***
Saya coba mencarinya di sawah, tempat dahulu ia biasa memandikan kerbaunya. Tetapi ia tidak ada, bahkan sawah dan kubangannya pun hilang. Saya hanya menemukan bangunan-bangunan yang dikelilingi pagar tembok beton. Di salah satu bagian ada gerbang besar yang dijaga oleh 3 orang lelaki berbadan tegap dan agak gempal. Para penjaga itu, pada waktu tertentu bergantian mengatur kendaraan yang hendak keluar atau yang akan masuk area bangunan yang sangat besar itu.
Bukan hanya kendaraan mewah, paling tidak 100 truk sehari bermuatan pasir atau entah yang lainnya juga menjadi bagian yang diatur oleh mereka bertiga. Dalam waktu 24 jam atau seharian penuh, ada 3 waktu untuk berjaga, jika 24 jam dibagi 3 maka hasilnya 8 jam, jadi waktu jaga mereka dalam satu waktu adalah 8 jam perhari untuk 3 orang, untuk seharian penuh berarti dibutuhkan 9 orang penjaga, itu belum termasuk penjaga yang sedang libur, jadi jika dihitung jumlah keseluruhan orang yang menjaga bangunan itu ada 12 orang penjaga dalam seminggu.
Saya dan orang-orang menyebut bangunan itu pabrik. Ya, bangunan yang dikelilingi tembok beton dan dijaga oleh 12 orang penjaga dalam seminggu itu adalah pabrik. Atau mungkin pabrik itu dijaga oleh lebih dari 12 orang karena saya tidak dapat memastikan apakah hitungan saya benar atau salah. Sawah dan kubangan yang dulu mempertemukan saya dengan lelaki paruh baya yang sempat saya anggap gila itu, musnah.
Pertemuan saya dengan lelaki paruh baya itu memang sudah sangat lama. Ketika itu, saya belum duduk di bangku Sekolah Dasar, sedangkan saya sekarang telah lulus kuliah. Baiklah rasa-rasanya tidaklah mungkin ia masih berada di situ. Tidak mungkin ia diangkat jadi manajer di pabrik yang dijaga dalam 24 jam itu.
Saya pikir, ia pasti tinggal tidak jauh dari pesawah. Karena itu, saya mencarinya di sebuah perkampungan yang paling dekat. Saya bertanya kepada masyarakat sekitar tentang lelaki paruh baya itu. Mulanya orang-orang kesulitan memahami lelaki yang saya maksud, karena saya tidak tahu namanya. Dulu Mameu meminta saya memanggilnya Yai. tetapi ketika saya menceritakan ciri-ciri dan kebiasaannya teriak di pesawahan, orang-orang langsung tertawa, tanda mereka mengerti lelaki yang saya maksud.
Ketika orang-orang mengatakan bahwa lelaki itu memang tinggal di kampung tersebut, saya sangat gembira. Seperti musafir yang lama merindukan seteguk air, akhirnya akan sampai juga saya pada pertemuan yang begitu saya inginkan. Tetapi air muka saya seketika berubah ketika orang-orang mengatakan bahwa lelaki paruh baya itu sudah lama meninggal dunia. Beberapa tahun setelah sawahnya dijual oleh anaknya sendiri kepada para pemborong yang kini menjadi pabrik.