Beliau—yang kupanggil guru nun jauh itu—telah memberiku pengalaman bagaimana rasanya sulit tidur karena punya sejuta mimpi untuk segera diraih dengan pasti. Tak peduli mungkin saja, aku yang jadi muridnya akan gagal atau jatuh, tapi ia tetap menyodorkan tiket emas itu dan menghadiahkanku rumah tempat pertama aku memberangkatkan cita-citaku.” – Veronica Gabriella
CSI#5, biem.co – Teknologi informasi merasuki sendi-sendi kehidupan ketika dunia bisa dirangkum hanya dengan luas sebuah layar gawai. Namun, aku masih suka melakukan hal-hal yang mereka bilang sudah lewat waktunya: bersahabat dengan pena.
Dulu, sekitar lima tahun lalu aku punya seorang kawan jauh. Aku berkomunikasi dengannya melalui kartu pos dan berkirim kado via ekspedisi. Aku dan dia tak pernah bertemu, tapi rasanya sangat dekat karena perbincangan hangat di secarik kartu pos dan sesekali ruang bertukar pesan instan.
Komunikasiku dengannya masih berlangsung sampai sekarang, hingga aku belajar satu hal: kedekatan tak diukur oleh jarak, begitu pun kasih sayang dan semangat yang ditularkan—ia melebihi batas geografis dan hitungan satuan waktu.
Hal-hal semacam itu semakin dipertegas ketika aku mengenal seseorang, yang lebih suka kusebut sesosok guru nun jauh. Ilmu dan bimbingannya membuat batasan-batasan fisik tak lagi berarti. Dan, pada kesempatan ini aku ingin bicara banyak mengenai dirinya, tentang seberapa jauh ia berperan dalam perwujudan impian-impianku.
Dulu sekali, aku punya mimpi bisa mewartakan apa saja yang kulihat, kucium, kusentuh, kudengar, dan kucecap langsung. Tak perlu diendapkan lama hingga lahir jadi cerita, aku ingin tulisanku segera jadi suara bagi orang-orang.
Namun, aku tak tahu harus mulai dari mana. Bekal yang kupunya hanya sepotong mimpi dan rencana penuh semangat serta pengandaian-pengandaian yang selalu mengiringinya. Sampai suatu hari, seseorang menawariku kesempatan itu.
Katanya beliau suka gaya menulis Veronica Gabriella, ada potensi asal mau, ada mimpi jadi nyata asal berupaya. Aku pun dibuat surat tugas, diajak bergabung, dan tiba-tiba aku dikenalkan sebagai anggota keluarga baru dari sebuah komunitas tempat meracik impian anak muda untuk disuguhkan kepada kenyataan.
Semenjak diberi penawaran dan peluang menjadi bagian dari komunitas tersebut, aku belajar apa yang orang bijak bilang learning by doing. Aku diminta segera praktik tanpa embel-embel pelatihan. Bagi beliau, lakukan segera sekarang juga, tidak perlu banyak teori dan peraturan yang justru membuatku takut berbuat salah sehingga pada akhirnya aku tak belajar apa-apa.
Aku pun menerima tugas peliputanku yang pertama, belajar sendiri bagaimana rasanya terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan orang-orang baru, mengasah radar berita, hingga memelajari gaya menulis baru. Setelah itu, aku baru dilepas dan berkarya di tempat lain dengan modal kepercayaan diri yang lebih.
Beliau—yang kupanggil guru nun jauh itu—telah memberiku pengalaman bagaimana rasanya sulit tidur karena punya sejuta mimpi untuk segera diraih dengan pasti. Tak peduli mungkin saja, aku yang jadi muridnya akan gagal atau jatuh, tapi ia tetap menyodorkan tiket emas itu dan menghadiahkanku rumah tempat pertama aku memberangkatkan cita-citaku.
Aku ingat pula, ia orang pertama yang menolak pemberian gratis atas karya-karyaku, dan jadi orang di garda depan yang menghargainya. Beliau paham bagaimana memberi harga pada proses, serta menunjukkannya dengan aksi sederhana seperti mengirimiku pesan, Ver, senang melihatmu berkarya lagi. Aku pesan buku kamu lima ya, biar temen-temen di sini juga bisa baca. Aku dengannya jauh, tapi penghargaan dan apresiasinya terhadapku sampai di sini, di tempatku yang jauh dari tempatnya.
Orang-orang mungkin pada akhirnya akan memandangku heran. Aku tak pernah bertemu dengan beliau, begitu juga sebaliknya. Bahkan, tak sekalipun bercakap langsung, hanya via komunikasi daring. Namun, beliau tak segan memasangkan sayap kecil di punggung anak-anak muda yang ia ketahui punya semangat dan keberanian bermimpi.
Aku ingat beliau dengan sederhananya selalu mengatakan pada mereka, Kau butuh lebih dari sekadar berani bermimpi, tapi juga keberanian melangkah barang satu langkah saja, tak apa terasa lambat tapi kau maju.
Untuk mendapatkan buku Tentang Orang yang Memasangkan Sayap Kecil di Pundak Para Pemimpi silahkan klik disini.
Aku bangga pernah terbang dengan sayap yang dibuatnya serta petuah-petuah yang membuatku terbang tinggi tanpa lupa melihat ke bawah untuk pulang. Ia membuatku mengerti, kebaikan dan kebahagiaan perlu dipupuk agar terus hidup, dan dibagi agar semakin tumbuh subur.
Kau tahu aku memanggilnya, Kak Irvan. Aku mengaguminya sebagai kakak bagi sebuah keluarga besar bernama Banten Muda. Tempat anak-anak muda menjadi koki untuk impiannya satu sama lain, dan wadah bagi mereka yang sudah dewasa untuk memelihara terus-menerus jiwa dan semangat muda dalam diri masing-masing.
Maka tidak bisa dipungikiri jika bicara tentang anak muda, aku akan teringat nama beliau: Kak Irvan Hq dengan sayap-sayap yang akan dipasangnya bagi mereka yang berani dan percaya pada impian. (Red)
Veronica Gabriella adalah penulis kelahiran Medan yang kini sibuk berprofesi sebagai Senior copywriter di Ruangguru, pernah bekerja sebagai Creative Copywriter di Siloam Hospitals dan Harian Kompas. Buku terbarunya PawStories (Elex Media) tersedia di toko buku. Begitu juga dengan Novel young-adult berjudul “LESAP” (Falcon Publishing), bercerita tentang sepasang manusia yang kehilangan, menemukan, lalu dihadapkan pada masa lalu dan masa depan. Kedua buku ini menambah koleksi karyanya dalam menulis cerita setelah berhasil menerbitkan novel Shooting Star (2014), Time in a Bottle (2016), You Got Me (2016), Lisa’s Diary (2017), dan sebuah buku self improvement Bicara Cinta (2016). Selain menulis, ia hobi streetfeeding kucing dan anjing jalanan di lingkungannya. Sila berkunjung menengok prosa-prosanya di www.veronicagabriella.com, mengenalnya via Instagram @verooogabriel, dan mengontaknya lewat surel [email protected].
Silahkan klik tautan dibawah ini untuk membaca tulisan Veronica Gabriella :
Teriakan Merdeka Dari Dalam Cermin.
Dapur Anak Muda Memasak Mimpinya.