidak terkelola dapat menimbulkan masalah lingkungan seperti pencemaran tanah dan air, serta menghasilkan gas metana, yang merupakan gas rumah kaca kuat.
- Mengurangi Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil: Dengan mengubah limbah pangan menjadi bioetanol, energi alternatif yang terbarukan dapat dihasilkan. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang jumlahnya semakin menipis dan mahal. Bioetanol dari limbah pangan menawarkan sumber energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
- Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca: Bioetanol memiliki emisi karbon hingga 50% dibandingkan bahan bakar fosil. Dengan demikian, pemanfaatan limbah pangan untuk menghasilkan bioetanol membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dampak perubahan iklim. Limbah pangan yang terproses dapat mencegah pelepasan metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dari CO2.
- Meningkatkan Efisiensi Sumber Daya: Limbah pangan yang masih memiliki kandungan energi dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk memproduksi bioetanol, menjadikannya sumber daya yang efisien dan bernilai tambah. Ini juga membantu menciptakan ekonomi sirkular di mana limbah diubah menjadi produk bernilai.
- Mengurangi Persaingan dengan Sumber Pangan: Bioetanol yang diproduksi dari limbah pangan, terutama limbah yang tidak layak dikonsumsi manusia, tidak akan mengganggu pasokan pangan. Ini berbeda dari bioetanol yang dihasilkan dari tanaman pangan, seperti jagung, yang dapat memicu persaingan antara penggunaan untuk pangan dan energi. Dengan mengatasi berbagai masalah ini, pemanfaatan limbah pangan menjadi bioetanol berpotensi mendukung keberlanjutan lingkungan, ketahanan energi, dan pengelolaan limbah yang lebih baik.
Data dari FAO (2023) menyebutkan bahwa 931 juta ton limbah pangan berakhir di tempat pembuangan akhir setiap tahun, menyebabkan kerugian ekonomi dan emisi metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan investasi dalam infrastruktur pengelolaan limbah seperti fasilitas fermentasi dan pemberian insentif. Sebagai contoh, teknologi fermentasi enzim lignoselulosa yang efisien dapat mengubah limbah menjadi bioetanol.
Dengan pendekatan terpadu, terutama untuk limbah dari rumah tangga dan layanan makanan yang mencapai lebih dari 50%, masalah ini dapat dikelola lebih baik.Teknologi ini diterapkan secara luas pada limbah pertanian dan pangan, termasuk di beberapa negara dengan keberhasilan yang signifikan, seperti Brasil dan AS.
Model keberhasilan dari Brasil menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan pemerintah, subsidi, dan teknologi canggih seperti pretreatment biomassa membantu memaksimalkan produksi bioetanol dari limbah. Brasil, dengan teknologi ini, berhasil memanfaatkan bagas tebu sebagai bahan baku utama, menjadikannya pemimpin global dalam bioetanol berbasis biomassa. (Red)
Aisyah Puteri Suherman, penuis adalah mahasiswi Magister Ilmu Pangan, IPB University
Daftar Pustaka:
Knez Ž, & Leitgeb M. 2021. Bioethanol Production by Enzymatic Hydrolysis from Different Lignocellulosic Sources. Molecules. 263(1):753
Toharisman, A. 2010. Etanol dari Tebu. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Pasuruan