Irvan HqKolom

Muhammad Rois Rinaldi : Citra Manusia

CSI#4, biem.coDi bumi, citra adalah yang kerap menjebak manusia. Apa yang tampak pada mata adalah yang seringkali menjadi tolok ukur utama dalam penilaian-penilaian tentang manusia yang lain—yang tidak jarang itu mengakibatkan kita (saya dan mungkin sebagian pembaca) terjerembab ke dalam penilaian semu.

Penilaian-penilaian yang tidak lebih dari sekadar memproyeksikan kenampakan-kenampakan dari sesuatu, yang kemudian dengan segera dinamai sebagai inti, padahal untuk sampai pada inti, tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat apa yang tampak.

Tabiat semacam itu barangkali tabiat bawaan setiap pribadi yang dilahirkan dari rahim seorang ibu. Ianya tidak sama sekali dapat dilenyapkan, tapi bukan berarti yang sepenuhnya menguasai akal pikiran.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Kita diuji untuk mengakali jebakan-jebakan “citra” itu. Agar kita sebagai manusia tidak hidup hanya untuk memperjalankan badan yang rangka ini. Sebab, inti manusia bukan pada sesuatu yang mudah rusak, yang kelak akan dinamai mayat.

Pada kedalaman yang lebih, pada keterperosokan yang jauh, kesadaran akan adanya kecenderungan pada citra ternyata tidak menjadi alarm agar kita (saya dan mungkin sebagian pembaca) berhati-hati.

Sebaliknya, kita sengaja membuat citra-citra tentang diri kita sendiri: memilih pakaian-pakaian yang bukan pakaian yang tepat bagi diri kita; memilih di mana mesti duduk dan tidak, duduk yang sekiranya dapat menaikkan citra derajat kita di mata sesama; menolak mengakui kehebatan orang lain dengan sibuk membesar-besarkan diri sendiri; atau gemar mematut-matutkan sesuatu yang sesungguhnya tidak sama sekali patut bagi diri kita.

Sebagian kita melakukan itu karena terdesak oleh kebutuhan terhadap kekuasaan, sebagian kita terdesak karena kebutuhan terhadap uang, dan sebagian kita tidak tahu untuk apa melakukannya.

Waktu kecil saya pikir menjadi manusia itu mudah, tapi ketika dewasa, ternyata begitu sulit menjadi manusia. Pertaruhan dan pertarungan untuk sampai pada “nilai manusia” adalah pertaruhan dan pertarungan seumur hidup.

Tetapi di dalam kesulitan ada kemudahan, hanya tinggal bagaimana meletakkan pikiran dan hati. Di antara beberapa hal yang saya sebut ujian berat kita tadi, satu cara di antara sekian kemudahan yang jumlahnya barangkali sama banyak dengan kesulitannya, adalah mendidik diri untuk mengakui kelebihan orang lain. Orang kini biasa menyebutnya: mengapresiasi.

Saya menggunakan kata “mendidik” karena untuk mengakui kelebihan orang lain, apatah lagi menjadikannya sebagai pelajaran bagi orang banyak (semisal menuliskannya atau membuat konten video tentang kebaikan yang kita temui) membutuhkan keberanian dan pembiasaan.

Jika kita sudah membiasakan diri mengakui kelebihan orang lain, ketika itu kita akan tahu betapa kecilnya kita dan di situ pulalah terbentuk jiwa yang besar dan kesempatan yang lebih besar untuk sampai pada “nilai manusia”.

Dalam kaitannya, saya menghadapi begitu banyak catatan tentang seorang Irvan Hq—lelaki yang sudah beberapa tahun ini saya kenal. Catatan-catatan dari orang-orang yang sebagian saya kenal, mereka yang juga memiliki begitu banyak kebaikan di dalam diri mereka masing-masing.

Catatan-catatan dari orang-orang baik yang saya maksud berkisar pada hal-hal terbaik yang ada pada sosok Irvan Hq: gairah kemanusiaan, kiprahnya di tengah sesama manusia, dan nilai-nilaiyang ia tanamkan di tengah pergulatan kemanusiaan.

Catatan-catatan yang amat disayangkan jika tidak dikumpulkan, dibukukan. Karenanya, dengan senang hati saya berinisiatif menyusun catatan-catatan itu sehingga buku ini dapat hadir di hadapan para pembaca.

Saya membayangkan, sebagian orang membaca buku ini dengan perasaan kagum pada sosok Irvan Hq tanpa mau masuk lebih dalam kepada maksud adanya buku ini. Sebagian pembaca yang lain, dengan khidmat mengambil pelajaran demi pelajaran yang ada tanpa menafikan antara sosok dengan kiprahnya.

Mungkin ada juga sebagian pembaca yang  mencurigai bahwa buku ini sengaja dibuat untuk membentuk citra seorang Irvan Hq. Citra yang sekadar rangka belaka.

Tanggapan beragam dari manusia terhadap sesuatu adalah fitrah. Ianya tidak kemudian layak dijadikan hambatan untuk menghadirkan sesuatu yang baik. Untuk yang menganggap bahwa buku ini dibuat secara politis, membentuk citra Irvan Hq, terlebih bagi yang menganggap bahwa begitu banyak catatan pujian dari begitu banyak manusia terhadap satu manusia adalah kesalahan, barangkali perlulah kita jalan-jalan ke suatu ruang keilmuan yang telah lama kita ketahui.

Segala puja dan puji telahlah jelas menjadi milik Allah—Sang Khalik yang maha dalam segalanya. Tetapi ianya adalah muara. Sebuah muara dialiri oleh sungai-sungai yang menerusi kanal-kanal. Pujian kepada Sang Khalik sebagian dialirkan dari pujian makhluk kepada makhluk.

Kita telah lama mengetahui bentuk-bentuk pujian: Qodim ala Qodim, pujian Allah kepada Allah sendiri sendiri. Qodim ala hadits, pujian Allah kepada mahluknya, sebagaimana Allah memuji Kanjeng Rasul:  “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas budi pekerti yang luhur” (Qs. Al Qolam : 4). Hadits ala Qodim,  pujian mahluk kepada Allah. Hadits ala hadits, pujian mahluk kepada mahluk lainnya.

Tanpa perlu menjabarkan bagaimana konsep bentuk-bentuk pujian itu, kita kiranya telah mengerti bahwa memuji sesama manusia pada hakikatnya memuji Allah, bahkan memuji bunga pun hakikatnya memuji Allah. Terlebih jika niatnya adalah untuk dijadikan pelajaran, maka itu memiliki nilai yang lebih: mengajak pada kebaikan—kepada hal-hal yang terpuji.

Yang tidak diperkenankan adalah suka memuji diri sendiri. Menganggap apapun yang dilakukan oleh tangan sendiri adalah yang terbaik, apatah lagi sampai memiliki pikiran bahwa kebaikan hanya boleh lahir dari tangan diri sendiri, sementara dari tangan orang lain hanya ada keburukan. Yang tidak tidak diperkenankan adalah suka dipuji untuk sesuatu yang tidak ada di dalam dirinya, yang tidak dilakukannya.

Memang layak seorang manusia khawatir dengan pujian yang didatangkan kepada dirinya, karena itu bagian dari kehati-hatian, tapi jangan sampai juga terjebak pada keterjerembaban yang lebih jauh. Kita tentu ingat bahwa keriyaan tertinggi adalah ketika kita takut dianggap riya oleh orang lain.

Karena itulah, ketika saya mengajukan penyusuan buku ini, Kang Irvan Hq dengan cemas bertanya kepada saya, apakah catatan-catatan itu memang layak dipublikasikan secara luas dalam bentuk buku, saya menjawab: “Percayalah, ini layak. Memang kita ada pada begitu banyak kemungkinan, tapi tidak ada yang mengada-ada dari semua catatan yang saya baca. Kang Irvan tenang saja, catatan ini insha Allah membawa kebaikan dan semoga jiwa Kang Irvan selalu dijaga Allah.”

Para pembaca, pengantar ini bukan untuk mendikte, saya hanya ingin menunjukkan  seleret dasar pemikiran dari sesuatu yang pada akhirnya sampai di tangan Anda. Di sini memang hanya menghadirkan soal-soal kebaikan Irvan Hq, tapi bukan berarti sosok Irvan Hq tanpa kekurangan. Lagi pula, kita memang diajarkan membicarakan kebaikan, sementara kekurangan sesama tidak untuk dibicarakan, dilarang dicari-cari.

Saya meyakini untuk mendapatkan pelajaran dari sesuatu yang sampai di tangan saya, terlebih dahulu yang harus ditata adalah prasangka. Prasangka baik akan mengantarkan siapapun pada hal-hal baik, bahkan lebih baik dari apa yang sampai. Begitu pula dalam menyusun buku ini, prasangka baiklah yang saya tata dan mungkin hal yang sama perlu dilakukan oleh para pembaca agar sampai pada maksud kehadiran buku ini.

Untuk mendapatkan buku Tentang Orang yang Memasangkan Sayap Kecil di Pundak Para Pemimpi silahkan klik disini

Buku semacam ini langka di Banten. Jarang sekali orang Banten menulis tentang sosok orang lain, terutama yang masih hidup dan bekiprah, sementara di sisi lain begitu banyak orang yang sibuk menulis tentang dirinya sendiri. Tentang kiprah dan capaian-capaian sendiri, termasuk juga saya. Semoga buku ini dapat menjadi inspirasi bagi buku-buku yang lain, yang menceritakan kebedaraan, karya, dan kiprah manusia-manusia Banten yang memang sudah selayaknya ditulis, untuk dipelajari nilai-nilai kebaikannya.

Sebagai penutup, sebuah hadist perlu kita baca: “Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya maka ia telah berterimakasih kepadanya namun jika menyembunyikannya berarti dia telah mengingkarinya ….” (HR. al-Bukhari) (Red)

Muhammmad Rois Rinaldi adalah Penerima Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera 2014) dan Tokoh Sastra Asia Tenggara (HesCom 2015 & 2016).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button