InspirasiKetahanan PanganOpiniTerkini

Pemanfaatan Teknologi Termal (Sterilisasi) pada Produk Pangan Ikan

Oleh : Windi Aprilia (Mahasiswa PS Ilmu Pangan, Pascasarjana IPB)

biem.co – Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sumber pangan, terutama dari pangan hewani hasil perairan seperti produk ikan. Ikan merupakan bahan pangan yang kaya akan nutrisi dan baik bagi tubuh.

Ikan memiliki kandungan asam amino yang lebih lengkap dan tinggi kadarnya dari pada pangan nabati yang berasal dari tumbuhan. Kadar asam amino essensial yang penting bagi tubuh yang terdapat dalam ikan adalah lisin dan metionin (Hermiastuti, 2013). Selain itu, daging ikan mengandung omega 3 dan omega 6 yang bermanfaat bagi tubuh.

Produk pangan hewani seperti ikan merupakan produk yang bisa dengan mudah dan cepat mengalami penurunan mutu, jika tidak mengalami proses pengolahan yang tepat. Proses pengolahan bahan pangan dapat meliputi penanganan bahan dari awal diperoleh sampai kepada konsumen untuk siap dikonsumsi.

Salah satu contoh  proses pengolahan yang dapat diberikan pada bahan pangan adalah proses pemanasan. Proses pemanasan termal merupakan suatu proses menggunakan panas dalam mengolah pangan yang dapat mengawetkan makanan (pada kondisi yang tepat).

Pengawetan dengan menggunakan proses termal memiliki tujuan untuk mematikan sel mikroba pada suhu dan waktu tertentu agar siklus logaritmik pertumbuhan mikroba dapat berhenti. Akibatnya proses pembusukkan oleh mikroorganisme dapat diperlambat dan dapat memperpanjang masa simpan produk pangan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan optimasi dengan penggunaan proses termal pada pengolahan bahan pangan seperti media yang digunakan untuk proses pemanasan, kemasan yang digunakan, kecukupan panas saat proses dilakukan (Hariyadi, et al., 2019).

Kerusakan pada bahan pangan dapat disebabkan oleh tumbuhnya mikroorganisme patogen atau pembusuk yang terdapat dalam bahan pangan. Contoh mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan adalah bakteri E.coli, Salmonella dan Staphylococcus aureus yang banyak terdapat dalam pangan terutama produk hewani seperti daging-dagingan (Rahmi, et al., 2021).

Selain bakteri, mikroorganisme yang dapat menyebabkan penurunan mutu adalah kapang dan khamir yang tidak dikehendaki tumbuh. Contohnya kapang Byssochlamus fulva penyebab kebusukan.

Proses pemanasan dapat berfungsi sebagai teknik pengawetan. Perubahan suhu yang tinggi dan sesuai target dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme inaktif atau mati (Hariyadi et al., 2019). Proses pemasan yang digunakan pada bahan pangan dapat berupa blansir, pasteurisasi dan sterilisasi (Ling, et al. 2014). Pada produk daging ikan, proses pemanasan yang cocok untuk dilakukan adalah pemanasan sterilisasi.

Sterilisasi merupakan proses pemanasan menggunakan suhu tinggi yang dilakukan pada produk. Proses sterilisasi membutuhkan suhu dan waktu yang cukup agar semua mikroorganisme dapat inaktivasi dan aman dikonsumsi. Pada proses sterilisasi produk dengan pengalengan¸ target utama mikroorganisme patogen yang dibunuh adalah Clostridium botulinum yang dapat merusak produk dan menyebabkan keracunan.

Proses pemanasan yang tepat perlu dilakukan untuk mencegah adanya pertumbuhan mikroorganisme agar umur simpan produk lebih lama. Selain dapat mematikan mikroorganisme, proses pemanasan juga dapat mematangkan produk. Pemanasan yang dilakukan pada bahan dapat menyebabkan perubahan  tekstur, warna, rasa dari produk (Hasan, et al., 2018).

Proses sterilisasi pada daging ikan menggunakan suhu panas dan bisa diterapkan dalam skala industri. Contoh aplikasi proses sterilisasi produk ikan yaitu : Sterilisasi olahan ikan yang dikemas dengan kaleng dan retort pouch.

Tahap awal yang dilakukan pada ikan adalah pembersihan daging ikan. Ikan dipotong dan dikeluarkan isi perutnya dan dicuci, lalu dikuliti. Selanjutnya daging ikan dipotong-potong sesuai ukuran.

Kemudian dilakukan proses pre-cooking dengan mengukus selama 15 menit pada suhu 80oC. Tujuan pemasakan ini untuk menghilangkan bau amis daging ikan. Setelah itu daging ikan dipilih sesuai kriteria dan dimasukkan ke dalam kaleng ukuran diameter 7,3 cm dan tinggi 5,6 cm.

Berikutnya sebelum kaleng ditutup dan diseal, tambahkan media pengisi (seperti garam, minyak, dan bahan bumbu lain jika diperlukan) sampai volume kosong tinggal 1,5 cm. Lakukan proses sterilisasi pada produk ikan kaleng  dengan menggunakan alat retort pada suhu awal 82 oC dan suhu sterilisasi 121,1oC (holding temperature).

Langkah berikutnya lakukan proses pendinginan, dimana suhu retort diturunkan. Waktu total sterilisasi (Fo) dari produk ikan kaleng adalah 54 menit dengan nilai letal rate awal sterilisasi sebesar 2,5 menit, selama proses sterilisasi suhu 121oC nilai letal rate 49,23 menit dan letal rate pendinginan sebesar 2,3 menit.

Hal ini dapat menyatakan bahwa sebaiknya total waktu sterilisasi pada produk ikan kaleng harus 54  menit agar produk tersebut aman dan mikroba sudah inaktivasi (Hasan, et al., 2018).

Proses sterilisasi dapat mempengaruhi karakteristik bahan. Menurut penelitian Tang, et al., (2014) pengolahan daging ikan menjadi masakan manis asam siap santap yang dikemas dengan kemasan pouch retort, diuji dengan dilakukan proses sterilisasi pada suhu 110, 115, 121 dan 130oC.

Hasilnya semakin tinggi suhu sterilisasi yang diberikan, semakin naik kekentalan dari saus produk ikan yang dihasilkan. Contohnya pada suhu sterilisasi 110oC, nilai K nya adalah 6,96 Pa.sn sedangkan pada suhu sterilisasi 130oC, nilai K nya adalah 10,26 Pa.sn.

Berikutnya pada parameter penetrasi panas nilai masak, semakin tinggi suhu maka akan semakin turun nilai C terhadap Fo. Pada parameter warna, semakin tinggi suhu proses sterilisasi, maka warna pada bahan akan mengalami penurunan intensitasnya, hal ini bisa dikarenakan terjadinya degradasi reaksi oleh pemanasan.

Untuk parameter tekstur, semakin tinggi suhu sterilisasi maka tekstur dari ikan kaleng akan semakin tinggi nilai kekerasan dan kekenyalannya. Secara sensori, panelis lebih menyukai produk ikan kaleng dengan proses sterilisasi yang lebih tinggi, karena lebih matang. Namun, tentunya dari segi kadar nilai gizi, semakin tinggi suhu yang digunakan maka akan terjadi penurunan nilai gizi karena terjadi degradasi pada suhu tinggi (Tang, et al., 2014). (Red)

Windi Aprilia, penulis adalah Mahasiswa PS Ilmu Pangan, Pascasarjana IPB.

Daftar Pustaka

Hasan, H., Anwar, S. H., & Rohaya, S. 2018. Thermal Penetration Study for the Purpose of Formulating Sterilization Procedures of Yellowfin Tuna Canning. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 207, No. 1, p. 012052). IOP Publishing.

Hermiastuti, M. (2013). Analisis Kadar Protein dan Identifikasi Asam Amino pada Ikan Patin. Univeristas Jember. Jember.

Ling, B., Tang, J., Kong, F., Mitcham, E. J., & Wang, S. (2015). Kinetics of  Food Quality Changes During Thermal Processing: A Review. Food and bioprocess technology8, 343-358.

Rahmi, N., Wulandari, P., & Advinda, L. (2021). Pengendalian Cemaran Mikroorganisme pada Ikan─ Mini Review. In Prosiding Seminar Nasional Biologi (Vol. 1, No. 2, Pp. 611-623).

Tang, F., Xia, W., Xu, Y., Jiang, Q., Zhang, W., & Zhang, L. (2014). Effect of Thermal Sterilization on the Selected Quality Attributes Of Sweet and Sour Carp. International Journal of Food Properties17(8), 1828-1840.

Hariadi, P., Sitanggang, A.B., Hunaefi, D., Adawiyah, D.R., Purnomo, E.H., Syamsir, E., Kusnandar. F., Wulandari, N. 2019. Landasan Teknik Pangan. IPB Press: Bogor.

Editor: Rois Rinaldi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button