TEMANGGUNG, biem.co – Sastrawan dari tiga negara ASEAN bicara di Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung dalam seminar internasional bertajuk “Character Education Based on Literature and Culture: Opportunities and Challenges in the Artificial Intelligence Age” pada Sabtu (29/6/2024).
Para sastrawan yang dimaksud adalah Prof. Dr. Ir. Wan Abu Bakar bin Wan Abas, FASc., Presiden Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (GAKSA), Asst. Prof. Dr. Phaosan Jehwae, dosen Department of Malay Language Education, Faculty of Education, Fatoni University, South Thailand, penyair Muhammad Rois Rinaldi, Wakil Presiden Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (GAKSA), dan dosen Pendidikan Pancasila Inisnu Temanggung Dr. Rhindra Puspitasari.
Dalam kegiatan kolaboratif antara Inisnu Temanggung dengan Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (GAKSA) yang dilaksanakan secara blended yang bertempat di aula lantai tiga dan via Zoom Meeting tersebut, Rektor Inisnu, Dr. H. Muh. Baehaqi, mengatakan perlunya pendidikan karakter yang mengacu nilai-nilai yang terkandung dalam sastra dan budaya yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
Wakil Rektor I Inisnu Temanggung Dr. Hamidulloh Ibda, menuturkan urgensi, bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. “Dalam konteks ini, pendidikan karakter menjadi semakin penting untuk membentuk individu yang berintegritas, kreatif, dan memiliki empati tinggi. Sastra dan budaya memiliki peran vital dalam pembentukan karakter manusia. Seminar ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pendidikan karakter dapat diintegrasikan dengan sastra dan budaya di era kecerdasan buatan, serta mengeksplorasi peluang dan tantangan yang muncul,” ungkapnya.
Asst. Prof. Dr. Phaosan Jehwae melalui Zoom Meeting menceritakan perkembangan bahasa Melayu di Thailand yang masih dijaga ketat. Ia juga mengatakan kendala-kendala mendirikan sekolah, madrasah, pesantren, dan menjaga nilai-nilai dan penuturan bahasa Melayu Pattani di Thailand Selatan. Karakter orang Melayu di Thailand, ungkapnya, tidak dapat dipisahkan dari bahasa Melayu. Ia juga menjelaskan bahwa sastra Melayu ia kemas dalam beragam genre dan alih wahana.
Prof. Dr. Ir. Wan Abu Bakar bin Wan Abas, FASc., mengatakan bahwa pada umumnya, pendidikan adalah untuk pembangunan watak atau karakter pelajar, khususnya dalam membentuk peribadi dan sikap mulia. Maka pendidikan karakter mempunyai tujuan mewujudkan pengalaman persekolahan yang mampu membina karakter pelajar ke arah yang didefinisikan.
“Za’ba, tokoh pendidikan Melayu, pernah menulis akan perlunya pendidikan dan pembudayaan yang sebenar-benarnya. Beliau menerangkan tiga aspek penting pendidikan yaitu pendidikan pembudayaan, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan ke arah kesejahteraan,” kata profesor di Jabatan Kejuruteraan Bioperubatan, Fakulti Kejuruteraan, Universiti Malaya (UM), Kuala Lumpur tersebut.
Hal yang dimaksudkan oleh Za’ba, kata Irwan, ialah masyarakat yang berbudaya ilmu. “Maka pendidikan pada masa kini tidak harus tertumpu kepada Kecerdasan Buatan (AI) semata-mata malah perlu menempatkan kemuliaan insan sebagai matlamat utamanya. Jelasnya pendidikan bukan hanya tentang pengetahuan sebaliknya melibatkan pembentukan kesejahteraan diri. Yang hendak dibina ialah masyarakat yang terfokus kepada budaya, adab, dan tamadun,” kata Prof Irwan yang juga Presiden Persatuan Aktivis E-sastera, Malaysia (E-SASTERA) tersebut melalui Zoom Meeting.
Dalam materinya bertajuk “Hubungan Sastra Dengan Pendidikan Karakter”, Muhammad Rois Rinaldi menyampaikan bahwa kata “Sastra” dari Sansekerta yaitu shaastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. “Sumardjo dan Saini KM (1991: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa,” kata dia.
Sastra dalam pengertian sempit, katanya, roman, novel, puisi, cerpen, dongeng. “Apakah semua bentuk karya sastra itu dapat membangun identitas dan membentuk karakter?” tanyanya secara retoris kemudian mejelaskan bahwa melalui karya sastra yang baik dibuat secara optimum sehingga melahirkan generasi yang dapat membuat keputusan secara tepat, karena ekuilibritasnya terbentuk, termasuk keputusan-keputusan moral yang menjadi isu utama masa kini.
Ekuilibritas, jelas Rois, dikemukakan oleh Piaget untuk melihat bagaimana pergeseran anak bergerak dari satu pemikiran ke pemikiran selanjutnya saat mengalami konflik kongnitif atau disekuilibrum dalam proses memahami dunia.
“Pada kemampuan untuk optimum ini pendidikan karakter harus dijalankan. Mahasiswa jangan bilang dosen pembimbing jahat. Banyak mahasiswa sampai nangis darah. Itu para dosen pembimbing sedang berupaya meluluskan anda seoptimum mungkin. Lebih baik menangis di kampus daripada menangis saat menghadapi kehidupan setelah sarjana karena lulus ala kadarnya,” tegasnya.
Rois juga menerangkan bahwa karya sastra merukapan representasi terbaik bahasa, sementara itu bahasa merupakan media yang digunakan manusia untuk mengakses dunia. Bahasa adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk memaknai dan menyampaikan makna. Bahasa pula menjadi alat ukur kebermaknaan. Jadi, bersastra mengajak manusia sampai pada capaian terbaik berbahasa untuk menjalani hidup atas bahasa yang tepat. Itu berarti juga atas nalar yang tepat.
Dalam materinya bertajuk “Strategy education-based culture in build character nation”, Dr. Rhindra Puspitasari mengatakan bahwa Pancasila berkaitan erat dan dapat menjadi acuan pengambilan keputusan atau tindakan moral, kebajikan, tata susila, teleologi (utilitarianisme), pendidikan moral atau pendidikan karakter. “Kewarganegaraan menunjuk pada Bagaimana pendidikan dapat mendukung pengembangan identitas siswa,” katanya.
Pendidikan moral sekaligus merupakan kondisi yang diperlukan untuk pengendalian sosial, serta metode yang tidak dapat dihindari untuk realisasi diri, moralitas (dari luar) menyediakan metode untuk berhubungan dengan orang lain dan (dari dalam) untuk berhubungan dengan diri sendiri.
“Definisi pendidikan karakter kontemporer, yaitu pendidikan yang bertujuan Tidak hanya mengubah perilaku, tetapi berusaha menghasilkan jenis karakter tertentu, Dan membantu membentuknya dengan metode tertentu. Kata “bentuk” dan “bentukan” tidak berarti pasif tetapi mengandaikan individu yang aktif dan ikut serta secara sadar dalam pembentukan karakternya. PKIt artinya sangat berkaitan dengan pembentukan dan transformasi seseorang (person) dan mencakup pendidikan di sekolah, keluarga dan melalui partisipasi individu dalam jejaring sosial,” katanya.
Di akhir paparannya, strategi pendidikan berbasis kebudayaan dalam membangun karakter bangsa dapat dilakukan melalui penguatan pengamalan nilai-nilai pancasila melalui pendidikan karakter, penerapan karakter melalui kurikulum nasional, dan penerapan budaya nilai melalui model pembelajaran di sekolah.
Kegiatan yang menyediakan ruang bicara kepada sastrawan ASEAN tersebut dipandu oleh Najib Mubarok, M.Sc., sebagai moderator. Diikuti dua ratus lebih peserta secara tatap muka dan via Zoom Meeting dari berbagai negara. Hadir sejumlah pelajar SMA, dosen, pejabat, dan tamu undangan. (Red)
View this post on Instagram