Cerita-cerita itu, hanya masa lalu. Sebelum semua dialihfungsikan menjadi kawasan industri. Lahan yang diandalkan oleh para petani sudah ditanami pabrik dan gedung. Petani mau tidak mau harus rela untuk dipensiunkan. Pantai-pantai juga telah dikuasai oleh orang-orang bermodal besar. Hotel megah menjadi pemandangan yang indah sekaligus menyedihkan. Indah karena bangunan-bangunan megah memang memanjakan mata. Menyedihkan, karena laut tempat berenang telah dibatasi pagar tinggi. Laut yang Tuhan ciptakan sudah dibeli. Dahulu saya tidak pernah membayangkan, ada laut diurug. Kalaupun ada orang kampung saya bilang, “Pekerjaan yang paling sulit adalah mengurug laut”, biasanya hanya sebagai bahan bercandaan. Kini, candaan itu jadi kenyataan.
Nelayan pasrah menggantungkan jala dan membiarkan perahu mereka habis dimakan plangton serta rayap. Sumber rezekinya yang digeluti sejak nenek moyang sudah hilang. Pekerjaan yang biasa dilakoni sudah tidak dapat diharapkan; sudah dikuasai limbah pabrik yang sengaja dibuang ke laut yang membunuh ikan-ikan di perairan dangkal. Jika para nelayan harus mencari ikan, harus ke tengah laut yang lebih jauh dari biasanya. Risikonya yang terlalu besar harus dihadapi, sedangkan hasilnya tidak menentu.
Meski sebagian besar sawah telah berubah wujud, masih ada petani yang memiliki sawah untuk ditanami. Tetapi sekarang para petani harus bersabar menunggu musim penghujan yang datangnya setiap enam bulan sekali, itu pun jika tidak dalam pancaroba. Irigasi-irigasi sudah tidak ada. Ini keadaan yang rumit. Sudah begitu, para petani dihadapkan pada harga pupuk yang makin gila-gilaan. Belum lagi harga hasil tanam mereka di pasaran dikalahkan oleh hasil pertanian yang diimpor dari luar negeri. Keadaan ini sering bikin saya ingin tertawa, tapi ini terlalu menyedihkan untuk ditertawakan.
***