biem.co – Dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat terkait penetapan jadwal Pemilu serentak 2024 yang diikuti oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesi di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta pada Senin 24 Januari 2022 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan peyelenggara Pemilu sepakat bahwa penyelenggaraan pemungutan suara untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI dilaksanakan pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Itu artinya, genderang perpolitikan telah ditabuh. Meski sesungguhnya genderang pertarungan dan pertaruhan di dunia politik tidak pernah benar-benar berhenti, sebagaimana telah kita saksikan tokoh-tokoh yang memulai gairah politiknya terlebih dahulu melalui baliho, papan reklame, dan spanduk dalam narasi beragam, mulai seruan ke-Bhinneka-an hingga agenda-agenda hajatan partai politik, dengan keluarnya keputusan tersebut, rakyat dapat melihat lebih jelas setiap tindakan politik baik dari perorangan maupun partai.
Bukan sesuatu yang mengejutkan bila dengan segera publik disuguhi dengan beberapa adegan pembuka. Misalnya, di tengah kegembiraan kita atas kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah Formula E yang membanggakan itu, muncul suara-suara yang menebar ketakutan (fear mongering) tentang “FPI Reborn” dan “Bendera HTI”. Deklarasi eks narapidana terorisme atas Anies Baswedan bukan main, seperti hendak menjadi pembuka hajatan yang tidak boleh gagal harus mencengangkan publik. Orang atau kelompok yang berseberangan dengan Anies tentu saja dengan segera merayakan umpan tersebut. Media menggoreng. Perdebatan di media sosial ramai. Talkshow perdebatan menggelar karpet untuk turut menciptakan keriuhan. Di lain posisi, mumcul relawan Ganjaris yang saling serang dengan pembesar partai politik dari PDIP dalam ILC yang disiarkan pada 3 Juni 2022. Trimedya Panjaitan, Politikus PDIP-Perjuangan mempertanyakan prestasi Ganjar yang menurutnya tidak ada, selain juga menanyakan tentang sumber uang relawan Ganjarist pada Eko Kuntadhi, sebagai ketua umum kelompok relawan tersebut untuk menciptakan orkestrasi kerelawanan yang sedemikian masif.
Dalam politik masa kini, hal tersebut wajar dan mudah diterima sebagai satu kenyataan. Itulah konsekuensi dari demokrasi kita yang semakin jauh ke arah politik citra. Di mana secara umum kita meyakini semua dapat atau boleh dilakukan selama tidak melanggar hukum dan prinsip demokrasi. Baku hantam fisik, pertumpahan darah, kekerasan, pemaksaan kehendak, fitnah, dan tindakan curang harus dicegah. Tetapi bagaimana pun, perdebatan yang tidak substantif harus segera dielakkan dari ruang publik untuk kemudian masuk pada hal-hal yang substansial. Panggung talkshow politik perlu mempertimbangkan bahwa ruang publik yang mereka sediakan dalam saluran televisi, memiliki tanggung jawab moral dan intelektual pada penonton. Perlu mengutamakan pencerdasan berpolitik dengan tidak memberi panggung pada politikus-politikus yang hanya memilki kemampuan mengeras-ngeraskan suara, berebut bicara, dan saling mencela.
Rakyat dalam kaitannya, perlu juga berubah dalam melihat pembicaraan para politikus. Bahkan perlu mewaspadai para cendekia ketika berbicara politik karena faktanya seringkali terjerumus pada pengkultusan, penciptaan citra tak mendasar, dan narasi-narasi pengagungan berlebih pada tokoh-tokoh yang mereka sukai. “Pertengkatannya” belum menyentuh dalam kepada kebijakan (policy) masa depan. Padahal tantangan ke depan luar biasa berat. Perkubuan dan pembelaan politik yang berkembang kini, sebagaimana terjadi juga pada musim politik yang lalu, jauh memberat pada like or dislike. Masih sangat jelas ujaran yang membentuk pembodohan politik, di antaranya adalah ujaran-ujaran yang menyerang personal. Senjata argumentum ad hominem yang mengajegkan kesesatan logika politik kita terus digunakan, yakni strategi retorikal seseorang yang menyerang kesalahan tulis, kesalahan istilah, kesalahan pemilihan kata, karakter, motif, atau beberapa atribut dari orang yang membuat argumen ketimbang menyerang substansi dari argumen itu sendiri. Saling tuding dan saling menyalahkan. Menyampaikan kebenaran dirinya dengan menyalahkan lawannya. Masih emosian. Masih limbung dalam kebencian dan anti-antian. Bukan anti-sipasi.
Semua orang yang berlabel rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu mencita-citakan negara yang memiliki masa depan yang gemilang. Semua memiliki kehendak pada kebaikan dan perbaikan, termasuk dalam hal hajat politik dan pesta rakyat yang bernama Pemilu. Karena itu, menuju 2024 nanti, kita wajib bersama-sama menggeser paradigma perlombaan politik dari yang sekadar “politics” ke “policy”. Bukankah Output perlombaan politik dan kompetisi politisi adalah gagasan kebijakan? Mengapa kita tidak menyoroti capres-cawapres berdasarkan parameter rekam jejak kebijakannya selama ia mengemban amanah? Lupakan cita. Lupakan dongeng tentang presiden titisan tuhan atau yang semacam nabi dan sebagainya. Bersama-sama kita riset prestasi masing-masing Paslon. Bagaimana ia mereka men-deliver janji-janji kampanyenya? Berapa persen yang sudah ditunaikan? Apa gagasan besarnya jika ia menjadi pelayan masyarakat dengan menjadi presiden kelak? Apa jurusnya dalam menanggulangi hutang? Hutang ini menjadi beban nasional sampai anak cucu kita? Kenapa kita seperti “bertekuk-lutut” pada hal yang sebenarnya mudah ditangani sebagaimana persoalan minyak goreng? Bagaimana cara menerapkan action plan agar kita tidak tergantung pada importasi pangan?
Itu sedikit pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang, kita sendiri harus secara mandiri menemukannya. Apakah itu merepotkan? Memang merepotkan, tapi membiarkan diskusi atau perdebatan politikus berputar pada omongan “tidak ada kebaikan selain ianya ada di calon yang kami usung” lengkap dengan dongeng-dongeng ala langitannya yang tentu saja tidak menjejak ke bumi, jauh lebih merepotkan. Bukan hanya merepotkan dalam waktu Pemilu, melainkan merepotkan nasib bangsa, anak cucu, dan martabat kehidupan bernegara kita. Kita harus mampu menolak buaian “pertarungan jabatan” untuk dapat memastikan orang yang kita pilih benar-benar dapat menyentuh hingga ke tahap esensi amanah rakyat.
Mudah-mudah kita segera meng-insyafinya dan segera menggeser mind-set permainan dari sekadar tarian politics kepadan suguhan Policies. Semoga!
* Iwan Nur Iswan, Penulis adalah Inisiator Sahalang4nies