InspirasiOpini

Antara Sayyidah Aisyah adalah Feminis, Islam adalah Sosialis, dan Generalisasi dalam Berpikir

Oleh : Hanif Farhan *

Dalam konteks ideologi sosialis yang telah ada sejak dalam jebot itu pun, rasanya tidak patut juga dikatakan bahwa islam adalah sosialis dan sebaliknya. Dalam hal ini, teman saya dalam diskusi itu memberi tanggapan:

“Lho, bukannya islam itu agama universal? Toh apa-apa yang ada di sosialis itu ada juga di dalam islam”.

Maka untuk menanggapi itu, saya ingin bertanya, apa itu Islam dan apa itu sosialis? Apa pula yang dimaksud tentang ke-universalan islam itu? Jika satu persatu telah didefinisikan dengan tepat, tentu kita tidak akan menggeneralisir bahwa keduanya adalah sama. Bahwa dalam Islam sangat dianjurkan untuk bersosial adalah benar, tetapi apa karena itu kita mengatakan bahwa Islam adalah sosialis? Apakah dua hal yang berbeda dan memiliki kesamaan patut dikatakan sebagai yang sama, sebagai yang satu?

Dalam contoh yang lain, saya punya teman pesantren bernama Afidz, orang-orang di pesantren bilang bahwa muka Afidz mirip dengan muka Pak Jokowi, lalu apakah dengan kesamaan muka itu dapat dikatakan bahwa Afidz adalah Jokowi? Tentu dalam hal ini mesti ada letak persamaan dan letak perbedaan, dengan kata lain adalah konteks. Jika mengatakan Islam adalah sosialis dan sebaliknya, tentu pernyataan ini adalah yang terlepas dari konteks dan setiap apapun yang terlepas dari konteks, maka demikian itu adalah perkara yang dihasilkan dari kerangka berpikir yang rancu.

Yang harus diketahui lagi, singkat saja, bahwa di dalam Islam ada Haqqul Adamiy juga ada beberapa ibadah ritual terhadap Tuhan yang telah ditentukan–yang kesemuanya itu tidak ada dalam sejarah sosialisme. Maka tegas saya katakan, bahwa keduanya adalah berbeda. Tetapi bagaimanapun, yang menjadi pokok masalah ini adalah bagaimana cara kita memandang. Dari cara kita memandang itulah ditentukan dari bagaimana cata kita berpikir.

Oleh sebabnya, melalui tulisan ini, dengan rendah hati dan pengetahuan saya yang terbatas, kiranya sangat penting untuk bagaimana berpikir agar tidak menggeneralisasi. Sebab tidak dapat dipungkiri, kebiasaan menggeneralisasi dalam berpikir ini telah banyak kita jumpai pada tokoh-tokoh yang punya otoriter di muka masyarakat yang pada akhirnya merusak peradaban manusia itu sendiri. (Red)

Hanif Farhan

 

Hanif Farhan, penulis adalah mahasiswa filsafat UIN Banten. Bergiat di Ponpen Utawi Iki-Iku dan Gaksa.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
Previous page 1 2 3

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button