Apa itu Kekuasaan?
Dalam memahami konsep kekuasaan yang mana terdapat beberapa pemikiran dalam perkembangannya, yang kemudian berangkat dari konsep kekuasaan menurut Dahl (1957) tentang “One Dimensional view of power” yang mana Dahl menyatakan bahwa dalam konsep kekuasaan satu dimensi ini para pemikir pluralis seperti Dahl dan Polsby menekankan kekuasaan pada ranah pembuat kebijakan (Decision Making). Dahl menginterpretasikan kekuasaan seperti “kapasitas A untuk mempengaruhi B dalam melakukan atau menolak untuk melakukan sesuatu yang diinginkan A, sekalipun B tidak ingin melakukan itu” (Dahl, 1957).
Berbeda dengan konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh Dahl, Peter Bachrach dan Baratz (1970) mengenai “Two Faces of Power” dalam bukunya yang berjudul Power and Poverty : Theory and Practice, yang menurut mereka dalam kritiknya terhadap Dahl bahwa kekuasaan tidak hanya memiliki satu wajah atau dimensi, melainkan memiliki dua wajah yang dalam hal ini ditekankan oleh Bachrach dan Baratz mengenai “non-decision making”. Yang dimaksud oleh Bachrach dan Baratz adalah dalam kekuasaan tidak hanya dapat dilihat dari peranan pembuat keputusan atau otoritas yang dalam hal ini memiliki kewenangan khusus untuk membuat keputusan, namun juga diluar itu terdapat individu atau kelompok yang memiliki kapasitas untuk mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan atau bahkan menolak suatu kebijakan (Bachrach and Baratz, 1970 : 7).
Kemudian Lukes melalui bukunya Power : A Radical View yang mengkritik Dahl, maupun Bachrach dan Baratz yang menjelaskan mengenai konsep kekuasaan Dahl mengenai Decision Making maupun Bachrach dan Baratz dengan konsep kekusaan Non-Decision Making, yang kemudian Lukes menyebutnya dengan konsep kekuasaan Three Dimensional View of Power, yang mana Lukes menambahkan dimensi ketiga ini dengan fokus pada Ideological Power (Lukes, 2005).
Dalam buku Tentang Kuasa yang ditulis oleh Wawan Mas’udi dan Abdul Gaffar Karim (2021) yang menyatakan bahwa kekuasaan juga dapat dipahami sebagi relasi dan sifatnya melekat (inherent). Artinya, kekuasaan tidak hanya diartikan sebagai properti atau milik untuk diperjuangkan dan dinikmati. Relasi kuasa dalam hal ini pun bersifat laten, dalam arti dapat diamati jejaknya dan dirasakan dampaknya (Mas’udi dan Karim, 2021 : 41).
Melalui ketiga pendekatan tersebut dapat dikatakan bahwa kekuasaan bekerja dalam berbagai ranah atau melalui relasi, yang sifatnya melekat pada individu, kelompok, maupun otoritas yang memiliki kapasitas untuk mempengaruhi, membuat, atau bahkan menolak suatu kebijakan. Dalam proses menentukan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya air bersih, untuk bagaimana mengelola, mengatur, mengontrol, mendistribusikan air tersebut aspek politik dari hubungan relasi kekuasaan antara aktor-aktor yang terlibat tentu akan sangat menentukan bagaimana kebijakan terkait dengan hal ini ditetapkan.