InspirasiOpini

Belajar Kebahagiaan dari Yogyakarta

Oleh Eko Supriatno

biem.coPenulis berkesempatan Pada tanggal 08 Agustus 2023 beserta rombongan Tenaga Ahli dari DPRD Banten mengunjungi Sekretariat Dewan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kunjungan tersebut merupakan upaya untuk mempererat hubungan antar lembaga legislatif di tingkat daerah serta memperluas wawasan terkait pengelolaan pemerintahan lokal.

Kunjungan kerja ini disambut dengan hangat oleh Sekretariat Dewan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang merupakan bagian penting dalam mendukung tugas-tugas Tenaga Ahli DPRD. Tujuan utama dari kunjungan ini adalah untuk berbagi pengalaman dan bertukar informasi.

Ada dua hal sangat penting yang bisa menjadi pelajaran bagi Banten.

Pertama, BPS merilis hasil survei kebahagiaan Banten tahun 2021. Berdasarkan hasil survei tersebut, Provinsi Banten menjadi daerah dengan indeks kebahagiaan paling rendah se-Indonesia. Indeks tersebut diukur melalui survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) yang dilaksanakan 3 tahun sekali dengan indikatornya kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia). Hasilnya, kepuasan hidup warga Banten 72,61, perasaan: 60,61 dan makna hidup: 70,28.

Padahal Provinsi Banten selalu masuk dalam 10 besar APBD tertinggi di Indonesia, ini tentunya ironis karena tidak berbanding lurus dengan kondisi kemiskinan, pengangguran yang ada dan juga persoalan ‘kebahagiaan’ di Provinsi Banten.

Berbeda dengan Indeks Kebahagiaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selalu menjadi ‘nomor satu’  peringkat terbahagia untuk Indeks Kebahagiaan.

Padahal sejatinya, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah termiskin se-Jawa. Meski disebut daerah termiskin dan ketimpangan yang cukup tinggi. Diketahui persentase penduduk miskin di DIY pada September 2022 sebesar 11,49 persen, atau jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebanyak 463,63 ribu orang. Sementara berdasar data BPS indeks kebahagiaan DIY pada 2021 yaitu 71,70.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, angka kemiskinan DIY adalah 11,7, lebih tinggi dari angka nasional 9,41. Yogyakarta berada di urutan 12 angka kemiskinan tertinggi, dan menjadi yang termiskin di Pulau Jawa. Rasio gini atau ketimpangan pendapatan di DIY yang tertinggi di Indonesia, yaitu 0,423.

Upah Minimum Provinsi juga memegang rekor sebagai terendah di Indonesia, dengan Rp1.704.608. Angka itu lebih rendah Rp38 ribu dari Jawa Tengah, Rp64 ribu dari Jawa Timur, dan Rp106 ribu dari Jawa Barat.

Pemerintah DIY sebenarnya sudah lama menyadari bahwa dalam beberapa tahun terakhir, daerah istimewa ini selalu nangkring di rangking teratas sebagai daerah termiskin di Pulau Jawa. Hal itu juga yang kemudian membuat persoalan kemiskinan di DIY jadi isu strategis yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) DIY 2017-2022.

Data terakhir, atau awal 2023, angka kemiskinan di DIY mengalami kenaikan dibandingkan periode yang sama pada 2022 lalu. Pada Maret 2022, angka penduduk miskin di DIY sebesar 11,34 persen atau sejumlah 454,76 ribu orang. Namun rilisan data terakhir menunjukkan peningkatan menjadi 11,49 persen atau setara 463,63 ribu orang.

Rendahnya peringkat Yogyakarta di sektor tenaga kerja dan ekonomi itu, berbanding terbalik dengan kualitas hidup masyarakatnya. Menurut Indeks Kebahagiaan yang dikeluarkan BPS, Yogyakarta menjadi provinsi yang paling bahagia se-Indonesia. Angka harapan hidup DIY bahkan tertinggi, yaitu 74 tahun, di atas rata-rata nasional 71 tahun

Kenapa Yogyakarta selalu nangkring menjadi provinsi terbahagia?

Bagi penulis, kebahagiaan adalah berkaitan dengan cara pandang terhadap diri dan terhadap hidup.

Dalam kehidupan, kebahagiaan merupakan hal yang paling dicari setiap orang. Sekelas Aristoteles bahkan meyakini bahwa kebahagiaan adalah kebajikan tertinggi. Namun, jika dicermati, kebahagiaan tak memiliki definisi tunggal.

Kebahagiaan bermakna luas. Bisa jadi setiap orang memiliki kebahagiaan sendiri-sendiri. Suatu keadaan mungkin membahagiakan bagi seseorang, namun tak begitu membahagiakan bagi orang lain.

Pandangan penulis, cara pandang orang Jogja sangat berkaitan dengan filsafat hidupnya. Cara pandang seseorang inilah yang akan memengaruhi hal yang ingin dicapai dalam hidupnya. Hal ini lah yang mempengaruhi eseorang memaknai kebahagiaan.

Filsafat hidup orang Jogja itu adalah pasrah, keikhlasan yang tinggi, dan manunggaling kawula Gusti.

Bagi orang Jogja, bahagia itu sederhana. Ora neko-neko, nrimo, yang penting berkah. Sedangkan bagi masyarakat umum agak lebay, bahwa Jogja itu adalah surga.

Nrimo ing pandum diambil dari dua kata dalam bahasa Jawa, yakni nerimo artinya menerima dan pangdum artinya pemberian.

Jika diartikan secara harfiah, maka nerimo ing pandum artinya menerima segala pemberian Tuhan.

Padahal, istilah nerimo ing pandum yang terdapat dalam wejangan pada dasarnya diikuti oleh kalimat makaryo ing nyoto, yang berarti bekerja secara nyata.

Orang Jogja dikenal mengutamakan kebersamaan, keharmonisan, yang menurunkan nilai penting materi.

Konsep yang sangat penting pada orang Jogja, yang bisa membuat persoalan kemiskinan itu tidak harus ditakutkan.

Orang Jogja juga mengamalkan istilah sithik eding, sama-sama meski sedikit. Saya ingat dulu waktu kecil itu kalau kita punya sedikit, kemudian orang tua bilang, sithik eding, dibagi tapi sama-sama sedikit.

Sithik bermakna sedikit, dan eding kurang lebih bermakna berbagi atau sama-sama. Dalam konsep ini, berbagi lebih dipentingkan daripada jumlahnya yang sedikit tadi. Berbagi itu memberi kenyamanan hidup, dan mengajarkan bahwa materi bukan nomor satu.

Karena dilatih dengan konsep hidup semacam itu, ketika berusia tua, orang Jawa cenderung menjalani hidup lebih tentram.

Penulis bisa melihat sendiri bagaimana orang-orang tua ‘mbah’  yang ada di kampung tempat dia tinggal, hidup dalam ritme sederhana. Itulah kunci panjang umur. Kebahagiaan hidup dan usia harapan hidup tinggi, mungkin karena memang hampir semua kebutuhan hidup, lahir dan batin, relatif terpenuhi, karena biaya hidup yang murah, sifat gotong royong dan kepedulian sosial yang tinggi, sehingga relatif kecil orang hidup susah, walau mungkin pendapatannya rendah.

Misalkan juga, kalau kita jalan-jalan dekat Keraton itu, orang-orang tua yang kelihatannya nggak kerja apa-apa, tapi sudah senang sekali bisa saling mengobrol. Yang paling penting jangan konflik sama tetangga, rukun sosial itu sangat penting.

Kedua, Banten memiliki motto Iman Taqwa”, dalam makna tersirat ‘Iman Taqwa’ berarti mengembirakan atau menyenangkan. Karena itu, Banten Iman Taqwa telah menjadi branding dari Pemerintah Provinsi Banten, memiliki makna daerah yang menyenangkan bagi semua kalangan. Makna menyenangkan sangat luas dan kompleks. Masing-masing individu memiliki parameter atau ukuran berbeda.

Bisa saja seseorang sudah merasa senang dengan kondisi Banten saat ini. Atau sebaliknya, banyak orang yang belum puas.

Ini tentu menjadi tantangan bagi Pj Gubernur Al Muktabar dengan slogan ini yang diharapkan Banten bisa memacu masyarakat untuk lebih kreatif dan inovatif dalam pembangunan.

Logo dan tagline yang bercirikan Kubah Mesjid, melambangkan kultur masyarakat yang agamis. Bintang bersudut lima, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Cermin Nur Cahaya Ilahi, Pengejawantahan Pancaran Semangat Keyakinan yang menyinari seluruh jiwa masyarakat Banten. Menara Mesjid Agung Banten, melambangkan semangat tinggi, yang berpedoman pada petunjuk Allah SWT. Gapura Kaibon, melambangkan Daerah Propinsi Banten sebagai pintu gerbang peradaban dunia, perekonomian dan lalu lintas internasional menuju era globalisasi. Padi berwarna kuning berjumlah 17 dan kapas berwarna putih berjumlah 8 tangkai, 4 kelopak berwana coklat, 5 kuntum bunga melambangkan Propinsi Banten merupakan daerah agraris, cukup sandang pangan. 17-8-45 menunjukkan Proklamasi Republik Indonesia. Gunung berwarna hitam, melambangkan kekayaan sumber daya alam dan menunjukkan dataran rendah serta pegunungan. Badak bercula satu berwarna hitam, melambangkan masyarakat yang pantang menyerah dalam menegakkan kebenaran dan dilindungi oleh hukum. Roda gerigi berwarna abu-abu berjumlah 10, menunjukkan orientasi semangat kerja pembangunan dan sektor industri. Laut berwarna biru, dengan gelombang putih berjumlah 17 melambangkan daerah maritim, kaya dengan potensi lautnya. Dua garis marka berwarna putih, menunjukkan landasan pacu Bandara Soekarno Hatta. Lampu bulatan kuning,  melambangkan pemacu semangat mencapai cita-cita. Pita berwarna kuning, melambangkan ikatan persatuan dan kesatuan masyarakat Banten.

Pandangan penulis, Banten Iman Taqwa memiliki makna bahwa masyarakat yang penuh semangat, berani, tangguh, jujur, ramah, menggembirakan, harmonis dan hangat. Dan Logo dan tagline tersebut seyogyanya juga bias untuk dapat mempromosikan berbagai potensi yang dimiliki 8 kabupaten/ kota di Banten, termasuk sektor wisata.

Harapannya, melalui slogan ini, masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan atau menjadi spirit baru masyarakat dalam membangun daerah.

Tagline Banten ini seyogyanya harus dijadikan spirit masyarakat untuk membangun, baik pembangunan mental, rohaniah maupun pembangunan fisik, seperti perbaikan sarana dan prasarana umum.

Harapan dan obsesi Banten itu tentu saja harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik DPRD, OPD, bupati, wali kota, LSM, pegawai negeri, tokoh masyarakat, maupun warga.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat untuk mendukung Banten Iman Taqwa, salah satunya menggenjot sektor wisata. Seperti diketahui, Banten dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Wilayah ini memiliki daya tarik wisata budaya, religius, dan alam.

Pemerintah Provinsi Banten mencatat kunjungan wisatawan ke berbagai objek wisata di Provinsi Banten selama libur lebaran 2023 mengalami lonjakan. Catatan Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Banten, sebanyak 2.9 juta orang wisatawan yang datang berkunjung ke wisata pantai di Provinsi Banten. Jumlah tersebut belum terhitung dengan kunjungan wisata religi, wisata kuliner dan wisata belanja yang jika diakumulasikan hampir mencapai target kunjungan wisatawan di Provinsi Banten.

Menurut Pemerintah Provinsi Banten, objek wisata di Provinsi Banten memiliki 900 titik objek yg berpotensi untuk dapat dikunjungi wisata. Namun, setelah melewati libur lebaran kemarin terpantau atau terdata baru ada 329 titik destinasi objek wisata. untuk sisa objek masih dalam proses perhitungan. Wisata pantai dan wisata religi menjadi destinasi wisata favorit di Provinsi Banten seperti Anyer dan Carita tanjung lesung, pantai bagedur pantai sawarna pantai cibareno.

Berdasarkan hal tersebut, Provinsi Banten yang terkenal dengan objek wisata yang memungkinkan terjadinya kepadatan mobilitas wisatawan. Angka ini masih bisa ditingkatkan jika semua pelaku wisata ikut berpartisipasi. Caranya, mereka memberikan dukungan dan mempromosikan keindahan objek wisata di Banten dan bekerja sama dengan biro perjalanan untuk mempromosikan ke luar daerah dan negeri. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan memberikan dukungan dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan.

Kalau sarana dan prasana wisata komplet, jalan ke lokasi wisata mulus, transportasi mudah, masyarakat ramah terhadap wisatawan dan didukung oleh pemerintah kabupaten/kota, bukan tidak mungkin Banten akan menjadi tujuan wisatawan, mengalahkan daerah lain.

Dengan potensi wisata yang begitu besar dan lengkap, kalau dikelola profesional, Banten akan menjadi kota tujuan wisatawan. Kita punya potensi wisata religius yang besar karena terdapat makam wali yang selalu menjadi daerah tujuan ziarah. Tidak hanya itu, candi-candi besar dan terkenal yang terdapat di Indonesia juga berada provinsi ini.

Wisata alam pun tak kalah menarik, seperti: Pantai Sawarna, Ujung Kulon National Park, Scientia Square Park (SQP), Pantai Tanjung Lesung, Pantai Carita, Pantai Anyer, Pulau Sangiang, dan Curug Putri Carita. Kalau potensi wisata itu digarap serius, sangat mungkin Banten akan menjadi destinasi baru tujuan wisatawan.

Tapi, bukan pekerjaan mudah untuk memoles semua itu. Membutuhkan sarana dan prasarana serta dana yang tidak sedikit. Promosi yang tidak berkesudahan dan tingkat partisipasi masyarakat juga amat penting.

Kenapa masyarakat dilibatkan? Karena mereka yang bersentuhan langsung dengan wisatawan di lapangan.

Ada tiga hal yang perlu dilakukan agar wisatawan betah di Banten. Pertama dukungan para pelaku wisata, kedua keramahan masyarakat, dan ketiga dukungan dari semua pihak termasuk pemkab/pemkot dan pemprov. Kalau ketiga unsur itu bersatu padu, penulis yakin Banten akan menjadi daerah tujuan wisata favorit.

Saatnya Masyarakat Bersikap Kritis!

Bahasan mengenai bahagianya masyarakat Jogja di tengah isu-isu terkait kembali mencuat di tengah bahasan publik.

Seakan-akan kita terhipnotis sama Jogja, sampai lupa kalau provinsi Jogja ini banyak masalah.

Di Jogja penulis melihat proyek besar sangatlah banyak, pertumbuhan ekonomi, investasi dan kemiskinan adalah kosa kata yang kerap terdengar bersamaan dalam seminar atau diskusi-diskusi di Yogyakarta. Namun, ada data statistik yang kadang dianggap tidak sinkron jika dilihat dalam skala lebih luas.

Menurut penulis ‘Bahagia Boleh, Sejahtera Penting’, bahagia saja tentu tidak cukup, masyarakat juga harus sejahtera. Kebahagiaan itu subyektif dan tanpa wujud. Kesejahteraan itu obyektif dan maujud misalnya kemampuan ekonomi.

Saatnya publik bersikap kritis, penulis dalam mimbar ini mengingatkan agar pemerintah dalam hal ini baik Banten ataupun Yogyakarta tidak terlena dengan tingginya angka-angka statistik. Bagi pemangku kebijakan, angka-angka itu juga tidak bisa dijadikan dalih dan digaungkan ke masyarakat saat situasi perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Dalam konteks pemangku kebijakan yakni pemerintah, hal itu tidak boleh dijadikan penghibur. Fokus utama tetap pada kesejahteraan masyarakat.

Tugas utama sebagai pemerintah daerah di kabupaten atau provinsi itu memastikan agar kesejahteraan umum masyarakat terjaga. Bicara kesenjangan itu bicara problem kebijakan, Kesenjangan terjadi karena produk kebijakan yang kurang tepat. Dan hal itu sering terjadi di Jogja.

Penulis melihat bahwa banyak filosofi dan slogan yang berkembang di masyarakat Jogja dan Banten atau filosofi ini dipelihara karena ketidakmampuan elite untuk mengatasi kemiskinan.

Untuk itu, penting untuk membangun kesadaran kritis di masyarakat. Demi menyadari situasi yang nyata terjadi di sekitarnya dan mulai berbenah ke arah yang lebih baik. Semua elemen pemerintahan perlu mendukung visi yang telah dijabarkan gubernur untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan pembangunan.

Pemda sebagai lokomotif mendorong elemen Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lalu kampus-kampus melalui SDM dan pemikirannya, dan elemen pengusaha dengan modal yang dimiliknya.

Ya, masyarakat diharapkan mampu bersikap kritis. Sikap kritis macam itu diperlukan agar masyarakat tidak malah menjadi pragmatis, asal menerima, dan sekadar menggampangkan persoalan.

Belajar Kebahagiaan dari Yogyakarta adalah semakin kritisnya publik dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik tentunya harus diantisipasi dengan perbaikan standar pelayanan publik. Karenanya, pemerintah kota, kabupaten, provinsi serta kementerian/lembaga, wajib memperbaiki standar pelayanan publik.

Terakhir, penyelenggara negara tidak bisa lagi menutup diri di tengah perubahan teknologi yang kian pesat. Masyarakat semakin kritis dan setiap saat memotret pelayanan publik. (Red)

EKO SUPRIATNO, penulis adalah Pengamat Politik, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten. Tenaga Ahli DPRD Banten, dan Pembina Future Leader for Anti-Corruption (FLAC) Banten

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button