Ada seorang karyawan di sebuah perusahaan. Ia pekerja keras, berprestasi, dan memiliki loyalitas yang tinggi. Semua orang di dalam perusahaan itu mengakuinya. Tetapi karena karyawan itu tidak dekat dengan boss, tidak melakukan pendekatan yang lebih selain hanya untuk keperluan pekerjaan, jabatannya tidak pernah dipromisikan. Di sisi lain, ada karyawan lain yang pemalas, tidak memiliki inovasi dan gairah yang lebih di dalam bekerja, ternyata mendapatkan promosi jabatan yang sangat cepat. Hanya karena karyawan itu loyal terhadap boss. Loyalitas kepada perusahaan rupanya berada pada nomor seratus, sementara loyalitas kepada boss adalah nomor wahid.
“ Dari cerita itu, jelas pelanggaran, Melanggar asas keadilan sebagai manusia,” ujar Nurman. “Jelas benar jika saat itu posisi karyawan yang rajin itu diperjuangkan.”
“Atas dasar apa?”
“Ya, atas dasar kenyataan!”
“Jadi,” saya menatapnya seperti tatapan seorang penyidik. “Ini berbicara tentang memperjuangkan kebenaran?”
“Adakah kebenaran yang tidak perlu diperjuangkan?” selidiknya.
Lagi-lagi kami tertawa kecil. Masing-masing kami menyeruput kopi yang tersedia di depan kami. Sebuah meja berbentuk elips dengan lubang elips di tengahnya cukup membuat perbincangan kami semacam acara talkshow di televisi. Tentu tidak persis seperti itu.
***
Pada begitu banyak catatan, kebenaran pada manusia hanya sebagai pantulan cahaya, bukan sebagai cahaya itu sendiri atau sebagai pecahan-pecahan dari “sesuatu yang utuh”. Sebab kebenaran tidak dapat sebagai yang utuh pada diri manusia, pertentangan seringkali terjadi di bumi. Tentu saja, saya tidak percaya juga, jika ada yang mengatakan semua kebenaran itu relatif. Sebagaimana Rumi, sufi paling diingat oleh para penggemar dunia pemikiran dan penghayatan, yang mengatakan cinta adalah “laut ke-tak ada-an”, kebenaran pula sering hadir sebagai yang dikabuti, acapkali tak seberapa jelas, meski sesekali tampak tegas.
“Bagaimana jika yang Pak Nurman pikir benar ternyata salah?” saya kembali bertanya. Lebih tepatnya mengusik.
“Apakah yang tampak jelas layakkah diragukan?”
“Bukankah kecurigaan terhadap diri sendiri selalu perlu dihadirkan di tengah keyakinan kita tentang kebenaran yang berada pada pandangan kita?”
“Yang jelas tetap jelas, yang remang tetap remang, dan yang bias tetap bias. Tidak tertukar.”