biem.co – Kasomalang dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa serbaneka kelebihan yang tak terperikan. Yang terkenang dari Kasomalang adalah dari sekian banyak desa dan kampung, dari pelbagai aneka ‘masyarakat’ yang ada, hanya Kasomalang saja yang dengan tingkat keseriusan tinggi, membakukan ‘guyub’ sebagai ritus bersama. Berjamaah otomatis tanpa imam. Dirayakan, bahkan dalam diam.
Kasomalang merupakan salah satu Kecamatan di Subang hasil pemekaran dari Kecamatan jalan Cagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Misal, penulis asal dari Kasomalang Wetan, desa ini berbatasan langsung dengan desa Kasomalang Kulon(Barat), Desa Kumpay (utara), Desa Bojongloa (timur), dan desa Sindangsari (selatan). Desa yang diresmikan pada tahun 1982 ini memiliki luas wilayah 237,989 hektar dengan luas pemukiman 105,075 hektar, persawahan 63,970 hektar, perkebunan Negara 8 hektar,lahan tempat pemakaman umum 2500 hektar, dan areal perkantoran 0.50 hektar.
Salah satu potensi utama Kasomalang adalah pertanian yang merupakan matapencaharian utama warga. Selain menanam padi, warga desa ini juga penghasil buah nanas yang sudah menjadi ikon kota Subang. Perkebunan nanas di desa ini mencapai lebih dari ratusan hektar.
Demikian pula dengan perkebunan bambu yang mengelilingi desa. Bambu-bambu ini kemudian dijual ke berbagai daerah di Jawa Barat dan Jakarta. Adapula tanaman salak dan manggis yang banyak ditanam di pekarangan warga. Selain itu, warga masyarakat bojongloa juga banyak yang beternak dan memelihara ikan.
Usaha kecil lainnya juga tetap bertahan, seperti produksi makanan kerupuk, ringan opak, ranginang dan sejenisnya.
Ada pula warga yang menggeluti usaha dibidang kerajinan tangan yang hasilnya dijual ditempat-tempat wisata di Kabupaten Subang.
Masyarakat Kasomalang terus berupaya melakukan inovasi dan program unggulan. Setiap pembangunan selalu didukung oleh warga masyarakat dengan antusias. Bahkan selain sukarela menyumbangkan tenaga, masyarakat Kasomalang terlihat kompak bergotongroyong dalam membangun dengan memberikan bantuan materil.
Begitupun dengan pelestarian seni budaya di Kasomalang tetap dapat berjalan. Diantaranya kesenian Sisingaan dan Kuda Lumping yang dimainkan oleh masyarakat di kampung. Mereka sering berlatih kesenian ini secara rutin. Kesenian Sisingaan Kasomalang yang merupakan warisan budaya tak benda milik Kabupaten Subang. Kesenian ini masih bisa ditampilkan disetiap even.
Tradisi Shalawatan Kasomalang
Banyaknya tradisi-tradisi dan budaya masyarakat Kasomalang yang bersifat kekeluargaan menjadi ciri khas yang selalu dirindukan.
Kasomalang masih memegang teguh dan mempertahankan adat ‘tradisi Islam yang taat’. Tradisi shalawatan Kasomalang adalah tradisi guyub yang merupakan ciri masyarakat kasomalang. Seperti kita ketahui, secara umum masyarakat desa atau masyarakat agraris adalah masyarakat guyub yang diikat oleh tali tradisi setempat.
Tradisi shalawatan Kasomalang adalah puji-pujian yang dikumandangkan untuk menunggu imam masjid atau mushola datang dan memimpin shalat berjamaah.
Tidak semua tempat ibadah baik itu masjid ataupun langgar yang ada di Indonesia yang melakukan tradisi puji-pujian ini.
Puji-pujian yang dilantunkan di langgar – langgar ataupun masjid sebelum shalat adalah sesuatu yang terkenang indah di palung kenangan jiwa, suara dari orang-orang yang melantunkan pujian dengan sepenuh hati terasa menyentuh perasaan.
Tradisi shalawatan Kasomalang menjadi pengobat kerinduan bagi penulis sebagai bagian dari orang-orang yang hidup di perantauan, atau jauh dari kampung halamannya.
Seperti kata ungkapan pujangga, puji-pujian itu menjadi daya cinta dan rindu terhadap altar suci ketuhanan dan pemupuk terhadap kerinduan kepada sang rasul.
Pesan ‘Guyub’ dari Kasomalang
Yang Terkenang dari Kasomalang adalah ‘guyub’. Guyub adalah penggerak partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan hidup, bukan standar hidup.
Fakta realitas masyarakat ‘guyub’ adalah dengan membersihkan sampah, mengeruk lumpur di saluran, menata lingkungan, memugar rumah tidak layak huni, menyediakan kebutuhan air bersih melalui sambungan perpipaan dari bukit, membantu anak-anak putus sekolah sebenarnya justru makin membuat Kasomalang itu menarik.
Barangkali ke depan bisa saja produktivitas ‘guyub’ menjadi salah satu indikator keberhasilan kinerja pemerintah desa dan supradesa. Karena selama ini banyak yang menyamakan kerja ‘guyub’ dengan pembangunan fisik belaka yang diharapkan memecahkan rantai kemiskinan.
Kasomalang telah memberi rujukan tentang makna ‘guyub’. Kasomalang telah mampu memberi pesan sebuah pengorbanan konkret masyarakat dalam keswadayaan pembangunan.
Inilah satu potret kearifan lokal yang tak terbelah, guyub dalam tafsir desa barangkali jauh lebih baik ketimbang dalam tafsir kuasa.
Mempercepat Indonesia sejahtera dan berdikari sudah seharusnya didukung seluruh elemen untuk ‘guyub’.
Pesan ‘guyub’ dari Kasomalang adalah membingkai ‘ikhtiar’ dengan nilai-nilai kedamaian, masyarakat makin inklusif, aman, dan nyaman, tujuannya adalah untuk membangun diri dan lingkungannya sekaligus mempertajam kepekaan sosial.
Yang Terkenang dari Kasomalang
Yang terkenang dari Kasomalang adalah ‘serba’ dekat, saling mengenal, mengajari kita arti penting rasa kasih-sayang dan silaturahmi. Kasomalang, membuat saya kian yakin bahwa Kasomalang sudah berbakat bahagia sejak dahulu kala.
Yang terkenang dari Kasomalang, segala aral rintang diterabas demi sebuah tujuan mulia: kembali ke rumah.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah rasa rindu yang sudah dipupuk. Rindu pada kebersahajaan-kehangatan warga desa; Pada jabat erat tangan sahabat; Keriangan anak-anak kampung; keasrian tanah tumpah darah; kenangan indah yang tak mungkin terlupakan; Kisah-kasih yang telah terbit di masa bertumbuh dewasa; serta cita rasa masakan dan penganan khas ‘ibu’ yang lekat di lidah.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah perjalanan rasa. Maka tak syak kiranya jika semua orang merupakan sekumpulan rasa yang teraduk jadi kehidupan. Naluri purbani yang digantang setiap ‘manusia’ yang rindu kampung halaman.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah kesan dan gairah yang ‘abadi’. Pengalaman yang sangat intim. Keyakinan yang kuat tentang kebahagiaan di hari esok dengan semangat yang ‘membara’.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah candu bagi jiwa, cara termudahnya ya kembali pada kesejatian diri.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah kembali ke rumah, jelas pilihan paling masuk akal bagi para perantau. Hanya di rumah, segala tentang kesah, tumpas di tatapan rindu orangtua. Pelukan Ibunda tercinta dan ziarah ke makam Bapak panutan tercinta.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah tentang romantika di kehidupan lalu. Bermacam alasan bisa bermunculan. Namun saat menginjak lagi tanah yang dulu pernah dihidupi, niscaya ada rasa baru yang sedang tumbuh. Semacam hasrat besar menggali masa depan dari hari ini.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah kerinduan untuk pulang. Tak hanya pulang ke rumah, namun ke sumber segala. Berbondong-bondong menyusuri jalan pulang, merupakan niat luhur yang diejawantahkan dalam perbuatan.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah kerinduan pada rumah yang jelas sudah kita hapal seluk likunya, tentu bukan tujuan utama kepulangan, melainkan perjumpaan dan pertemuan istimewa. Bukan pada orang lain. Tapi pada pertemuan dengan diri sendiri.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah pijar-pijar nostalgia, binar-binar kerinduan, dan gebyar hasrat temu kangen dengan ibu, ziarah makam bapak, silaturahmi keluarga, dan kerabat di kampung halaman. Saling lepas rindu dan bersilaturahmi.
Yang terkenang dari Kasomalang, sejauh manapun kita melangkah, sejauh apapun tempat kita merantau. Kampung halaman akan selalu menjadi tempat terindah untuk pulang, dan selalu dirindukan.
Kampung halaman adalah tempat lahir, tempat dibesarkan, tempat mendapat kasih sayang orang tua, tempat segala keindahan, kebahagian bersama keluarga, teman semasa kecil, tempat spesial yang dirindukan, kesemuanya itu mendorong hati kembali ke tempat kelahiran yang dicintai. Tidak ada alasan untuk melupakan segala kenangan dimana kita dilahirkan dan dibesarkan.
Yang terkenang dari Kasomalang adalah rindu keluarga, rindu teman masa kecil, dan rindu tradisi kampung halaman. (Red)
Eko Supriatno, Penulis Buku “Manusia Otonom”, Tenaga Ahli DPRD Banten, Pengurus ICMI Banten, Dosen FHS UNMA Banten.