Unsur-unsur bahasa yang terdapat dalam piagam tersebut antara lain; bahasa Melayu, bahasa Sunda, bahasa Arab dan bahasa Jawa. Bahasa Melayu antara lain, Pada (PR,3), Sangat (PR, 3). Bahasa Sunda; lamun (PR,2 &6). Bahasa Arab; Hijrah (PR,12), Hukum (PR, 3). Bahasa Jawa; Kongkonan, Sakehing dll (tiap-tiap pasal). Bentuk kata sandang penghormatan ialah Kang. Bentuk kata Ing dapat diterjemahkan dengan di, kepada, ke, oleh dan dengan. Bentuk kata Kon mempunyai arti disuruh.
- Deskripsi Hukum Piagam Pugung Raharjo (PR)
Apakah dari ketiga piagam tersebut terdapat struktur hukum ? Apakah dari ketiga piagam tersebut telah mencakup dari ke ampat rumusan hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh Leopold, Prospisil ? Dari ketiga piagam tersebut mana yang mengandung rumusan hukum. Sebagimana isi dari piagam yang telah dipaparkan tersebut di atas, bahwa piagam Bojong dan piagam Sukau itu mengandung persyaratan hukum, sementara piagam Kahuripan lebih banyak mengandung unsur politis dan sulit untuk dibuktikan secara hukum.
a. Unsur Otoritas
Bagaimana struktur kesultaan Banten dan dimana kedudukan hukum dalam struktur kesultanan Banten tersebut. Siapa yang membuat hukum dan siapa yang melaksanakan hukum. Dari ketiga piagam tidak menyebutkan bagaimana membuatnya atau siapa-siapa saja yang membuatnya, dari ketiga piagam tersebut hanya menyebut dengan kata-kata “anulis janji Pangeran Sabakingking” (Piagam Kahuripan, Pasal 17). Lalu pada piagam Bojong disebut dengan kata-kata “ lan maning perintah Kangjeng Sultan” (Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin) (Pasal 11) dan pada pasal 12 “ Dawhing undang-undang dalem iku ing akhiring bulan Jumadil Akhir tahun Ba sewu rong ratus tahun, lumake sakehing hijrah Nabi s.a.w.”. Dan pada piagam Sukau, pada pasal 1, disebutkan dengan kata-kata “hendaklah mengingat surat undang-undang Kangjeng Sultan Abdul Mahasin Zainul Abidin yang dipertuan di negara”.
Dari pasal-pasal yang terdapat dalam piagam tersebut menunjukkan bahwa yang membuat undang-undang dan yang memerintahkan ialah sultan. Sementara yang menjalankan perintah di daerah masing-masing ialah; Mentri-Mantri dan Ponggawa-Ponggawa (Hoesein Djajadiningrat, 1962: 54). Ponggawa yang berfungsi menjalankan perintah Sultan telah tercantum pada pasal pasal 1, 5, 6, 7, dan 9. dalam piagam Bojong. Sementara sebagai pelaksana hukum hanya terdapat di pusat (Keraton Kesultanan). Pelaksana hukum dalam Keraton Kesultanan Banten dikenal dengan Kadi (Hoesein Djajadiningrat, 1962:54-). Kata kadi berasal dari bahasa Arab qadhi . Qadhi merupakan bagian dari fikh. Ruang lingkup fikh mencakup tentang masalah qahi dan masalah dinyah (DR. Rifyal Ka’bah, M. A., 1999:1). Masalah dinyah ialah menyangkut tentang; ibadah (salat,puasa, haji), nikah dan waris (Bahder Johan Nasution, 1997:8) Dan masalah qadhi ialah menyangkut tentang; perniagaan, perdagangan, kriminalitas (Bahder Johan Nasution, 1977:9). Peranan Kadi dalam kesultanan Banten tidak hanya menangani masalah qadhi juga menangani masalah dinyah, hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Prof. DR. Hamka dalam sebuah buku yang berjudul Dari Perbendaharaan Lama. “Saya sendiri adalah Kadhi ! Saya diangkat oleh raja-raja yang telah terdahulu, bukanlah semata-mata hendak memberikan keputusan dalam perkara nikah,thalak, rujuk, tetapi juga dalam perkara waris dan faraidh !. Bukan saja faraidh harta, bahkan faraidh kekuasaan pun” (Hamka, 1982:72). Seorang Kadhi dalam kesultanan Banten dikenal dengan sebutan Pakih (Hoesein Dajajadiningrat, 1983:71). Kata Pakih berasal dari bahasa Arab dari akar kata, faqiha, yafqohu, faqohan, yang berarti ahli fighi (Prof.Mahmud Yunus,1972: 321) Sebutan Pakih merupakan nama gelar dari hakim-hakim Agung di Kesultanan Banten (Suwedi Montana, 1986:16). Gelar Pakih tersebut telah dipopulerkan pada masa Maulana Yusuf yang memerintah dari tahun 1570-1580. Pada waktu Entol Kawista diangkat sebagai Kadi, ia diberi gelar Pakih Najamudin (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 71). Kemerosotan kesultanan Banten telah mempengaruhi status Fikh, fungsi Pakih, hanya menangani masalah Dinyah. Orang yang menanganinya disebut dengan Penghulu. Kata penghulu berasal dari akar kata hulu, artinya kepala,dan dalam perkembangan berikutnya menjadi nama seorang akhli dalam soal agama Islam yang diakui dan diangkat oleh yang berwajib (Pemerintah Jajajhan). (G.F.Pijper.ter.,1984:67). Fungsi penghulu tersebut hanya menangani masalah nikah dan talak (G.F.Pijper.ter.,1984:73). Penghulu sebagai suatu jabatan strukurnya bertingkat; untuk daerah Kabupaten dissebut Penghulu Kepala, daerah Kecamatan disebut Penghulu Distrik dan Desa, disebut Penghulu Onderdistrik atau dikenal dengan Naib (G.F.Pijper.ter.,1984: 71).