Tak terasa satu jam berlalu. Tubuh kami sudah bermandikan peluh. Selain berhenti di pos untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga, kami juga berhenti di mana saja yang kami kehendaki. Membasahi kerongkongan di tengah udara yang mulai dingin. Saya membanyangkan betapa beruntungnya mereka di sini. Hidup di tengah udara yang kebersihannya sangat memukau serta gemericik air yang jernihnya pun membawa kedamaian.
Kelelahan selama tiga jam trekking seolah terbayar lunas begitu kami tiba di kampung adat itu. Apa yang selama ini kami lihat di sosial media terkonfirmasi secara nyata di depan mata. Panorama irama deretan sosok rumah adat dengan bayang-bayang kabut di belakangnya melukis suasana kampung yang begitu hidup. Beberapa aktivitas warga yang tampak saat itu sungguh menggambarkan denyut suasana khas sebuah kampung. Anak-anak yang berlarian di sekitar altar budaya, orang tua yang duduk di depan rumah, sementara anggota keluarga lain ada yang sedang memberi makan ternak mereka.
Tujuh rumah adat itu menyambut kami dengan diam. Hari sudah mulai sore, sementara kabut dari kejauhan memperindah suasana hari itu. Barisan gunung-gunung yang mengelilingi kampung adat ini bermandikan kabut tadi. Hamparan rumput hijau dengan udara pegunungan yang sejuk. Ah, Waerebo menggoda tanpa ampun!
Setiap pengunjung di antar menuju rumah utama karena akan ada semacam prosesi adat setempat dalam rangka menyambut tamu. Untuk sementara seorang pemuda lokal menemani kami. Tak lama setelah berada di dalam rumah utama, sang ketua adat datang menemui kami, tamu-tamunya. Penampilannya sederhana. Sarung tenun, kemeja putih, dan ikat kelapa. Dia menasihati kami perihal apa yang boleh dan tak boleh dilakukan selama di situ. Informasinya kurang lebih sama dengan yang disampaikan Enjas dalam perjalanan tadi. Satu hal yang ditekankan, yaitu keberadaan altar budaya yang terletak di tengah kampung.
Agar kunjungan ke mari berjalan dengan baik, memang sudah seharusnya memperhatikan dengan serius aturan berkunjung dan keseriusan menghormati apapun yang diyakini oleh masyarakat setempat. Masih dari dalam rumah itu, saya melempar pandangan dari sudut ke sudut ruangan. Dari keterangan ketua adat, rumah ini terdiri dari lima lantai. Lantai pertama berfungsi sebagai tempat tinggal. Lantai kedua untuk menyimpan stok makanan dan peralatan rumah tangga. Lantai ketiga untuk menyimpan cadangan makanan jika sewaktu-waktu terjadi paceklik atau gagal panen. Lantai keempat untuk menyimpan benih untuk bercocok tanam. Dan lantai kelima dikhususkan untuk menyimpan sesajian ritual adat untuk leluhur saat pertama kali rumah adat ini didirikan.
Kesan alami terlihat kuat pada konstruksi rumah yang mereka tempati. Semua serba alami dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di alam. Sebut saja kayu untuk tiang dan kerangka utama, tali rotan untuk menyatukan semua bahan. Bukan paku. Atapnya terbuat dari daun lontar yang ditutupi ijuk. Sungguh unik lagi hemat.