“Tetapi daya pikir kita tentang yang yang jelas dan yang bias tidak selalu stabil. Hati manusia terbolak-balik. Pengetahuan kita tentang kebenaran sangat mungkin belum sampai di titik benar, bukan?”
“Sayyidina Ali mengatakan: Jangan kenali kebenaran berdasarkan individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya kau akan kenal siapa penyandangnya. Tentu itu mudah untuk diterima, kan?”
Saya menarik cangkir putih berikut taktakannya yang juga berwarna putih yang terbuat dari keramik yang entah keramik macam apa. Saya menyeruput kopi sambil tetap menatap sepasang mata Pak Nurman. Sepasang mata yang telah melihat dunia lebih dari setengah abad itu menunjukkan bahwa masih banyak hal yang ingin ia katakan.
“Malam ini,” kata saya mencongkongkan tubuh ke arahnya. “Kita akan berbicara cukup jauh.”
Nurman tertawa.
***
Saya mengingat betapa sering kami membicarakan keberanian untuk memperkatakan kebenaran. Sepertinya, ini tema pembicaraan yang paling digemari Pak Nurman.
Saya tidak bosan, sebab saya juga menyukai tema pembicaraan ini karena sebagai manusia yang semoga memang manusia, saya selalu dihadapkan pada proses perkenalan dengan kebenaran. Tidakkah sebuah perkenalan selalu membuat jiwa bergetar dan kehendak untuk terus mencari begitu besar? Sering juga obrolan kebenaran di antara kami mengerucut pada bagaimana memperjuangkan kebenaran. Katanya, kebenaran tidak datang begitu saja tanpa maksud. Katanya, kebenaran datang kepada seorang manusia karena Tuhan menguji manusia untuk dapat bersikap dengan benar ketika dihadapkan pada kebenaran.
“Bahwa Tuhan membuat mata kita melihat batu di jalan raya tidak hanya untuk dilihat?”
Pak Nurman mengangguk dengan senyum yang sedikit saja.
“Batu itu diperlihatkan kepada kita agar kita berhenti dan menepikannya?” saya masih berusaha mendalami. “Begitu jugakah kebenaran?”
“Mana ada Tuhan iseng-iseng menunjukkan kebenaran kepada kita hanya agar kita melihatnya?” setelah berdaham Nurman menanggapi juga. “Mana ada Tuhan menciptakan manusia dengan akal pikiran hanya karena kebetulan?”
Kali ini saya yang tertawa terbahak-bahak. Saya mengangkat gelas kopi, mengajaknya turut meminum kopi yang tersedia di depannya, “Sepertinya kita mendekati malam larut,” ujar saya setelah melihat jam di telepon genggam.
“Jam larut pun tidak kebetulan, bukan?” celetuknya.
Kami saling lempar senyum sambil tangan kami sama-sama membereskan apa yang perlu kami bereskan. Pak Nurman sibuk dengan berkas-berkas yang ia rapikan, saya dengan laptop saya yang dengan segera dimasukkan ke dalam tas. Obrolan kami harus diusaikan meski kami mengerti tidak ada yang benar-benar selesai dari obrolan tentang kebenaran. Ia menggantung seperti buah apel hijau pada sebuah ranting yang hijau.
“Setiap kali memperkatakan kebenaran, konsekuensi sederhananya, menghadapi perlawan dari kebatilan,” ujar saya setelah sekilas menarik sleting tas. “Saya pikir, ada kalanya kita tidak selalu siap dengan konsekuensi sederhana itu.”
“Saya tidak setuju!” sanggahnya. ”Kebenaran tidak perlu diperkatakan pada keadaan yang tidak tepat, karena akan menjadi bagian dari kebatilan itu sendiri. Jadi bukan karena takut menghadapi konsekuensi.”
Malam ketika itu barangkali larut dalam napas kami masing-masing, ketika masing-masing kami keluar area Krakatau Junction menuju rumah; menuju kamar tempat di mana kami membaringkan tubuh kami dengan bahasa keletihan yang juga masing-masing. [Red]
Penulis adalah Pemimpin Redaksi biem.co