Dimana letak supremasi hukumnya ?. Supremasi, merupakan kata serapan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia yang berasal dari kata supremacy, kata benda yang berarti 1) kekuasaan, 3) keunggulan 4) keuntungan dan berdasarkan kata sifat berati 1) tertinggi, 2) paling besar dan 3)sekuat tenaga. (Peter Salim 1989: 1972). Supremasi hukum berarti kekuasaan tertinggi adalah hukum atau hukum di atas segala-galanya. Dimana letak supremasi hukum dalam kesultanan Banten? Seorang Kadhi dalam kesultanan Banten, diberi nama dengan sebutan “Pakih Najamuddin”. (Hoesein Djajadingrat 1962:54). Atau nama lainnya ialah Hakim Agung ( Suwedi Montana, 1986:16). Hakim Agung itu berada dalam Mahkamah Agung, dan sifat Mahkamah Agung dalam UUD ‘45 adalah independen, berarti Pakih Najamuddin memiliki suatu independensi. Bagaimana dengan Pakih Najamuddin ?. Apa yang dimaksud dengan Pakih Najamuddin ?. Menurut bahasa, secara istilah boleh jadi sebagai nama gelar. Dan secara etimologi, kata Pakih Najamuddin terdiri dari tiga kata; Pakih(Fakih), Najam dan addin. Kata fakih dari akar kata, fakih, yafkohu, fakhan, artinya akhli fik/faham. Kata najam dari akar kata najama, yanjumu, najman, berarti bintang, dan kata addin, berasal dari kata dana, yadinu, addin berarti membawa peraturan-peraturan berupa hukum yang harus dipatuhi, baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditegakkan dan pembalasannya (Ensiklopedi Islam, 1993: 63). Jadi Pakih Najamuddin berarti bintang agama yang memiliki keahlian dalam hukum, dan berani mengatakan benar adalah benar dan salah adalah salah, atas dasar dorongan moral dasar hukum dalam agama.
Tentang kebenaran dan keadilan dalam kesultanan Banten sebagaimana yang dipaparkan oleh Hamka dalam bukunya, Dari Perbendaharaan Lama, dalam bentuk dialog antara Kadi dengan Mangkubuni. “Saya sendiri adalah Kadhi. Saya diangkat oleh raja-raja yang telah terdahulu, bukanlah semata-mata hendak memberikan keputusan dalam perkara nikah, thalak, rujuk, tetapi juga dalam perkara waris dan faraidh.Bukan saja faraidh harta bahkan faraidh kekuasaan pun. Saya akan bertahan sampai mati, menegakkan keadilan dan kebenaran. Maulana Muhammadlah yang empunya hak. Lalu kata Mangkubumi, Dia masih kecil, bagaimana akan memegang kuasa. Jawab Kadi, sudfah terdapat di mana-mana dalm Negeri Islam apabila..? Wali’ul Ahd (putra Mahkota) masih kecil, maka Mangkubumi yang memegang kuasa sampai dia besdar. Saya tidak mengharapkan apa-apa untuk diri saya dalam perkara ini. Bukan saja hak Maulana Muhaammad yang saya pertahankan, tetapi juga hak engkau, hai Mangkubumi, Dengan menyokong Pangeran Jepara, nasibmu sendiri juga belum berketentuan! Tetapi kalau engkau berpihak kepadaku, mempertahankan hak Maulana Muhammad, siapatah lagi yang akan memangku kekuasaannya sampai dia baligh dewasa, kalau bukan engkau! Adapun saya sendiri bilamana hak telah pulang kepada yang empunya, saat itu juga saya pulang ke tempat saya yang sebenaranya, mengatur keadilan dan menjalankan hukum Qur’an di tanah Bantam ini, smpai nyawa saya bercerai dengan badan saya”. (Hamka 1982:72-73)
Tentang kepastian hukum dalam kesultanan Banten telah diungkapkan oleh Hoesein Djajadiningrat dalam sebuah buku Kritik Sajarah Banten antara lain dipaparkan dalam suatu dialog antara Sultan Banten dengan seorang Kadi yang pada intinya agar tidak mengulur-ulur masalah perkara “Sultan meminta keterangan tentang keadaan ponggawa dan mentri-menteri mengenai daerah masing-masing perdagangan di pasar dan di pelabuhan, tentang daerah sekitar Banten, mengenai negri-negri Makasar, Jambi, Palembang, Johar, Malaka, Aceh, Mataram dan Jayakarta. Kemudian meminta keterangan mengenai soal-soal hukum karena kalau ada proses hukum yang berlarut-larut dan Kadi tidak dapat memutuskan, maka sultanlah yang akan memberikan putusan akhir.Pada akhir audensi sultan memberi gambaran mengenai kerajaan secara umum, makan bersama berbincang-bincang tentang sesuatu dan akhirnya kembali ke dalam keraton. (Hoesein Djajadiningrat 1983: 54-55).