Kelompok kedua tentang kerjasama bilateral antara Banten dan Lampung , terutama kerjasama dalam keamanan, dalam perjanjian kerjasama tersebut satu sama lain untuk saling membantu bilamana ada serangan dari musuh, hal itu sebagaimana tercantum dalam pasal 14 dan 15 . “lamun ana musuh Banten, Banten pangerowa Lampung tutwuri”. Sebaliknya “lamun ana musuh Lampung, Lampung pangerowa Banten tutwuri”. Kelompok tiga, tentang penetapan piagam. Waktu ditetapkannya piagam tidak disebutkan, hanya yang diketahui ialah yang menetapkan atau “kang anulis janji“ yaitu, “Pangeran Sabakingkingking”/bumi dukacita (pasal 17), merupakan nama lain dari Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan, yang berkuasa dari t ahun 1552 –1570.
B. PIAGAM PUGUNG RAHARJO
Dalam buku Sejarah Lampung, disebut degan nama Piagam Bojong, diambil dari suatu nama tempat di desa Bojong Gedong Wani, Kabupaten Lampung Tengah. Nampaknya piagam tersebut ada kesamaan dengan piagam dari hasil penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1993. Hanya piagam yang ditemukan oleh Puslitarkenas itu berasal dari Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah.
- Deskripsi Fisik dan Non Fisik
Titimangsa tahun 1102 H, bulan Jumadil awwal. Berdasarkan konversi ke penanggalan Masehi jatuh pada tanggal 5 Oktober tahun 1690, pada masa kesultanan Banten yang ke 10 yaitu sultan Abul Mahasin Zainul Abidin yang memerintah tahun 1680-1733 M. Huruf pegon, bahasa Jawa Banten. Asal naskah dari Bapak Rusdi, Kabupaten Lampung Tengah, Kecamatan Jabung, Desa Pugung Raharjo. Bahan dari lempengan perunggu, dan dibuat replikanya oleh tim penelitian Puslitarkenas pada penelitian tahun 1993, dan telah ditelaah oleh Drs. Suwedi Montana.Piagam tersebut terdiri dari 32 baris,dan bilamana diamati dari tanda wasel yang terdapat pada isi piagam tersebut, maka menunjukkan bahwa piagam tersebut terdiri dari 12 pasal. Ukuran ruang naskah, panjang 37 cm, lebar 24 cm. Ukuran ruang tulisan, panjang 30 cm, lebar 21 cm. Bahasa naskah, menggunakan bahasa Jawa Banten dalam huruf pegon. Kata pegon berasal dari kata bahasa Jawa pego yang berarti ora lumrah anggone ngucapake bahasa Jawa, tidak lazim mengucapkannya bahasa Jawa. Kata pegon digunakan sebagai istilah penamaan teks bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab (Kromoprawiro 1867:1-2, Pigeaud 1967: 1-26). Pigeaud juga mengatakan bahwa kata pegon merupakan sebuah istilah yang bermakna serong, tidak lurus.
Aksara pegon bertitik tolak dari bahasa Arab, aksara Arab berjumlah 30 buah. Dari 30 buah tersebut digunakan sebagai aksara pegon sekitar 17 buah yaitu alif, ha, nun, ra, kaf, dal, ta, tha, sin, wawu, lam, fa, jim, ya, mim, ba dan ‘ain. Dari ke 17 tersebut dikembangkan lagi sekitar 5 aksara yaitu; ca, dha, ga, tha dan nya. Dari 5 aksara tersebut digabungkan dengan 17 aksara di atas, sehingga jumlah menjadi 22 buah, kemudian aksara tha dihilangkan dan hasil akhirnya menjadi 21 buah, urutan alfabetisnya seperti aksara Jawa yaitu; a/ha, na, ca, ra, ka, da ta, sa, wa la, pa, dha ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. (Tutinah Banuwati Munawar & Titik Pudjiastuti, 1994:8-9). Dan dalam naskah piagam tersebut tidak ada ejaan yang pasti dan seragam, hal itu karena dalam huruf pegon belum ada suatu pembakuan, contoh; iku pada pasal 1, dan pada pasal 3 dan 4 ditulis iku. Kata farintaah dalam pasal 3 tetapi dalam pasal 11 ditulis farintah. Dan kata perahu pada pasal 6 dan pada pasal 6 juga ditulis perahu.