Piagam masa sultan Hasanuddin disebut dengan piagam Kahuripan, berisi tentang Perjanjian Kerjasama antara Banten dengan Lampung yang ditulis pada abad 16. Piagam masa sultan Ageng Tirtayasa yang disebut dengan piagam Rajabasa, berisi tentang Undang-Undang Kesultanan Banten, ditulis pada abad 17. Piagam masa sultan Abdul Mahasin Muhammad Zainul Abidin yang disebut dengan piagam Pugung Raharjo, berisi tentang Undang-Undang Kesultanan Banten, ditulis pada abad 17. Dan Piagam masa Sultan Abdul Mahasin Muhammad Zainal Abidin, disebut piagam Sukau, berisi tentang Undang-Undang Kesultanan Banten, ditulis pada abad 17. Dan piagam masa sultan Muhamad Arifin Zainal Asyikin yang disebut piagam Rajabasa, berisi tentang Undang Undang Kesultanan Banten, ditulis pada abad 18. Naskah lempengan logam tersebut oleh Du Bois (asisten Residen Lampung) disebut dengan Buk Lampung (Hoesein Djajadiningrat, 1983). Padahal dari ke 5 naskah tersebut hanya satu naskah yang menggunakan huruf Lampung yaitu naskah piagam Sukau. Mungkin yang dimaksud dengan Buk Lampung, itu menunjukkan pada ruang (wilayah) ditemukannya naskah tersebut. Dan juga disebut Buk Dalung, hal itu menunjukkan pada bahan yang digunakan yaitu lempengan logam atau menunjukkan pada suatu tempat di Banten Girang ada suatu desa yang disebut desa Dalung. Berikutnya disebut naskah piagam Banten, karena dari kelima naskah tersebut diterbitkan oleh kesultanan Banten dan dari kelima naskah tersebut akan difokuskan pada naskah piagam Pugung Raharjo dari hasil penenlitian Pusalitarkenas pada tahun 1995 di Lampung Tengah. Naskah piagam Pugung Raharjo tersebut ada kesamaan dengan naskah piagam Bojong, hasil temuan tim dari Fakultas Keguruan Universitas Lampung pada tahun 1970. Bagaimana kaitannya dengan hukum ?. Piagam Pugung Raharjo dilihat dari isinya, itu mengandung nilai hukum normatif, filosofis dan empirik.(lihat Ahmad Ali dalam sebuah buku yang berjudul Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 1998 :4-5).
Hukum normatif yaitu memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, sifatnya perspektif yeng menentukan apa yang salah dan apa yang benar, menyangkut das solen, apa yang seharusnya dan juga membahas sanksi pidanan. “Lan maning sapa sing atutukaran atawa paparangan pada rakyat kang jeng sultan iku kadenda karone lamun mati salah sawiji saking karone maka kang urip pinaten hukume sarta anak rabine ingalihaken maring Surosuwan abdi dalem lan sakehan anane rinampas kattahing dalem”. (Pasal 2). Hukum filosofis yaitu memandang hukum sebagai perangkat nilai ideal dan menjadi rujukan dalam pembentukan pengaturan dan pelaksanaan kaidah hukum. Contoh kata-kata merampok, membunuh dikatagorikan sebagai kejahatan yang harus dihukum berat. “Kaya mongkono maning sapa-sapa lunga angarampog atawa angewat ing lahut atawa ing darat ora kalawan parinta kang jeng sultan iku hukume pianaten sarta anak rabine ingalihaken maring Surosuwan dadi abdi dalem lan sakehe duwene kaparing dalem” (Pasal 4). Hukum empirik yaitu memandang hukum sebagai kenyataan yang menyangkut kenyataan sosial dan menyangkut kultur dan bersifat deskriptif, apa kenyataannya orang yang telah melakukan kejahatan, dicemooh, diasingkan, dikutuk dikejar-kejar dosa atau dicap sebagai orang durhaka. “Lan sing sapa kapondokan wong dulur desa kang angarampog atawa ngewat mawa andirine ing dalem negarane atawa ing muwara kaline nanging ora kawasa, ora ponggawa iku angrusak kalawan sakawasane ingatase wong Doraka iku”. (Pasal 5).