Di ambang subuh yang gelap, saya bangun untuk menunaikan ibadah. Ternyata Enjas sudah bangun lebih dulu dan merapat ke rumah bagian belakang tempat dimana kopi, teh, dan sarapan sedang disiapkan. Dia hendak menghangatkan tubuh yang masih diselimuti sisa-sisa dingin yang belum sepenuhnya hilang. Kokok ayam jantan yang bersahutan pun mengisyaratkan bahwa hari telah berganti.
Pagi itu, usai sarapan kami mengamati keseharian masyarakat Kampung Adat Waerebo. Ingat, pemakaian sarana dan prasarana yang serba alami masih mendominasi cara mereka mempertahankan hidup. Misalnya untuk urusan masak-memasak, mereka memakai kayu bakar yang pasokannya berlimpah di alam sekitar.
Tak lama berselang, saya juga memergoki seorang perempuan yang sedang menumbuk padi. Di sekitarnya ada beberapa ekor anjing dan ayam yang menemaninya bekerja dengan rela dan gembira. Ada juga seorang laki-laki tua mengisi waktu kosongnya dengan membuat gelang yang selanjutnya banyak diburu oleh para pengunjung sebagai cendera mata. Setelah itu kami mengambil beberapa gambar.
Masyarakat di Kampung Adat Waerebo menjaga dan memelihara hidupnya dengan tetap mengawal keluhuran perilaku, dan etos kerja. Dalam bingkai keseimbangan bersama alam, mereka berusaha hidup mandiri. Sekali lagi, semua itu tampak dalam aktivitas hidup sehari-hari.
Saat itu kami bertegur sapa, diikuti saling bertukar kabar. Satu ekspresi kekerabatan yang baik dan perlu. Dalam suasana sederhana dan alami, sambil ngobrol sedikit-sedikit, semuanya terasa nikmat. Tapi, kenikmatan itu dikacaukan oleh cuaca pegunungan yang berubah dengan cepat. Cuaca cerah berganti gerimis. Sampai akhirnya Enjas mengingatkan kami waktunya pulang.
Suasana hati sudah seperti langkah kaki, sama-sama berat. Kampung Adat Waerebo menghadirkan emosi yang kuat. Saya menjauh dan sesekali masih menoleh ke belakang. Tak lama berselang, gelegar guruh memecah ketenangan kampung. Beberapa orang yang kami lewati sedang asyik beraktivitas ala petani gunung. Mereka menunjukkan etos kerja dan spirit bertahan hidup yang tangguh. Di tengah kebun kopi miliknya, mereka bekerja dengan penuh kegigihan. Hujan pun turun dan kami semua terburu-buru memakai jas hujan yang kami beli kemarin. Suasana berubah dengan gesit.
Kunjungan itu begitu singkat. Tapi bukankah kunjungan atau ziarah selalu bersifat sementara dan kadang meninggalkan perasaan tak puas. Dari sini kami belajar bahwa entah kapan dan dimana pun itu, seperti kata Agustinus Wibowo, ziarah tetap akan menjadi bagian dari perjalanan hidup yang tak pernah usai. (Red)
Muhammad Hidayat Chaidir, pelancong, tinggal di Banten.