InspirasiOpini

Mewujudkan Merdeka Berbudaya Melalui Kompetensi Digital Guru

Oleh Hamidulloh Ibda

biem.coGuru-guru di negeri ini belum sepenuhnya merdeka berbudaya digital dalam pendidikan dan pembelajaran. Buktinya, Kemendikbudristek (2021) mencatat 60 persen guru di Indonesia gagap teknologi (gaptek). Jika guru di Indonesia berjumlah 3,3 juta (Dapodik, 2023), maka 60 persennya masih perlu peningkatan kompetensi digital. Selain gaptek, para guru masih belum melek literasi digital dalam menerima, mengolah, dan membagikan informasi kepada siswa melalui peranti digital dengan benar dan baik. Mereka masih terkena ancaman hoaks, ujaran kebencian, radikalisme, bahkan pornografi.

Hal ini tentu belum selaras dengan konsep Merdeka Berbudaya yang menegaskan kebebasan dalam berkarya, berinovasi, berkreasi, berekspresi, dan aktif kegiatan budaya sesuai karakter dalam Profil Pelajar Pancasila. Guru bebas berkreasi namun harus selaras dengan ruh beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif. Kegiatan budaya yang dimaksud tak sekadar budaya benda dan takbenda, seni, tari, folklore, sastra, tradisi, namun juga budaya digital yang wajib dikuasai oleh pendidik di era disrupsi ini. Pasalnya, budaya digital menjadi ruh dalam mengoperasikan peranti digital sebagai alat yang memudahkan pembelajaran untuk memajukan kebudayaan.

Merdeka Berbudaya Digital

Sejak digulirkannya Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya, spirit Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim adalah selalu melakukan inovasi dan terobosan baru untuk menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan. Dalam konteks ini, merdeka berbudaya digital harus diimplementasikan dari hulu sampai hilir. Artinya, merdeka berbudaya digital tak sekadar soal kegiatan bermedia sosial, mengoperasikan peranti digital, dan menggunakan layanan pesan, melainkan sebagai kompetensi dalam pembelajaran yang saat ini sesuai arah Kurikulum Merdeka adalah berbasis proyek dan penguatan karakter Profil Pelajar Pancasila.

Maka merdeka berbudaya digital dapat diwujudkan melalui sejumlah formula. Pertama, penguatan digital pedagogy (pedagogi digital) melalui kompetensi digital guru. Kompetensi ini harus diintegrasikan ke dalam empat kompetensi guru (kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional). Kedua, penguatan kompetensi digital profesional dengan tiga tahapan. Menurut konsep Ottestat dkk (2014:248), kompetensi itu dimulai dari kompetensi digital generik yaitu kemampuan guru melintasi disiplin mata pelajaran, menentukan pengetahuan dan keterampilan umum yang dimiliki guru sebagai pendidik digital. Selanjutnya kompetensi digital didaktik yaitu kemampuan mentransformasikan semua mata pelajaran berbasis metodologi pembelajaran digital. Terakhir kompetensi digital berorientasi profesional meliputi melek huruf digital, kerja berbasis digital dari perencanaan sampai evaluasi, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang tua dan masyarakat luas.

Ketiga, penguasaan budaya bermedia digital sesuai empat pilar utama, yaitu digital culture (budaya bermedia digital), digital safety (keamanan bermedia), digital ethics (etis bermedia digital), dan digital skills (cakap bermedia digital) (Kominfo, 2022). Merdeka berbudaya digital ini menjadi keniscayaan karena guru tidak sekadar sebagai corong dan sumber pengetahuan, namun juga sumber keteladanan agar pelajar semakin cakap digital yang selaras dengan Profil Pelajar Pancasila. Ketika guru mampu menguasai budaya digital, maka semua materi dapat tersampaikan dengan efektif, efisien, dan berbasis kebutuhan zaman. Guru harus bernalar ilmuwan dan wartawan karena sudah dicontohkan oleh Ki Hajar Dewantara (1889-1959) yang juga seorang ilmuwan, wartawan, aktivis, dan juga tokoh pendidikan. Maka hukumnya wajib bagi guru untuk menjadi ilmuwan dan wartawan di era digital.

Keempat, mengintegrasikan pendidikan, kebudayaan, dan teknologi digital ke dalam pembelajaran. Hal ini selaras dengan gagasan Ki Hajar Dewantara (2011) yang menegaskan pendidikan merupakan usaha menginternalisasikan nilai-nilai budaya ke dalam diri siswa, sehingga mereka menjadi manusia yang utuh baik jiwa dan raganya. Dalam konteks ini, pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan yang hari ini harus dikuatkan melalui penguasaan teknologi digital.

Kelima, meneguhkan jatidiri guru sebagai guru penggerak kebudayaan. Mau tidak mau, ribuan budaya di Indonesia harus dikuatkan dari ruang kelas agar terbangun iklim memajukan kebudayaan sejak dini. Keenam, penguatan dan akselerasi program-program bernas dari Kemendikbudristek untuk mewujudkan cita-cita Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya. Dukungan melalui Dana Indonesiana dan Kanal Indonesiana akan semakin matang dan cepat terlaksana ketika semua guru memiliki bekal kompetensi digital yang matang. Dukungan lembaga, organisasi, perguruan tinggi, produksi, inovasi karya seni dan ekspresi budaya dari pelaku budaya sangat penting. Akan tetapi, mewujudkan cita-cita Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya tentu ujung tombaknya adalah pada guru penggerak budaya. Maka dari itu dibutuhkan kerangka kerja Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang menguatkan kompetensi guru sebagai agen utama Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya.

Kerangka Kerja Kompetensi TIK Guru

Indonesia telah melakukan banyak praktik baik Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya berbasis digital. Akan tetapi, guru sebagai kunci dalam pendidikan dan kebudayaan masih sebatas menjadi konsumen dan pengekor, belum menjadi produsen dan pelopor. Hal ini dikarenakan belum matangnya kompetensi digital. Maka sangat wajar jika hakikatnya guru-guru di Indonesia saat ini masih belum merdeka dalam berbudaya digital karena belum matang dalam menguasai kompetensi digital.

Sebagai kiblat dunia, UNESCO sejak 2011, 2016, dan sampai 2022 mengembangkan kerangka kerja TIK guru yang berbeda dengan kompetensi guru TIK versi 3. UNESCO (2022) menyebut kerangka kerja kompetensi TIK guru merupakan kerangka kerja yang merinci dan mengembangkan kompetensi yang diperlukan guru untuk mengintegrasikan TIK dalam kegiatan pembelajaran dan praktik profesional guru. Kerangka kerja kompetensi TIK guru ini disiapkan dalam merespon agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan yang menitikberatkan kepada kompetensi TIK guru untuk semua guru dalam kaitannya dengan TIK, bukan guru mata pelajaran tertentu. Maka semua guru harus berbudaya digital untuk mewujudkan Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya.

Terdapat enam aspek dalam kerangka kerja kompetensi TIK guru, yaitu pemahaman TIK dalam pendidikan, kurikulum dan penilaian, pedagogi, TIK, organisasi dan administrasi, dan pembelajaran guru profesional. Kerangka kerja tersebut hakikatnya sudah ada pada empat kompetensi guru, namun harus dikuatkan melalui akselerasi penguatan kompetensi digital guru untuk mendiseminasikan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Hal ini selaras dengan program Merdeka Belajar edisi ke-13 yang mengarusutamakan Merdeka Berbudaya yang akarnya dimulai dari kompetensi digital guru yang muaranya melahirkan guru penggerak budaya di sekolah masing-masing.

Terobosan memajukan pendidikan dan kebudayaan Indonesia dimulai dari pendidikan, pelatihan, dan sinergitas semua elemen pendidikan, pegiat seni, budayawan, sastrawan, dan produsen konten kebudayaan yang bisa dimanfaatkan ke dalam pembelajaran. Pemanfaatan Kanal Indonesiana juga harus dimaksimalkan. Kanal Indonesiana itu menjadi pancingan melakukan inovasi dan kreativitas membuat kurikulum, materi, dan konten kebudayaan berbasis pengetahuan lokal, kecerdasan lokal, dan kearifan lokal. Dengan demikian, Kanal Indonesiana semakin efektif dan dapat dikembangkan ketika guru memiliki enam aspek kerangka kerja kompetensi TIK di atas.

Spirit menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan tak lain adalah menyiapkan generasi unggul melalui sumber daya manusia yang kompeten dan berkarakter Pancasila. Hal itu sudah dipesankan oleh Bung Karno melalui Trisakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Untuk menyukseskan Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya, tentu tiga aspek itu harus dikuatkan dengan Pancasakti yaitu ditambah bersubstansi dalam agama, bermartabat dalam kebudayaan internasional. Dengan demikian, cita-cita mewujudkan Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya tidak sekadar mimpi. Jika tidak sekarang lalu kapan lagi? (Red)

 

Hamidulloh Ibda, penulis adalah Dosen dan Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung

Editor: Rois Rinaldi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button