OpiniTerkiniWisata & Kuliner

Sebelum Hujan di Waerebo

Oleh : Muhammad Hidayat Chaidir

Pengunjung dilarang keras menaiki gundukan tanah yang dikelilingi batu-batu itu. Ada marwah leluhur yang bersemayam di sana, sehingga kalau ada orang yang berdiri di atasnya, arwah leluhur orang-orang Kampung Adat Waerebo akan marah. Dan akan ada hal-hal ganjil yang dialami oleh siapa saja yang melanggarnya. “Tenang saja. Tak usah takut. Tenang saja,” begitu kata ketua adat kepada kami berdua berkali-kali sebelum kami diantar menuju rumah penginapan.

Saya dan istri selalu menaruh rasa salut sekaligus bangga yang setinggi-tingginya pada orang-orang seperti mereka. Inilah satu pertaruhan eksistensi dan kesetiaan pada pilihan hidup yang telah dipegang dan dihayati bertahun tahun, bahkan turun-temurun dari generasi ke generasi.

Waerebo adalah kampung yang menyimpan banyak cerita petualangan yang dilakoni oleh generasi sebelumnya. Di kampung ini, hidup kurang lebih 150 jiwa. Keseharian mereka antara lain menenun, beternak, bertani kopi. Sepanjang jalan menuju ke mari, pengunjung akan melihat hamparan pohon kopi. Kata orang, kopi Waerebo punya aroma dan rasa yang khas.

Muhammad Hidayat Chaidir

Akhirnya kami diantar menuju penginapan. Lokasinya tak lain adalah satu dari ketujuh rumah adat di sini. Rumah-rumah ini berdiri kokoh dengan umur yang panjang. Kami perhatikan tiang-tiang penyangga struktur rumah yang usianya tak muda lagi. Demikianlah menurut mereka.

Saya dan istri disambut dengan welcome drink berupa teh dan kopi. Pemuda tadi menjelaskan hal-hal yang umum saja seperti dimana kami akan tidur, lokasi kamar mandi, toilet dan lain-lain. Matras, bantal, dan selimut yang bersih telah disediakan di sisi pinggir dari ruangan itu. Tidur bareng ceritanya, hehe. Saya sendiri jadi ingat pengalaman pelatihan kepemimpinan di Akademi Militer (AKMIL) Magelang dulu. Tidur dalam satu barak.

Saya dan istri rehat sejenak sembari beramah tamah dengan dua-tiga orang pemuda lainnya yang ada di situ. Hanya ingin memastikan siapa tuan rumah kami. Dan usai menata dan menaruh barang, rasanya tak sabar untuk segera membersihkan badan. Mengganti pakaian yang basah setelah jalan naik turun yang melelahkan. Sejujurnya sungguh melelahkan dan memeras keringat. Tapi, semua itu hilang setelah kami merasakan sensasi air yang dingin yang menyegarkan tubuh.

Tamu-tamu yang lain pun terus bermunculan sore itu. Bahkan ketika hari sudah gelap, masih ada saja wisatawan asing yang datang. Kemurahan hati masyarakat Kampung Adat Waerebo terhadap siapa pun yang datang kemari telah termasyhur ke semua telinga pelancong.

Petang menyapa dan Waerebo menggelap dengan cepat. Di luar, suasana gelap gulita. Tapi di dalam rumah ada bola lampu yang menyala atas bantuan tenaga genset. Malam itu, kami berharap bisa menikmati tebaran bintang-gemintang di atas langit Kampung Adat Waerebo yang bersih. Sayang sekali kabut mendung tidak mau pergi. Harapan itu kami ganti dengan membaur di antara tamu lain sembari menunggu hidangan makan malam.

Editor: Rois Rinaldi
Previous page 1 2 3 4 5 6Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button