InspirasiOpini

Memaknai Ijtima Ulama Nusantara

Oleh : Eko Supriatno, M.Si, M.Pd

“Dekat ulama adalah obat hati, agar hati tak menjadi batu. Selamanya Ulama Nusantara tak akan mati, karena Ulama Nusantara adalah wadah pemersatu” 

(Pantun Rakyat)

biem.coPartai Kebangkitan Bangsa atau PKB akan menyelenggarakan Ijtima Ulama Nusantara pada 13-14 Januari 2023 di Hotel Millenium Jakarta. Acara yang digagas oleh Dewan Syura DPP PKB ini mengambil tema “Ulama Bangkit Bersatu Menjaga Indonesia”.

Ijtima Ulama Nusantara merupakan forum silaturahmi dan konsolidasi gagasan dan pandangan konstruktif para ulama, para kiai, dan pimpinan pondok pesantren di Tanah Air, dalam menghadapi Pemilu 2024.

Tentunya Ijtima Ulama Nusantara digelar dalam rangka memastikan kinerja dan program PKB selalu dalam pengawalan dan arahan dari ulama. Selain itu, acara ini untuk memantapkan keterpautan perkhidmatan ulama dengan kehidupan kebangsaan dan masalah keumatan.

Ijtima Ulama ini seperti reuni para tokoh PKB sebagai partai yang dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama. PKB sepanjang perjalanannya telah melahirkan banyak tokoh yang punya kontribusi besar terhadap bangsa dan Negara.

Ijtima ulama ini menjadi sangat strategis melihat akhir-akhir banyak persoalan social, keagamaan, kebangsaan, ramai diperbincangkan dan perlu fatwa ulama untuk menyikapinya.

Ada beberapa topik bahasan yang diangkat pada Ijtima Ulama Nusantara, Pertama, masalah strategis kebangsaan (masaail asasiyah wathaniyah). Kedua, masalah fikih (keagamaan) kontemporer (masail fiqhiyyah mu’ashirah).

Momentum Kebangkitan Ulama Nusantara

Ijtima Ulama Nusantara adalah konsolidasi ulama dalam arti memperkukuh ikatan kesatuan entitas yang penting untuk diupayakan.

Paling tidak, Ijtima Ulama Nusantara ini membelalakkan mata kita semua bahwa suara umat Islam betapa pun tetaplah memiliki resonansi dan terlalu berisiko jika diabaikan.

Tujuannya agar umat tidak cukup berpuas pada aksi masif sesaat, tanpa disertai langkah-langkah strategis seperti melakukan konsolidasi secara terus-menerus.

Tahapan itu adalah prakondisi menuju apa yang dibayangkan sebagai kebangkitan atau revivalisme yang autentik.

Ijtima Ulama Nusantara ini mengonfirmasi kesadaran kita bahwa saat ini umat Islam mengalami sebuah momen, di mana kecintaan terhadap agama tengah dijunjung tinggi, khususnya untuk merespons problem-problem sosial, politik, dan kebangsaan.

Bangkitnya semangat keagamaan ini bisa menjadi modal penting bagi soliditas umat Islam ke depan.

Menurut penulis, langkah pertama yang bisa dilakukan untuk memperkokoh kekuatan umat adalah dengan mengedukasi umat Islam agar tidak rentan dengan berbagai isu, utamanya yang bergulir dengan begitu cepat seiring dengan terjadinya konvergensi sosial media.

Menghadapi realitas yang begitu cepat dalam media sosial tersebut, sikap reaktif dan emosional sering dipertontonkan sebagian umat Islam akhir-akhir ini.

Karena umat Islam tidak dibekali dengan budaya kritis dan pemahaman literasi yang komprehensif, maka mudah sekali terbawa arus informasi yang diputarbalikkan kebenaran faktanya.

Padahal, tidak semua informasi yang beredar sekarang ini baik untuk dikonsumsi oleh otak kita. Perlu mengonfirmasinya berkali-kali agar pemahaman atas fakta menjadi pengetahuan yang utuh dan benar adanya.

Jika antarsesama umat tidak lagi menaruh curiga satu sama lain, toleransi berjalan dengan baik, dan masing-masing orang berlomba untuk kebaikan, kebangkitan yang autentik bisa dicapai, meskipun harus diakui realitas ke arah itu memang tidak mudah.

Momentum Konsolidasi PKB

Penyatuan visi perjuangan dalam membangun Konsolidasi PKB menjadi salah satu agenda terpenting bagi Ijtima Ulama Nusantara.

Yang juga tak kalah penting adalah gagasan pembangunan PKB tersebut juga didukung oleh seluruh elemen kader, gerakan rakyat serta masyarakat secara umum.

Untuk itu, menciptakan kesadaran mengenai pentingnya pembangunan PKB merupakan agenda utama dari seluruh gerakan rakyat.

Bukankah, hanya melalui parpol-lah, rakyat bisa memilih wakil-wakilnya yang duduk di tubuh lembaga parlemen untuk mewakili aspirasinya.

Dengan posisi PKB tersebut, yang di kala reformasi diinginkan menjadi kanalisasi pluralitas aspirasi ideologis rakyat, PKB tak lagi sekadar hanya diposisikan sebagai infrastruktur politik. Namun, layak dikategorikan sebagai elemen suprastruktur politik di samping institusi-institusi Trias Politica (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Derajat institusionalisasi PKB juga dapat digunakan untuk menentukan kualitas konsolidasi demokrasi dalam tubuh PKB.

Jika meminjam analisis dari Larry Diamond (2003), konsolidasi parpol dapat terlaksana manakala mayoritas rakyat dan elemen-elemen dalam tubuh parpol tersebut meyakini kesahihan aturan main dalam tubuh parpol dan kedudukan penting parpol dalam sistem demokrasi konstitusional.

Tujuan dari eksistensi PKB sebagaimana digariskan dalam UU Parpol tersebut harus dilaksanakan melalui fungsi parpol yang semakin mampu menjadi kanal aspirasi rakyat pemilihnya dan sekaligus mampu menjembatani beragam kepentingan negara dan rakyat.

Dwight Y King pernah menyatakan bahwa peran utama parpol terbagi menjadi tiga macam, yaitu: (1). Memberikan jembatan institusional antara warga negara dan pemerintah; (2). Menggodok dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dan untuk dilaksanakan oleh pemerintah hasil pemilu; dan (3) Jalur bagi proses kaderisasi dan seleksi politisi untuk mengisi jabatan publik.

Sementara itu, James Rosnau lebih menekankan pada fungsi parpol sebagai sarana penghubung antara berbagai macam kepentingan dalam suatu sistem politik. Dalam hal ini, menurutnya ada dua peranan penting parpol dalam linkage politik, yaitu pertama, sebagai institusi yang berfungsi penetratif (penetrative linkage/hubungan erat), dalam arti sebagai lembaga yang ikut memainkan peranan dalam proses pembentukan kebijakan negara. Dan kedua, sebagai ”reactive linkage (hubungan interaksi),” yaitu lembaga yang melakukan reaksi atas kebijakan yang dikeluarkan oleh negara.

Pola institusionalisasi PKB dalam kerangka demokrasi konstitusional yang dibangun harus terus dilakukan untuk mencapai tingkat kematangan politik yang tinggi dalam tubuh PKB.

Institusionalisasi PKB yang menjadi prasyarat untuk melaksanakan konsolidasi demokrasi dalam tubuh PKB merupakan proses pemantapan baik secara struktural dalam rangka memolakan perilaku maupun secara kultural dalam memolakan sikap dan kultur-politik di tubuh PKB.

Reposisi Ulama Nusantara

Ulama merupakan waratsatul al anbiya (pewaris para nabi) memiliki keistimewaan (karamah) dari Tuhan berfungsi sebagai nabi sosial yang bertugas sebagai filter dan penerjemah masalah sosial bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalannya.

Reposisi Ulama Nusantara sejatinya adalah menjadi aktor yang seharusnya menyadarkan dan mengembalikan umat kepada jalan yang lurus

Konteks Reposisi Ulama Nusantara berarti mengharuskan ulama menjaga situasi kondusif atas kehidupan kemasyarakatan maupun keagamaan, serta sebagai penjaga moral social.

Reposisi Ulama Nusantara adalah bahwa ulama yang menerjemahkan fikih dan syariah tersebut dalam perilaku keseharian sehingga menjadi teladan bagi umat.

Konsekuensi Reposisi Ulama Nusantara ialah ulama harus menjadi penerang bagi umat dan menjaga pluralitas dalam beragama.

Ulama sebagai makelar budaya seharusnya lebih berada dalam ruang sosio teologis maupun sosio kultural hingga sosio politik.

Komitmen NU

Bagi penulis, yang menarik dari para kyai panutan NU itu komitmennya untuk menomorsatukan kepentingan bangsa di atas pribadi,  golongan, atau agama.

NU sejak awal sudah memilih ber-ideologi Pancasila. Memilih Pancasila sebagai dasar bagi ormas sebesar NU jelas luar biasa. Sebab dengan demikian mengakhiri segala polemik hubungan Islam dan negara.

Dengan pilihan ini, segenap warga nahdliyin sudah tidak tergoda mendirikan negara Islam atau berideologi agama.

Sejarah juga kemudian mencatat pilihan NU itu ternyata tetap relevan dan kontekstual. Seperti belakangan ini, berbagai aliran keagamaan dari luar negeri yang mengusung semangat radikal dan ekstrem tengah menggoda sebagian anak bangsa untuk meninggalkan Pancasila dan menggantinya dengan ideologi agama.

Syukurlah dalam kondisi demikian, selalu tampil para kyai NU. Mereka tidak rela NKRI yang majemuk ini tercabik-cabik pemahaman keagamaan sempit dan ekstrem. Ini patut diapresiasi

Habib Luthfi hingga Abuya Muhtadi selalu melantunkan Indonesia Raya dengan bangga sebelum memulai taklimnya.

Ulama yang lebih mengedepankan keutuhan bangsa dibanding kepentingan individu maupun golongan itu juga sangat menghargai  seluruh manusia, apa pun agamanya.

Dengan demikian pemahaman tentang makna politik dan agama selayaknya dimiliki oleh semua warga negara sebagai pelaku politik.

Memaknai Ijtima Ulama Nusantara

Bahwasanya Indonesia itu merupakan kohesi sosial, politik, dan kultural yang dibangun atas pilar-pilar kemajemukan suku, agama, ras, antar golongan (SARA),

Ijtima Ulama Nusantara berperan penting untuk menopang kesatuan politis, menanamkan kesadaran nation-state, dan membangun keadaban publik.

Ulama Nusantara yang sesungguhnya berperan penting menyiapkan kader-kader politik yang menghargai perbedaan sosial-kultural.

Ijtima Ulama Nusantara berperan dalam menanamkan nilai-nilai yang menunjang perwujudan politik beradab.

Ulama Nusantara membentuk tatanan sosial-politik di dalamnya warga dan elite politik sanggup menghargai kemajemukan sosial, politik, dan kultural bangsa.

Ulama Nusantara demikian turut menciptakan keadaban publik karena warganya menghargai prinsip-prinsip dan filosofi politik demokrasi.

Masa depan keindonesiaan sangat ditentukan juga oleh kemampuan Ulama Nusantara untuk mendorong pemeluk masing-masing memiliki paham dan pandangan yang jernih tentang realitas multikulturalitas bangsa kita.

Ijtima Ulama Nusantara mesti mampu membangkitkan kesadaran pemeluknya akan kekayaan budaya, suku, dan agama.

Indonesia tidak dibangun atas suatu imajinasi yang sempit, tetapi suatu imajinasi yang melampaui setiap identitas primordial. Jelaslah, agama mempunyai peran politis sejauh elite agama mampu memengaruhi pemeluk masing-masing agar memiliki wawasan kebangsaan dan menghargai proses demokrasi sebagai sebuah mekanisme politik demi perwujudan kemanusiaan yang adil dan bermartabat.

Ijtima Ulama Nusantara harus mengajak pemeluk untuk memakai kesempatan memilih pemimpin secara rasional, yakni pemimpin yang menghagai pluralisme dan bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir-batin.

Ajaran agama mesti mampu menjernihkan pandangan pemeluknya agar mempunyai visi emansipasi dalam perwujudan hak-hak politik warga. Agama sejati tidak bisa didefinisikan dengan menebarkan ketakutan publik, mengancam, dan menolak realitas perbedaan sosial-politik.

Gelaran Ijtima Ulama Nusantara bisa menjadi jembatan bagi semua kepentingan yang bermuara bagi kemaslahatan masyarakat. Hal itu sesuai dengan motto Ijtima Ulama Nusantara kali ini, yakni “Ulama Bangkit Bersatu Menjaga Indonesia”.

Selamat ber”Ijtima!

 

Eko Supriatno, M.Si, M.Pd, Penulis Buku “Gus Muhaimin Gasspolll (Penggerak Kaum Sarungan Menuju Istana)”, Inisiator Revolusi Lebah, dan Wakil Sekretaris DPW PKB Banten.

Editor: Irvan Hq

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button