biem.co – Istilah ‘kemunafikan politik’ kembali mencuat saat DPR dan Pemerintah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan pada 6 desember 2022. Sejumlah pasal-pasal krusial banyak disoroti oleh berbagai macam lapisan masyarakat dan dan menjadi perdebatan yang cukup panjang.
Pasal-pasal anti demokrasi, melonggarkan gerak para koruptor, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan adat dan memiskinkan rakyat, memperlihatkan ketidakseriusan dan kemunafikan politik anggota DPR dan juga Pemerintah.
Patut diduga mereka menipu rakyat seolah-olah serius melakukan pembahasan RUU KUHP tersebut dan dengan tergesa-gesa mensahkan padahal didalamnya mereka sendiri sibuk memperjuangkan nasibnya sendiri termasuk untuk pemilihan anggota legislatif periode selanjutnya di tahun 2024.
Penulis jadi teringat adagium dalam dunia politik yang berbunyi “tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi” dan yang dimaksud kepentingan biasanya memiliki lingkup yang lebih kecil.
Misalkan dari sisi waktu maka kepentingan sesaat akan lebih dominan dari pada kepentingan jangka panjang, bahkan lebih parah lagi dari lingkup penerima manfaat, kepentingan jang-ka-imah (untuk ke-rumah) atau kepentingan pribadi lebih mewarnai para politikus daripada kepetingan untung orang banyak atau masyarakat.
Dan penulispun teringat perkataan seorang politisi tentang koalisi, dia mengatakan “untuk meraih kemenangan, kalau perlu dengan syetan-pun kita dapat bermitra”.
Jadi kalau begitu istilah kemunafikan politik tersebut memang bukan istilah baru, karena sebagian besar orang memahami politik sebagai wujud dari kemunafikan atau dalam bahasa kita dikenal dengan istilah hipokrit, yang artinya suka berpura-pura atau tidak konsisten.
Itulah sebabnya jika adagium diatas dianut sebagai aturan dalam bermain politik maka itu artinya memang politik itu setara dengan ketidak-konsistenan atau ke-pura-pura-an.
Penulis sebenarnya menghindari menyeret kata munafik ke dalam ranah agama, karena bagi ummat Islam sudah sangat jelas penjelasan tentang sifat dan perilaku munafik pada surat Al-Baqarah (Surat 2) memunculkan ayat dalam jumlah yang lebih banyak ketimbang penjelasan tentang orang beri-iman dan orang kafir.
Hal itu, menurut penulis, memang menandakan bahwa dalam kehidupan ini kebih banyak kaum munafik yang abu-abu ketimbang kaum ber-iman (putih) maupun kafir (hitam). Mengapa sifat munafik dianggap berbahaya dan diancam dengan hukuman berada dalam neraka yang paling bawah (Surat Annisa ayat 145), karena mereka sulit di-identifikasikan keberadaan, mereka berbaur sehari hari dengan kita, sehingga dengan mudah menulari kita dengan sifat kemunafikan tersebut.
Dalam konteks kehidupan sehari hari, lebih sulit membedakan kaum hipokrit ketimbang orang yang jelas jelas menjadi musuh yang harus di hindari. Seperti warna abu-abu yang sesungguhnya merupakan perpaduan dari warna putih dan hitam, akan sulit memisahkan warna hitam dengan warna putih yang terdapat dalam sebuah warna abu-abu.
Pun demikian dengan sifat dan perilaku hipokrit, sangat sulit membedakan apakah dia kawan atau lawan. Apalagi pernyataan baku tentang kawan dan lawan dalam dunia politik. Hari ini menjadi kawan dan esok bisa menjadi lawan, hari ini mengatakan A dan besok mengatakan B. artinya bahwa memang dunia politik yang kita tonton sekarang ini merupakan dunia yang penuh dengan kemunafikan.
Ada nasehat yang bagus dari seorang kyai sufi yang tinggal di wilayah Propinsi Banten. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya yang sedang sibuk mencalonkan diri mengikuti kontestasi politik itu kalau tidak hati hati sebenarnya sedang membeli 4 kunci neraka. Menurut sang Kyai tersebut kunci tersebut adalah janji palsu, ujub, hasab, dan riya.
Janji palsu, sudah pasti para kontestan berharap terpilih sehingga mengharuskannya mengumbar janji janji yang menarik bagi calon konstituen. Dan diantara janji janji yang terlontar, sulit untuk memenuhi semua janji tersebut pada saat terpilih kelak.
Ujub, atau berbangga diri atau merasa dirinya memiliki kelebihan. Hampir dipastikan seseorang yang mengikuti kontestasi karena dia merasa memiliki kelebihan dari orang lain, hanya saja bila tidak hati hati maka perasaaan tersebut akan dibarengi dengan perasaan merendahkan orang lain, terutama orang yang menjadi lawan politiknya.
Hasad, iri atau dengki terhadap orang lain yang mendapat nikmat Allah SWT. Perasaan seperti ini terkadang lazim menghinggapi peserta kontestasi manakala lawan politiknya ternyata mendapat nikmat berupa dukungan atau suara` dari masyarakat. Dimana dirinya-pun sedang berjuang untuk memperebutkan suara dari lingkungan yang sama. Untuk memenangkan suara tersebut maka tidak jarang black campaign atau fitnah dilancarkan agar lawan politik tersebut kehilangan simpati dari para calon pemilihnya.
Dan yang terakhir dari 4 kunci tersebut adalah Riya atau melakukan sesuatu perbuatan bukan dilandasi oleh keinginan mendapat ridho dari Allah SWT. Faktor ini sangat jelas menjangkiti para caleg kita, karena apapun yang dilakukan akan dikonversi secara langsung dengan perolehan suara. Apakah sumbangan yang diberikan kepada masyarakat akan menghasilkan suara?, bahkan kalau perlu jika kelak tidak memperoleh suara dari masyarakat yang dibantu maka sumbangan tersebut akan diambil lagi, sebagaimana pengalaman pada beberapa pemilu lalu.
Akan tetapi apakah politik di indonesia sekotor itu? Tentu tidak semua politisi yang berperilaku hipokrit, masih ada dan banyak anggota masyarakat yang terjun ke dunia politik dengan dilandasi niat untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakat disekitarnya. Mereka ini tentu termasuk politisi yang memahami politik bukan sekedar alat kekuasaan tapi juga sebagai alat kemaslahatan ummat.
Mereka menganut definisi politik bukan versi seorang pakar yang mengatakan bahwa politik sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Tapi mereka lebih mendefinisikan politik menurut Aristoteles, bahwa Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dan juga dalam pelaksanaan proses meraih simpati warga, dia tentunya akan menghidar dari cara membeli 4 kunci neraka yang disampaikan oleh sang Kyai.
Jadi memang pemahaman tentang politik akan dibangun berdasarkan sudut pandang dan pengalaman hidup seseorang. Bila seorang politisi dengan latar belakang dan berpikir serta berjiwa pengusaha, maka sangat mungkin bila motif terjun kedalam dunia politik adalah untuk meraih keuntungan melalui setiap kebijakan politik yang diambil, itulah mengapa setiap pembahasan peraturan atau penetapan anggaran yang terkait dengan urusan duit selalu diwarnai lobi-lobi yang melibatkan duit juga.
Lain halnya bila seorang dengan latar belakang aktifis sosial yang memahami dan mengalami persoalan dinamika sosial, tentunya dia memasuki gelanggang politik untuk memperbaiki keadaan sesuai pengalamannya tentang penanganan permasalahan sosial yang tidak kinjung membaik. Demikian juga dengan seorang dengan latar belakang ulama atau tokoh agama.
Namun kenyataannya yang memasukki dunia politik lebih diwarnai oleh politsi transaksional maka sebagian besar poltitis yang memiliki niat mulia tersebut pada akhirnya terseret arus untuk mengikuti sistem transaksional yang lebih disukai oleh sebagian besar politisi.
Sehingga pada akhirnya memang sulit memisahkan kata kemunafikan dan politik, semoga kita semua terlindung dari sifat kemunafikan tersebut dan pemilu kali ini menghasilkan lebih banyak politisi yang bisa menghilangkan kata munafik dari kehidupan politik . Aamiin… (Red)