InspirasiOpini

Fenomena Kultural Citayam Fashion Week

Oleh. Eko Supriatno*

biem.co – Fenomena Citayam Fashion Week berhasil mencuri atensi publik nasional hingga mancanegara. Keberadaannya menjadi perbincangan lantaran nyentriknya pakaian muda-mudi asal Citayam dan Bojonggede di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat.

Menurut pandangan penulis, Citayam Fashion Week memunculkan sejumlah fenomena sosial yang erat kaitannya dengan kehidupan di tengah-tengah masyarakat.

Citayam Fashion Week yang bermula dari sejumlah anak yang nongkrong di kawasan tersebut dengan sebutan SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok), memberikan nuansa perkumpulan fashion seperti halnya Harajuku yang ada di negara Jepang.

Fenomena Citayam Fashion Week berpotensi meluaskan skalanya, apalagi jika sudah diliput media massa.

Fenomena Citayam Fashion Week ini menarik, disaat kaum SCBD “Sudirman Central Business District” yang sering kali dianggap masyarakat elit dengan outfit selangit, bertemu dengan kaum SCBD “Sudirman Citayem Bojong Depok” yang didominasi remaja pinggiran kota dengan outfit nyentrik-nya.

Menurut penulis, Fenomena Citayam Fashion Week adalah bentuk perlawanan pada mode yang sudah mapan. Bahwa semua bisa mengekspresikan fashion dan gaya di ruang publik.

Citayam Fashion Week dalam perjalanannya telah memberikan warna tersendiri dan terbukti telah memberikan kontribusi pada beberapa aspek kehidupan, terutama ekonomi. Selain itu juga aspek peningkatan citra dan identitas bangsa serta menumbuhkan inovasi dan kreativitas.

Mendukung Citayam Fashion Week

Pada era perkembangan kota di Indonesia, pemerintah lazimnya harus merekonstruksi ruang publik di pusat kota menjadi ruang dan tontonan bagi warga kota itu. Ruang publik merupakan perlambang kosmis.

Ruang publik harus menjadi ruang syiar yang dikemas melalui bentuk tuntunan dan tontonan. Dari catatan itu, kita bisa menyimpulkan ruang publik sejatinya ruang rakyat.

Namun kini terjadi efek domino, dengan adanya kecenderungan ruang publik berubah menjadi ruang komersial pada hampir semua kota. Realitas ini senada dengan pendapat Cook (1980) yang menyebutkan fungsi pusat kota ditetapkan melalui kebijakan pemerintah sebagai pusat aktivitas ekonomi, budaya, dan pemerintah.

Akibatnya, pusat kota acap menjadi kawasan komersial dan perdagangan, yang dilengkapi pusat perbelanjaaan modern guna memenuhi kebutuhan bersantai sambil berbelanja bagi golongan kaya.

Pertanyaannya, ke mana lagi rakyat kecil mencari ruang publik untuk bersantai? Namun persoalan utama perkotaan bukan hanya kepesatan pertumbuhan penduduk melainkan pemkab/pemkot tidak sepenuhnya bisa menjawab kebutuhan warganya, baik dalam hal penyediaan fasilitas, utilitas, maupun lapangan kerja.

Sementara keberadaan ruang publik bagi rakyat terdesak oleh perkembangan kawasan wisata untuk memuaskan wisatawan dengan menumbuhkan tourist bubble, yaitu kawasan wisata khusus yang diistimewakan dengan segala macam fasilitas yang lebih baik, lebih aman, dan lebih nyaman dibanding kawasan kota lainnya.

Di Citayem Fashion Week, orang yang nongkrong mereka datang sendiri dan sangat menikmati kehidupan. Ya, belajar dari Citayam Fashion Week bahwa sesuatu hal yang menarik itu harus dimulai dari tujuan memberikan ruang wisata bagi warga SCBD itu sendiri, dan bukan dengan tujuan utama mendatangkan wisatawan.

Keberhasilan sebuah kota menjadi kota wisata, lebih disebabkan oleh seberapa besar peran warga kota itu sendiri dalam proses kegiatan yang dapat dikemas secara apik guna memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Bukan sebaliknya, dengan tujuan awal mendatangkan wisatawan terlebih dahulu.

Sejarah perkembangan kota di Indonesia membuktikan bahwa pemberdayaan ruang publik bisa menciptakan suasana nyaman bagi warganya, bahkan pengunjung dari kota lain. Sebut saja ritual Citayam Fashion Week ini.

Fenomena Kultural

Fenomena Citayam Fashion Week dimaknai sebagai salah satu fenomena budaya yang cukup mempengaruhi bagaimana seseorang memaknai hidupnya.

Dengan banyaknya aktivitas yang di tawarkan, Citayam Fashion Week kini telah menjadi sebuah budaya baru yang tidak hanya diminati oleh masyarakat kalangan bawah, kini justru berbalik menjadi sebuah tren dikalangan anak muda perkotaan.

Setelah menjadi sebuah tren, Citayam Fashion Week melahirkan sebuah fenomena gaya berpakaian yang disebut dengan street style. Hal tersebut menunjang gaya hidup Citayam Fashion Week sekaligus memberikan sebuah identitas tersendiri.

Penulis tertarik untuk melihat bagaimana Citayam Fashion Week digambarkan pada sebuah brand fashion multinasional. Meskipun Citayam Fashion Week mengusung konsep-konsep perlawanan namun nyatanya terdapat komodifikasi terhadap budaya itu sendiri yang dimana hal tersebut digunakan sebagai alat untuk memperkenalkan sekaligus menjual aktivitas yang ditawarkan oleh budaya ini.

Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang layak untuk memiliki nilai tukar di pasar (Mosco, 1996).

Citayam Fashion Week, selain menjadi fenomena baru pun hadir sebagai bentuk komodifikasi budaya, yang dimana didalamnya masih mengadopsi nilai-nilai perlawanan namun juga memiliki daya jual untuk bisa bersaing dipasar.

Meskipun perlawanan tetap ada dalam penyampain kampanyenya hal tersebut tidak serta merta murni bahwa yang diusung Citayam Fashion Week merupakan sebuah tampilan dari street culture seutuhnya melainkan tampilan dari komidifikasi street culture yang dibuatnya sendiri, tentunya dengan tidak menghilangkan nilai utamanya.

Dalam bukunya yang berjudul pegantar budaya populer Fiske (2011:7) memberikan sebuah contoh hasil studi dimana fashion digunakan untuk mengkomunikasikan kebebasan yang dapat dilihat pada studi semiotik iklan jeans Levi’s 505. Dari hasil studi tersebut menjelaskan bagaimana jeans Levi’s 505 membawa makna kebebasan dan kealamian sekaligus mengaitkan seksualitas feminine didalamnya. Hal tersebut mendukung bagaimana fashion merupakkan sebuah fenomena yang komunikatif.

Dari beberapa contoh diatas konsep kebebasan selalu berkaitan dengan perlawanan terhadap sebuah nilai yang telah mendominasi dalam masyarakat. Dari dua contoh tersebut dapat dilihat bahwa fashion menjadi salah satu cara untuk turut menyuarakan kebebasan, dalam hal ini kebebasan yang dimaksudkan adalah sebuah perlawanan atas sebuah kebiasaan atau sebuah aturan yang sudah mendominasi dalam masyarakat.

Maka kebebasan disini memiliki peran untuk menunjukkan bagaimana seseorang itu bisa bebas mengekspresikan dirinya dalam pengguanaan fashion tanpa harus terdikte dengan aturan-aturan tertentu. Sama halnya dengan fashion, kebebasan sendiri memiliki perbedaan pada tiap waktu. Seperti halnya pada era 1970-an akhir dimana fashion punk mulai dikenal dunia, anak-anak muda menyuarakan aspirasinya bukan hanya menggunakan tulisan namun juga menggunakan atribut fashion yang dianggap bisa menyuarakan aspirasinya.

Fenomena kultural menjadi begitu penting, karena menunjukkan bahwa pola pikir seseorang modern dan fleksibel, ditengah perkembangannya yang terus berubah mengikuti zaman.

Nilai kebebasan semakin diagungkan dan sebagai perwujudan perlawanan tentang anggapan-anggapan bahwa Citayam Fashion Week masih identik dengan makna dan simbol-simbol perlawanan.

Citayam Fashion Week menjadi sebuah tema kampanye yang mengusung tentang konsep kebebasan pada masa kini. Bentuk penggambaran pun juga berupa aktivitas yang dilakukan.

Citayam Fashion Week sebagai gelaran peragaan busana jalanan bisa menjelma menjadi sebuah acara festival setiap akhir pekan sebagai wisata maupun jadi sarana untuk merintis kewirausahaan yang tengah digandrungi kalangan muda-mudi.

Nantinya, fenomena itu akan merangsang kegiatan ekonomi masyarakat sekitar, terlebih jika masyarakat luas menjadikan kawasan Sudirman sebagai destinasi fashion.

Jika bisa demikian, saya merekomendasikan agar pemerintah setempat memfasilitasi kegiatan tersebut, dan tidak tertutup kemungkinan kondisi ini juga akan muncul di kota-kota besar lain karena Jakarta selalu menjadi trendsetter. (Red)

 

Eko Supriatno, M.Si, M.Pd, penulis adalah Pengamat Sosial, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

Editor: Irvan Hq

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button