InspirasiOpini

Tuhan, Kami Dikepung Bencana

Oleh Dzulkifli Jumari *

Lelaki paruh baya itu, di antara semua hal yang selalu saya lihat di pesawahan, baik ketika musim rendeng maupun musim kemarau, menjadi satu-satunya orang yang menarik perhatian saya. Ada satu kebiasaannya yang menurut saya sangat aneh. Ia kerap (sekali) mendongakkan kepala ke langit, lalu berteriak: “Tuhan, kami dikepung bencana!”

biem.coWaktu saya kecil, ada seorang lelaki paruh baya yang sering saya temui di pesawahan, tidak jauh dari kampung saya.

Lelaki paruh baya yang sering menyelempangkan sarungnya di kedua bahunya itu biasa memandikan kerbaunya, pada waktu matahari tepat di atas kepala  dan ketika matahari turun di antara perbukitan kampung yang tidak seberapa tinggi. Apa yang ia lakukan juga dilakukan oleh kebanyakan orang yang menggembala kerbau di sana, jadi ketika itu, tidak ada yang sungguh-sungguh perlu saya ingat tentangnya. Lagi pula di pesawahan bukan hanya ada para penggembala kerbau, ada orang yang mencangkul lahan garapannya dan ada juga yang sedang membenahi pagar-pagar yang rusak, di sisi yang lain. Di berbagai petakan sawah, ibu-ibu sedang mencabuti benih padi yang akan mereka tanam.

Lelaki paruh baya itu, di antara semua hal yang selalu saya lihat di pesawahan, baik ketika musim rendeng maupun musim kemarau, menjadi satu-satunya orang yang menarik perhatian saya. Ada satu kebiasaannya yang menurut saya sangat aneh. Ia kerap (sekali) mendongakkan kepala ke langit, lalu berteriak: “Tuhan, kami dikepung bencana!”

Saya tidak paham apa maksud lelaki kerempeng berbadan gelap yang sehari-harinya hidup di sawah itu. Saya juga tidak paham mengapa tidak ada satu pun orang di pesawahan yang menoleh ke arahnya, meski teriakannya begitu nyaring. Barangkali mereka sudah biasa mendengar teriakan lelaki itu, sehingga orang-orang sudah tidak heran mendengar teriakan-teriakan yang keluar dari mulutnya. Atau mungkin saja mereka mengetahui alasan mengapa lelaki itu berteriak? Apa sebenarnya yang ia maksud dengan bencana yang sedang mengepung mereka, atau kami? Saya juga?

Saya ketika itu masih terlalu kecil untuk memahami maksud kalimat-kalimat orang dewasa. Saya hanya tahu apa itu bencana. Saya tahu Tuhan itu apa. Setidaknya sebagaimana yang diajarkan oleh orangtua saya.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
1 2 3 4Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button