Irvan HqKolom

Muhammad Rois Rinaldi : Ketika Saya Merasa Menjadi Musa di Depan Khidir

Irvan Hq memosisikan diri sebagai yang bukan apa-apa di depan manusia yang sedang merasa berada pada titik nadir, meski ia yang kemudian hadir sebagai orang yang mengangkatnya dari titik terendah itu,” – Rois Rinaldi, Ketika Saya Merasa Menjadi Musa di Depan Khidir.

CSI#19, biem.coSaya seringkali mendapatkan julukan  “Si keras kepala yang menolak ditundukkan”. Itu dikarenakan kebiasaan saya yang kritis terhadap siapapun yang datang atau siapapun yang bertemu dengan saya, terlebih jika orang itu seakan-akan hendak berkata: “Rois, lihatlah betapa hebatnya saya. Ikutilah saya dan jadilah pengikut yang baik.”

Sebab dengan cara itu, bukan membuat saya takluk, melainkan sebaliknya. Orang-orang dekat saya tahu bahwa semakin saya ditekan dengan nama besar, kekuasaan, atau apalah yang berlabel hebat semakin besar pula penolakan saya. Bahkan jika tekanan sudah terlalu besar, yang lahir adalah perlawanan. Meski cara saya melawan jarang sekali kasat mata. Tentu yang saya maksud bukan teluh. Tidak peduli sebesar apa orang itu dan sebesar apa konsekuensi yang harus saya hadapi.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Sebagai manusia yang merdeka saya menolak keras setiap bentuk penguasaan, baik yang tampak, yang samar, maupun yang tersembunyi. Itulah mengapa saya selalu geram jika berhadapan dengan orang-orang yang memandang orang lain sebagai massa. Memandang manusia seperti benda-benda yang dapat mereka hitung untuk sebuah keuntungan atau sebuah kerugian. Manusia yang dengan mudah dikuasai dan diarahkan kepada arah yang mereka kehendaki.

Jadi, tidaklah berat hati menerima label si keras kepala itu. Sebuah label yang kadang sangat saya nikmati. Bukankah sebuah pilihan senantiasa dihadapkan pada konsekuensi? Itu konsekuensi sederhana yang mudah sekali untuk diterima. Tetapi di luar semua yang tampak di muka, tidak banyak yang tahu bahwa saya adalah orang yang penurut. Ini boleh ditertawakan, karena ini sulit dipercaya oleh orang-orang yang melihat saya sebagai lelaki keras kepala, yang angkuh. Tanyalah kepada Abah atau Ibu saya, apakah pernah saya membantah mereka. Pasti Abah dan Ibu menjawab tidak.

Saya sebetulnya tidak suka melakukan penolakan atau perlawanan. Inginnya saya menjadi pengikut dari siapa saja yang bagi saya orang baik. orang baik bagi saya setidaknya adalah orang yang jujur dalam berkata dan bertindak. Saya akan sangat tunduk kepada orang-orang semacam itu. Karena tidak ada faedahnya bersikap angkuh di depan orang-orang baik.

Itu berlaku sejak dulu. Semisal ketika saya sekolah, saya akan menempati rangking 1 jika ada orang yang sok pintar dan meremehkan teman-temannya di kelas. Tetapi rangking saya akan turun beberapa tingkat jika yang berpotensi menjadi rangking 1 adalah orang-orang baik, yang peduli kepada teman-temannya, tidak sok cerdas sendiri. Begitulah, saya lebih suka menjadi pengikut dari orang baik dan cenderung memberi perlawan kepada orang-orang yang meremehkan orang lain, meski bukan saya yang diremehkan.

Karena julukan yang kadung menempel pada diri saya itulah, ketika saya bergabung dengan biem.co, wasilah mentor saya yang kadang menjengkelkan, Mahdiduri, beberapa orang dengan dahi dikerutkan bertanya-tanya, mengapa Muhammad Rois Rinaldi dapat sebegitu rendah hati di sana? Pertanyaan itu wajar karena mereka menilai saya dari jarak jauh. Mereka tidak tahu bahwa saya yang selalu menolak mencium tangan pejabat selalu mencium tangan tukang becak dan bapak-bapak ojek pangkalan ketika bersalaman. Sampai di sini, mestinya sudah dapat dimengerti mengapa saya anteng-anteng saja di biem.co. Tetapi saya juga mengerti, tidak semua hal dapat dimengerti hanya dengan narasi yang tidak langsung pada objek pembicaraan.

***

Mulanya saya biasa saja di biem.co. Saya mau bergabung dan diposisikan sebagai redaktur sastra karena berat hati menolak permintaan Mahdiduri, bukan karena beberapa tawaran yang Mahdiduri berikan kepada saya, semisal bentuknya kerja sama antara biem.co dengan komunitas yang saya kelola. Selama ini ia sudah sangat baik membantu saya bertahan di dunia kesusastraan yang kadang goyang dan goyah, walau dengan caranya yang sering aneh.

Saya masih belum memiliki perasaan apa-apa pada 6 bulan pertama di sana, bahkan ketika si ceriwis Ade Ubaidil bertanya melalui pesan Facebook ihwal kehadiran saya di acara yang berisi orasi para penerima Banten Muda Award, saya masih tidak memiliki perasaan apa-apa.

Novelis muda Banten yang kini namanya gemilang itu, dengan bangganya mengatakan bahwa ia diundang langsung oleh Irvan Hq. Saya jadi jengkel. Apa bedanya diundang langsung oleh Irvan Hq dengan diundang oleh orang selain Irvan Hq? Seorang novelis tidak boleh punya watak semacam itu, pikir saya, nanti karya yang dilahirkan akan jelek. Ketika itu saya menjawab pesannya dengan jawaban ketus: “Tidak penting kamu diundang Irvan Hq atau diundang Jibril. Semua undangan sama mulia dan sama perlu didatangi.”

Saya yakin Ade tidak sakit hati mendapat jawaban semacam itu, sebab hatinya telah hilang rasa dari rasa sakit yang disebabkan oleh kalimat-kalimat saya.

Saya ketika itu memang sudah mengenal Irvan Hq. Beberapa pertemuan tidak meninggalkan kesan. Ini sebab saya datang ke biem.co kadang-kadang saja, itu pun saya datang hanya untuk keperluan rapat, setelahnya saya segera meninggalkan kantor biem.co. Kebiasaan lama, sebagaimana dahulu ketika saya mengajar di beberapa sekolah. Saya masuk kelas untuk mengajar setelahnya pulang, tanpa pernah masuk kantor guru atau menanyakan honor mengajar. Sifat acuh ini seperti sudah mendarah daging dalam diri saya. Orang-orang menyebutnya, sifat orang angkuh.

Pada bulan ke-7 saya mulai merasakan yang agak berbeda. Saya mulai tertarik memperhatikan Irvan Hq, CEO Banten Muda yang selalu hadir dalam rapat dan duduk tenang, sesekali melontarkan lelucon yang kadang lucu dan kadang tidak. Saya mulai melihat sesuatu yang berbeda darinya. Kata-katanya? Sepertinya tidak. Ia mengatakan begitu banyak hal dengan cara yang biasa saja. Senyumannya? Mungkin, tapi saya tidak menjadikan senyuman orang sebagai tolok ukur kesukaan, saya lebih suka memperhatikan mata dibanding senyuman. Matanya? Matanya juga tidak menyampaikan sesuatu yang lebih. Jadi, karena apa?

Sebagaimana saya katakan di awal, saya malas bersikap angkuh di hadapan orang baik, Irvan Hq adalah orang baik itu. Apa cirinya? Tidak sekalipun saya menemukan tindakannya yang melawan perkataannya sendiri. Kata-kata dan tindakannya adalah dua hal yang satu. Kata-kata dengan apa yang ia perbuat adalah api dan nyalanya. Itu sulit sekali. Saya sendiri pun yang menjadikan hal tersebut sebagai tolok ukur sering khilaf (kata yang tepat untuk suatu pembelaan kepada diri sendiri), perbuatan dan perkataan saya kadang seperti dua ikan kanibal yang saling memangsa.

Mendapati hal menarik itu, membuat saya berpikir sedikit mengubah gaya saya di biem.co. Saya mulai sering duduk lama di sana, berbincang dengan teman-teman yang lain dan menghayati kebersamaan. Memperhatikan Esih yang lembut dan tulus. Perempuan itu seperti gunung es, kuat dalam kelembutannya. Memperhatikan Fikri Habibi calon doktor yang rendah hati. Memperhatikan Iqbal yang matanya menyimpan telaga. Memperhatikan Ega Jalaludin, orang berlatar organisasi dengan pikiran tak biasa. Memperhatikan Culiah, ibu pejabat yang hangat walau kadang garing. Memperhatikan begitu banyak teman di sana. Mereka yang semuanya menyimpan energi yang kuat. Dalam hal ini, saya tidak merasa perlu memperhatikan Mahdiduri, saya mengenalnya sejak belasan tahun yang lalu, sejak rambutnya masih gondrong dan berapi.

Dari semua yang saya perhatikan, dari semua energi yang terpancar saya melihat semua berpulang pada satu energi, Irvan Hq. Sebab orang-orang di biem.co adalah orang-orang dengan pembawaan energi yang kuat, saya menjadi khawatir. Orang-orang berpembawaan kuat tidak mudah dikumpulkan dalam satu wadah, karena berpotensi melahirkan tegangan yang juga kuat. Akan lahir dua matahari, tiga matahari, sepuluh matahari di sebuah bumi. Itu artinya, besar sekali potensi lahirnya kekacauan tingkat tinggi. Tetapi semua pembawaan itu dapat dipertemukan pada medium datar yang mampu mempertemukan energi sebagai yang setara. Sekali lagi, itu ada pada Irvan Hq.

Meski demikian, saya belum mengerti bagaimana ia mampu melakukannya. Keahlian langka yang saya pun masih sangat jauh untuk sampai, mungkin butuh 100 tahun lagi untuk mempelajarinya dan memang saya harus belajar darinya. Karena itu,  diam-diam saya mulai mendalami sosoknya, lebih dalam lagi. Sialnya, semakin kuat usaha saya mendalami Irvan Hq, semakin keder saya dibuatnya.  Saya tidak menemukan keistimewaan yang tampak megah dari dirinya, seperti keistimewaan seorang Soekarno yang terkenal sebagai macannya podium. Tidak juga saya temukan tekanan aura yang dahsyat seperti aura para sufi sehingga mampu merangkul dan merangkum aura orang lain. Jadi, bagaimana ia dapat sampai pada tahap itu?

***

Adalah kisah Nabi Musa ketika ia dipertemukan oleh Allah dengan Khidir musabab Nabi Musa merasa menjadi manusia paling alim di bumi. Sebuah pertemuan mendebarkan yang membuat Nabi Musa pada akhirnya mengerti bahwa ia yang merasa lebih segala-galanya ternyata belum apa-apa dalam segala hal. Kisah itu seperti menjadi kisah saya ketika saya semakin mengenal Irvan Hq. Saya tetap tidak menemukan jawaban dari sekian kilo meter pertanyaan dalam diri saya tentang dirinya. Semua serba biasa saja. Tidak ada hal-hal yang sangat khusus yang dapat saya temukan darinya. Tetapi setiap saya bertemu dengannya, saya seperti dihadapkan pada misteri keistimewaan yang tak terbaca oleh mata saya—yang entah diselubungi oleh kabut apa.

Saya kemudian berusaha menjaga jarak, setidaknya tidak terlalu dekat. Bukan sebab saya tidak mau mendekat, tapi setiap mendekatinya saya gemetar. Tiba-tiba kecerdasan saya seperti berkurang 50% atau lebih dari itu. Bukan menjadi lebih bodoh, tapi lebih mengetahui kebodohan dalam diri saya. Itu agak menjengkelkan, tapi saya menyukainya, seperti saya menyukai kalimat-kalimat saya yang mengakui bahwa Toto ST Radik adalah penyair Banten yang saya sukai meski saya juga penyair yang lahir dan menetap di Banten.

Sekali waktu saya merenungi posisi saya dengan Irvan Hq. Kadang saya bersedih, karena ternyata selama ini saya telah salah sangka terhadap diri saya sendiri. Saya mengira, telah begitu banyak yang saya khatamkan dalam hidup ini, sehingga saya merasa cukup cerdas sebagai seorang manusia. Tetapi ternyata apa yang saya kira telah khatam, sebenarnya baru dimulai atau mungkin belum sama sekali dimulai, apatah lagi yang sememangnya saya tidak merasa mengkhatamkannya. Sulit mengakui keadaan ini, tapi saya memang harus mengakuinya.

Saya tidak melihat apa yang ia berikan kepada orang lain atau apa yang ia berikan kepada saya. Selama ini pun, sebagai redaktur sastra saya tidak pernah peduli apakah saya mendapatkan honor dari biem.co atau tidak, walau Culiah sering tiba-tiba mengirim pesan Whatsapp yang berisi bukti transfer dari biem.co ke rekening saya. Pesan yang acapkali saya abaikan, tidak sama sekali saya beri balasan. Hanya dibaca.

Saya memang tertarik pada sesuatu yang bukan bersifat kebendaan ketika melihat kebaikan orang lain, meski pada tahap tertentu benda-benda adalah pecahan wajah dari kebaikan itu sendiri. Perhatian saya telah terperangkap pada bayang gerak kaki dan tangannya. Bayang, bukan kaki dan tangan itu sendiri. Sesuatu yang bergerak tanpa kelebat kepalsuan. Sesuatu yang berkelebatan memberi kabar baik, mengantarkan begitu banyak orang pada harapan-harapan besar. Bayang kaki dan tangan itu adalah bayang yang terus membayangi tubuh-tubuh anak muda, yang dengan segera akan mengangkat setiap tubuh yang tersungkur; merawat setiap tubuh yang terluka.

Irvan Hq memosisikan diri sebagai yang bukan apa-apa di depan manusia yang sedang merasa berada pada titik nadir, meski ia yang kemudian hadir sebagai orang yang mengangkatnya dari titik terendah itu. Sulit sekali untuk tidak tidak menampakkan bahwa kita adalah manusia berjasa di depan orang-orang yang kita bantu, bukan? Dan lebih sulit lagi ketika ada orang datang membawa permasalahanya, kemudian orang yang diminta bantuan untuk menyelesaikan masalah itu berkata: “Mari kita selesaikan masalah kita ini bersama-sama.”  Itu yang sering dilakukan Irvan Hq. Menurutnya Hidup adalah perjalanan dari persoalan yang satu ke persoalan yang lain, kalimat yang selintas terkesan biasa saja, tetapi mengandung makna yang luar biasa.

Sebagai seorang kakak, ayah, dan sahabat, caranya mendidik manusia juga berbeda dari kebanyakan manusia yang saya temukan. Bukan dengan menempa seperti seorang empu menempa calon sebatang keris selepas sebatang besi dipanggang di atas api. Ia menempa mentalitas orang-orang di sekitarnya seperti angin tipis yang mengantarkan gelombang ombak—yang mengabarkan berita tentang datangnya waktu pelayaran atau mengantar pulang kapal-kapal menuju dermaga.

Sebelum bertemu dengannya, saya selalu sangsi dengan cara mendidik manusia yang menggunakan kelembutan, sebab jika senantiasa dihadapi dengan kelembutan, manusia cenderung sulit diajak berpikir dan bersikap sesuai dengan cita-citanya. Cenderung belok sesuka-sukanya. Tetapi sejak bertemu dengannya, saya merasa perlu berpikir ulang tentang bagaimana mengadapi sekian banyak manusia, terlebih rata-rata manusia yang ingin ia hadapi adalah manusia-manusia yang sedang mencari tempat berpijaknya sebuah mimpi dan jalan panjang yang mesti ditempuh.

Kadang kala saya melihat begitu banyak manusia datang ke biem.co. Hilir mudik mereka, dari orang-orang yang datang bergerombol hingga orang-orang yang datang sendirian. Tidak hanya anak muda, banyak juga yang sudah berusia lebih dari setengah abad. Nama-nama yang tidak saya ketahui siapa, meski jika saya sedang ada di kantor biem.co tidak jarang juga saya berbincang dengan siapa saja yang datang. Semua yang datang diperlakukan dengan perlakukan yang sangat baik.

Irvan Hq tak pernah lupa menanyakan kabar, dengan sedikit bahasa yang pada pandangan saya sebelumnya seperti basa-basi. Saya sempat berpikir, itu tidak terlalu perlu. Tetapi kemudian saya mengerti bahasa yang terkesan basa-basi tidak selalunya basa-basi yang sama sekali tak ada arti. Ianya adalah bagian dari etika. Bagian dari pemuliaan manusia kepada manusia, karena pemuliaan itulah kehati-hatian dalam berbicara menjadi sangat penting sehingga menjadi penting pula menata kata-kata.

Setiap orang yang ditemui atau menemuinya—yang saya perhatikan—selalu dibesarkan hatinya. Bukan hanya dengan bahasa yang diperkatakan, melainkan juga melalui bahasa tubuhnya. Itulah mungkin yang membuat Irvan Hq dapat mencapai satu titik pencapaian yang tidak semua orang dapat mencapainya. Ia menempatkan manusia sebagaimana manusia, memanusiakan manusia. Itu yang sungguh-sungguh ia lakukan. Apakah yang lebih bermakna di bumi ini sebagai manusia selain belajar menjadi manusia dengan memanusiakan manusia?

Tetapi saya masih sangsi, ada yang belum saya temukan di dalamnya dirinya. Sesuatu yang tetap dalam selubung kabut tebal sehingga saya belum dapat mengambil pelajaran dari yang tersembunyi entah di mana itu. Saya meyakini itu, sebab apa yang tampak terlalu sederhana untuk sesuatu yang besar dan kompleks. Mungkin ini yang disebut sebuah pelajaran tidak dapat benar-benar selesai meski pintu kelas telah ditutup.

***

Anda tentu sudah terlalu sering mendengar “Jangan menjadi seperti lilin, menerangi orang lain tapi diri sendiri habis terbakar” atau dengan redaksi lain yang kurang lebih sama maksudnya. Saya melihat itu pada Irvan Hq, tapi tidak dengan penafsiran orang pada umumnya tentang lilin. Irvan Hq adalah lilin, hidup untuk menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain lalu padam setelah tugas menyala itu tiada.  Sebab semua manusia memang akan habis tanpa sisa di bumi, tapi ada yang kekal, yakni bagaimana seorang manusia menyalakan dirinya di tengah manusia.

Untuk mendapatkan buku Tentang Orang yang Memasangkan Sayap Kecil di Pundak Para Pemimpi silahkan klik disini.

Adalah kisah Nabi Musa ketika ia dipertemukan oleh Allah dengan Khidir yang kini sering membayangi saya ketika mengingat atau menatap Irvan Hq. Saya merasa menjadi Musa di depan Khidir, saya belum sama sekali memahaminya karena saya baru saja mulai belajar dari apa yang dahulu saya anggap biasa-biasa saja. (Red)

Muhammmad Rois Rinaldi adalah Penerima Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera 2014) dan Tokoh Sastra Asia Tenggara (HesCom 2015 & 2016).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button