InspirasiOpini

Asal Mula Istilah Restorative Justice

Oleh: Ferry Fathurokhman Ph.D*

biem.coSetelah menjadi tren dunia sekitar tiga hingga empat dekade di berbagai negara lain, istilah restorative justice kini jadi tren penegakan hukum di Indonesia, mulai dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Polri, Peraturan Jaksa Agung, hingga Keputusan Dirjen Badilum MA (Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung) telah memberikan payung hukum restorative justice. Restorative justice adalah tema yang sangat luas, oleh karenanya tulisan ini saya niatkan sebagai tulisan serial restorative justice, saya mulai dari terminologi.

Istilah restorative justice muncul pertama kalinya dalam sebuah buku antologi yang terbit tahun 1977 berjudul Restitution in Criminal Justice, A Critical Assessment of Sanctions yang diedit Joe Hudson dan Burt Galaway. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan dari sebuah conference tentang restitusi di tahun 1975. Adalah Albert Eglash yang dalam buku tersebut menggunakan istilah restorative justice pertama kali dalam tulisannya berjudul Beyond Restitution-Creative Restitution. Dalam tulisannya, Eglash menggambarkan tiga jenis keadilan: (1) retributive justice; (2) distributive justice   dan; (3) restorative justice.

Kebanyakan para peneliti dan penulis restorative justice bersetuju Eglashlah yang pertama kali memakai istilah restorative justice. Namun Daniel W. Van Ness and Karens Heetderks Strong yang awalnya sependapat, kemudian  menulis “klarifikasi” dalam footnote pada buku edisi ke-empat mereka (Restoring Justice, An Introduction to Restorative Justice) yang menuliskan bahwa Eglash sebenarnya mengembangkan idenya tentang creative restitution (dalam artikel tahun 1975 yang menyebut istilah restorative justice), dalam artikel serialnya yang dipublikasikan pada tahun 1958 dan 1956.

Ann Skelton (2005) kemudian menelusuri sumber Eglash dan menemukan bahwa istilah restorative justice muncul dalam sebuah buku di tahun 1956 yang ditulis dalam bahasa Jerman dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai The Biblical Doctrine of Justice and Law, yang ditulis Heinz-Horst Schrey, Hanz Hermann Walz & W.A. Whitehouse.

Albert Eglash dalam buku 1977 sebagaimana di atas mengemukakan (1) retributive justice; (2) distributive justice   dan; (3) restorative justice. Eglash adalah seorang psikolog, sehingga konsep distributive justice yang disebut Eglash harus dibedakan dengan konsep distributive justice yang umum dipakai sebagai pembeda dengan commutative justice.

Eglash tampaknya merujuk pada mazhab neo klasik saat menggunakan istilah distributive justice yang membedakan dengan mazhab klasik yang lebih fokus pada perbuatan dari pada pelaku. Kebanyakan sarjana hukum pidana dan kriminologi menyebut apa yang dimaksud Eglash distributive justice sebagai rehabilitative justice.

Lihat misalnya dalam Steve Mulligan (From Retribution to Repair: Juvenile Justice and the History of Restorative Justice’ (2009) 31. U.La Verve L. Rev. 139.)  yang menulis “[restorative justice] is better understood through its goal and principles and in comparison to the paradigms that precede it, namely the retributive and rehabilitative philosophies of punishment.

Eglash menulis retributif justice mendasarkan kuat pada penghukuman sebagai cara menangani kejahatan, sementara keadilan distributif lebih menekankan pada membina dan merehabilitasi pelaku. Keadilan restoratif mengajukan restitusi sebagai sarana menangani kejahatan, Eglash menyebut hal ini sebagai creative restitution.

Eglash mencatat bahwa retributive dan distributive justice memiliki beberapa kesamaan, sementara creative restitution memiliki cara yang berbeda dalam menangani kejahatan. Misalnya, punishment dan therapeutic treatment (sebagai sebutan lain Eglash untuk retributive dan distributive justice) berfokus pada perilaku pelaku, sementara restorative justice berfokus pada kerusakan dan kerugian sebagai akibat dari tindakan si pelaku serta dampaknya terhadap korban.

Dari perspektif korban, retributive dan distributive justice melihat korban tidak lebih sebagai saksi. Sementara creative restitution menempatkan korban dan kepentingannya sebagai pertimbangan penting dan memberikan korban peran yang signifikan dalam mendapatkan keadilan dan mengembangkan rehabilitasi atau program pemasyarakatan.

Tampaknya, Albert Eglash bukan saja orang yang pertama kali menggunakan istilah restorative justice, tapi juga dapat dipandang sebagai embrio dari bentuk program restorative justice. Meski demikian, menariknya, sebagaimana akhir tulisannya, Eglash mengaku bahwa creative restitution pada dasarnya didesain untuk para pelaku kejahatan, jika pun ada keuntungan bagi korban maka itu bonus saja: “For me, restorative justice and restitution, like its two alternatives, punishment and treatment, is concerned primarily with offenders. Any benefit to victims is a bonus, gravy, but not the meat and potatoes of the process.

Dalam perkembangannya kemudian restorative justice memiliki beragam pengertian dan bentuk program yang juga ada memfokuskan dan menitikberatkan pada kepentingan korban, lebih luas dari yang digambarkan Eglash.

Sebagaimana yang disampaikan Eglash, restorative justice memiliki ide awal yang berfokus pada pelaku agar bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukan, memulihkan keadaan, memenuhi apa yang dibutuhkan korban. Maka konsep keadilan restorative justice, berbeda dengan keadilan retributif dan keadilan distributif (rehabilitative).

Dalam keadilan retributif dan rehabilitatif, pelaku diupayakan dipidana (dipenjara) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan memperbaiki diri untuk dapat pada saatnya nanti kembali ke masyarakat. Dalam keadilan retoratif, pelaku memiliki kewajiban untuk memulihkan keadaan sebagaimana sebelum terjadi tindak pidana.

Oleh karenanya kepentingan korban (victim interest) menjadi penting didengar dan dipenuhi agar pelaku dapat menjadi orang yang bertanggungjawab. Oleh karenanya, dipenjaranya pelaku menjadi tidak relevan dan tidak adil dalam perspektif keadilan restoratif, karena korban tak mendapat apa-apa, dan sejatinya tidak menyelesaikan masalah secara komprehensif.

Korban ditinggalkan begitu saja, dan pelaku tidak diberikan kesempatan memperbaiki, memulihkan kerugian korban. Meski dalam praktiknya nanti, program restorative justice sangat beragam, termasuk ragam restorative justice yang justru bekerja/berjalan setelah pidana dijatuhkan. Saya menyebutnya sebagai therapeutic restorative justice sebagai lawan dari diversionary restorative justice yang biasa dikenal dan dipakai di Indonesia. Mengingat banyaknya ragam bentuk restoratif justice, maka pembahasannya akan ditulis dalam tulisan terpisah. Semoga bermanfaat. (Red)

Ferry Fathurokhman Ph.D, penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Untirta

Editor: Rois Rinaldi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button