InspirasiOpini

Marah, jangan ditahan…

Oleh : Khofidotur Rofiah

“Perasaanmu apa kabar?”

biem.coTak sering orang dalam budaya Indonesia benar-benar menanyakan kabar seseorang yang merujuk pada perasaan atau feeling. Taruh saja saat seorang teman menanyakan bagaimana kabarmu, hal yang selalu kita dengar sebagai jawaban adalah, “aku baik”. Makna baik disini adalah sehat secara fisik. Atau sebaliknya “aku kurang baik”, maksudnya tentu adalah kurang sehat atau tidak enak badan alias sakit.

Menanyakan dan menceritakan tentang perasaan kita dianggap kurang begitu penting dalam situasi sosial kita. Mari kita bercerita tentang feeling atau perasaan untuk membuatnya menjadi topik penting yang seharusnya memang penting.

Menjelajahi perasaan kita adalah sebuah petualangan.

Bagi kebanyakan orang, ini adalah perjalanan ke wilayah dalam yang hampir tidak dikenal. Kita memasuki area yang cenderung kita hindari — seringkali tanpa melakukan upaya sadar untuk melakukannya. Kita memasuki jantung hutan di dalam diri kita sendiri! Apa yang lebih mengkhawatirkan daripada ketakutan, lebih berbahaya dari kemarahan? Kegembiraan yang dalam dan otentik adalah sensasi yang paling memuaskan dari semuanya, sementara kesedihan tidak tertandingi dalam kemampuannya untuk membawa kita ke dalam kontak yang mendalam dengan diri kita sendiri. Melalui penjelajahan perasaan kita, kita menemukan bahwa banyak hal tersembunyi di negeri asing di dalam diri kita ini, hal-hal yang telah kita cari selama bertahun-tahun!

Pada ulasan kali ini, kemarahan akan sangat menarik untuk dibahas lebih dulu. Mengingat banyak anggapan tentang marah adalah hal buruk yang harus kita tahan. Tapi apakah benar begitu? Yuk kita simak.

Marah,  perasaan yang baik atau buruk?

Saya ingin menjelaskan bahwa kita tidak sedang membahas apakah kemarahan itu adalah baik atau buruk dan benar atau salah. Yang harus digarisbawahi di sini adalah gagasan bahwa kemarahan adalah sebuah kekuatan, seperti api dalam elemen kehidupan atau listrik yang sangat penting keberadaannya.

Apakah kemarahan itu baik atau buruk tidak terletak pada sifat kekuatannya, melainkan pada niat yang mengarahkannya. Kita membutuhkan kekuatan ini sebanyak kita membutuhkan api dan listrik. Namun kita semua tahu bahwa perasaan ini juga dapat diekspresikan dengan sangat berbeda. Dalam ekspresi bayangannya, kemarahan itu merusak dan melukai. Namun sebenarnya kemarahan justru dimanifestasikan  sebagai kekuatan. Lalu apa yang terjadi secara psikologis bila seseorang jarang atau terlalu sering marah? Mari kita bahas.

Ketika Kita Kurang Marah

Ketika kita kekurangan amarah, kita bukan hanya individu yang cinta damai tapi kita juga adalah orang-orang yang kurang lebih tidak mampu untuk mengambil tindakan. Ketakutan kita untuk tidak menyenangkan orang lain membuat kita tidak mengambil posisi, posisi apa pun.

Kita kehilangan gagasan bahwa posisi itu penting. Ketika dihadapkan dengan sesuatu yang tidak kita sukai, kita sering bereaksi dengan kesedihan. Untuk menghindari sepenuhnya tenggelam dalam ketidakberdayaan kita, kita malah mengandalkan strategi manipulatif yang dirancang secara halus dan menampilkan diri kita sebagai korban agar kebutuhan kita terpenuhi.

Dengan menolak mengambil posisi, kita menghindari tanggung jawab yang kita semua miliki: membela diri, mengamankan tempat dan menjaga diri sendiri. Kemarahan diinvestasikan dengan kekuatan untuk dapat menjaga diri kita sendiri, menentukan teritorial kita, menghasilkan kejelasan dan menciptakan sesuatu karenanya.

Jika kita terlalu sering marah

Menciptakan kemarahan yang berlebihan sama kontra-produktifnya dengan menolak untuk membuatnya. Jika interpretasi bahwa ada sesuatu yang salah datang terlalu mudah, kita terus-menerus mengarahkan diri kita ke jalan buntu. Orang yang pemarah tidak hanya meremehkan hal-hal sampai akhir, tetapi juga terbawa dalam kemarahan tentang hal-hal yang tidak dapat dia ubah.

Tujuan utama dari kemarahan adalah untuk memberdayakan kita dalam mengambil tindakan. Jika saya menafsirkan situasi yang tidak saya pengaruhi sebagai sesuatu yang salah, saya akan menjadi sangat frustrasi, paling banter. Dalam kasus yang lebih buruk, kemarahan entah bagaimana akan memaksanya untuk bertindak — seperti magma yang mendorong kawah gunung berapi. Hal-hal dan orang-orang akan dihancurkan atau dilukai secara acak, hal yang menjadi tujuan tindakan saya adalah menyalurkan energi (baca: dalam kemarahan) yang telah dihasilkan.

Dalam situasi yang tidak dapat kita pengaruhi, kemarahan bukanlah respons yang tepat. Dalam menyalahgunakan kekuatan ini, kita berperilaku seperti anak-anak yang mengalami fase terrible two, yaitu saat anak memasuki usia toddler atau 2 tahun, yang salah menilai situasi dan kemampuan mereka sendiri dan membuat ulah sebagai respons terhadap situasi yang tidak dapat mereka ubah.

Tidak ada yang salah dalam kemarahan Ketika kita dapat mengidentifikasi situasi dan kondisi apakah energi kemarahan ini tepat atau tidak. Ingat seperti halnya kebutuhan kita atas api dan listrik, marah akan selalu penting dan perlu dalam masa yang tepat. (Red)

foto rofiah

 

 

_Khofidotur Rofiah, penulis adalah dosen di Surabaya sekaligus mahasiswa di Polandia  yang sedang fokus mempelajari dan menulis tentang “kekuatan emosi”.

Editor: Irvan Hq

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button