Aku terpejam
Jatuh terlalu mendalam
Di antara masa yang kelam
Ketika itu pagi terasa malam
Menyengat sinar menjadi hitam
Menghanyutkan tetesan embun alam
Memutar pada derajat siku detak jam
Akan sebuah apa yang tak bisa ku pendam
Salahku dalam kecam
Mengarang tentang apa yang telah mengaram
Paksaku dalam paham
Tentang alur cerita yang engkau genggam
Hingga bodohku yang menenggelam
Aku masih terdiam
Di Sudut Andara Kafe Aku Menanti Kabarmu
Masih di tempat yang sama beberapa malam yang lalu. Andara Kafe menjadi tempat yang nyaman beberapa hari ini. Masih di kursi yang sama, tepat di sudut ruangan. Musik yang berisik namun asyik didengar dan suara berisik kendaraan tepat di depan kafe
Aku masih menanti kabar darimu, kau yang hilang sepekan terakhir bersama rindumu. Ungkaoan rindu telah kau dengarkan, namun hilang perjuangan menggapai rindu. Ada apa denganmu? ketika kau memisahkan rindu dan cinta. Ada apa dengan sikapmu? diam dan menanti kehendak Tuhan tanpa perjuangan yang nyata
Aku di sini menanti kabar darimu, suara-suaraku tak kau hiraukan hingga rindu ini mulai jenuh. Dua kursi kosong menanti kedatanganmu, bersama kopi yang telah siap disajikan. Ada tegukan yang nikmat di bibir gelas ketika menatapmu. Suara ramah dan tertawa nan pelan masih ku rindu. Di sini, sudut Andara Kafe menjelang malam
Memikat Sunyi
Ketika ku pintal dengan sunyi sulaman sajak
Aku merajut benang kasih yang kau urai
Sebab cintaku dikejar waktu
Yang berpacu menjadi ngilu di dadaku
Riuh gaduh menjadi sehelai kain penghangat
Untuk kau lilitkan di pundakmu
Daun yang melambai bernyanyi
Iringi gemuruh bayu yang mendayu
Iring-iringan awan menari tetap saja sunyi
Tak seperti di ujung jakan itu
Sibuk berlarian mengejar mimpi
Tanpa henti kaki berjalan saling berhimpitan
Aku di sini masih dengan segenap rasa
Selembar Potret
Tak ada lagi yang membekas dari tapak tilas
Kecuali seluruh berkas
Telah tersimpan rapi dalam nakas
Untuk apa kembali diungkit-ungkit
Apalagi dengan fakta jumpalit
Kau tahu aku punya limit
Ketika selembar potret terjuntai di pualam
Bersitatap denganku dalam diam
Saat itu pula runtuh kepingan rindu yang ku pendam
Di atas Kertas
Senja bersambut malam
Digerai serona pernik pualam
Sang puan bersenda senyum
Alunkan bait harmoni selaras batas
Secoret demi secoret
Menuju tinta biru langit
Melurus lagi rasa yang tulus
Lentik tulisannya berbait menembus jagad
Syair demi syair dipertautkan
Terangkai syahdu tanpa kelu
Sebentuk imajinasi torehkan asa
Terbungkam suara
Tetapi berbahasa
Terbungkam rasa
Tetapi merindu
Ketika Senja Meninggalkan Tahtanya
Awan tipis berwarna jingga memberi seribu makna
Mentari senja mulai bertahta
Nyiur hijau melambai-lambai
Di sini aku masih saja berdiri
Terpacu oleh heningnya hati
Sembari membuka selembar memori
Ketika senja mulai pergi
Tertyp;ah sisa-sisa waktu
Di bawah senja itu aku mulai saja merindu
Bisakah aku melihatmu lagi
Meski dalam gelap sekalipun
Kini mentari senja tak lagi bertahta
Yang ada hanya kesunyian semata
Lalik Kongkar, penulis adalah Pemerhati Pembangunan Desa, Minat Kajian Politik, Sastra dan Filsafat