SejarahTerkini

Supremasi Hukum Dalam Kesultanan Banten

(Dalam Naskah Piagam Banten)

“Kaya mongkono maning sapa-sapa lunga angarampog atawa angewat ing lahut atawa ing darat ora kalawan parinta kang jeng sultan iku, hukume pianaten sarta anak rabine ingalihaken maring Surosuwan dadi abdi dalem lan sakehe duwene kaparing dalem””(Pasal 4).

c. Unsur Obligatio

Maksud obligatio di sini ialah sebagaimana yang terdapat dalam bahasa latin, iurus vinculum yaitu suatu ikatan hukum di antara dua pihak, hak dan kewajiban. Hak bagi yang menderita dan kewajiban bagi yang melanggar. Hak bagi yang menderita sebagaimana yang terdapat dalam pasal 2, dan 4 pada piagam Pugung Raharjo, kehidupan anak rabine setelah ditinggal suaminya karena kecelakaan/hukuman, kehidupannya ditanggung oleh kesultanan sebagai abdi dalem. Kewajiban bagi yang melanggar mendapat hukuman sesuai dengan perbuatannya, sebagaimana dalam pasal 2, 4, 10 pada piagam Pugung Raharjo.

d. Unsur Sangsi

Atribut hukum yang terakhir ialah sanksi. Atribut sanksi ini mencakup sanksi fisik dan sanksi non-fisik. Kasus mengenai sanksi hukum sera fisik di Kesultanan Banten seyogyanya perlu ditelusuri baik melalui data-data tekstual maupun melalui data-data artefaktual. Tempat untuk melaksanakan hukuman secara artefaktual belum diperoleh suatu keterangan yang pasti, ternyata fungsi watu gilang di Banten berbeda dengan fungsi watu gilang di Mataram. Fungsi watu gilang di Mataram ialah sebagai tempat menghukum (Van Mook, 1972:19). Pada waktu Panembahan Senapati, menghukum seorang pemberontak yang juga menjadi menantunya yaitu K Ageng Mangir, dihukum dengan membenturkan kepalanya ke watu gilang. Sementara fungsi watu gilang di Banten bukan untuk menghukum tetapi sebagai suatu tempat singgasana raja-raja Banten (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 128). Dalam peta sketsa dari Banten Lama (schetskaartje van oud Banten 1900) , terdapat nama tempat penjara yang disebut dengan Ketandan, letaknya berada di sebelah barat Surosuwan, dalam Hikayat Maulana Hasanuddin diungkapkan bahwa Katandan tersebut dibangun bersamaan dengan bangunan Masjid Agung dan Lumbung dalem (Naskah Cibeber, 1351H: 46). Sanksi non fisik sebagai sanksi hukuman yang bersifat supranatural untuk tidak melakukan pelanggaran yang dalam masyarakat pra- Islam yang menggunakan kata-kata kutukan, namun dalam naskah piagam Bojong , sebagai preventif untuk tidak melakukan pelanggaran ialah menanamkan dengan kata-kata agama, seperti sebutan istilah durhaka “anghukumaken wong doraka” (Pasal 3 piagam Bojong).

  1. Sangsi yang Berbentuk Hukuman Mati

“lan maning sapa sing atutukaran atawa paparangan pada rakyat kangjeng sultan iku kadenda karone lamun mati salah sawiji saking karone maka kang urip panaten hukume sarta rabine ingalihaken maring Surosowan dadi dalem lan sakehing anane rinampas katahing dalem” (Pasal 2).

Artinya; Dan lagi barangsiapa bercekcok atau berkelahi (di antara) rakyat kangjeng sultan itu didenda keduanya; jika salah seorang meninggal dari keduanya, maka yang hidup dihukum mati dan anak istrinya dipindahkan ke Surosowan dijadikan budak raja dan semua yang dirampas (dengan) seijin raja”

Editor: Irvan Hq
Previous page 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button