biem.co – “Saya tidak suka cari aman!” kata Nurman. “Jika sesuatu perlu dikatakan, katakanlah.” Saya sedang mengenang obrolan malam di ruang rapat lantai 3 gedung Krakatau Junction ketika Nurmasyah Hasan Basrie masih menjabat sebagai Sekretaris Umum Primkokas, Primer Koperasai Karyawan Krakatau Steel yang berhasil masuk dalam 100 koperasi besar di Indonesia. Obrolan kami agak memanas. Ada, sepertinya, yang mengganggu pikirannya. Saya cukup mengerti bagaimana bahasa tubuhnya berbicara sehingga kegelisahan itu sudah lebih dahulu sampai ke syaraf otak saya sebelum kata-kata meluncur. Qodarullah, di ruang rapat sedang tidak ada siapa-siapa, hanya kami berdua, jadi kami dapat berbicara agak terbuka.
Untuk beberapa saat saya memilih menghabiskan terlebih dahulu bakso yang telah dipesankan olehnya untuk saya dari Restoran Ecco yang terletak di area luar Krakatau Junction. Saya menarik gelas kopi, meneguknya sedikit, meletakkannya kembali di meja, lalu bersiap untuk mendiskusikan sesuatu yang akan membuat tengkuk saya terasa berat.
“Kapan sesuatu perlu dikatakan?” tanya saya agak menyelidik, beberapa saat setelah saya meneguk air putih, mengelap bibir dengan tisu.
“Ketika kita meyakini kebenaran.”
“Kapan kita yakin bahwa kita benar? Bukankah sangat mungkin setiap orang memiliki keyakinannya sendiri tentang kebenaran? Posisi benar dan salah kadang hanya soal perspektif, bukan?”
Kami tertawa kecil.
Bumi tiba-tiba terasa ada di tengah meja tempat kami dipertemukan, sementara kami tiba-tiba berasa lebih besar dari bumi. Tiba-tiba saja bumi itu harus kami perhatikan dengan seksama dan kami saling memberitahu apa yang kami lihat. Tentu saja, kami tidak seperti dalam ruang interogasi. Nurman meminta saya menyantap beberapa jenis buah di meja pada sebuah parsel yang bentuknya sebagaimana parsel pada umumnya ditemukan di pasar-pasar atau dalam lamaran pernikahan. Saya memilih pisang, karena pisang lebih bergizi dari apel, meski prestise memakan apel menunjukkan strata sosial yang lebih tinggi daripada memakan pisang. Setidaknya itu omongan yang saya dengar waktu kecil di kampung.
“Kebenaran tetap saja kebenaran,” katanya menyambung obrolan. “Tetapi memang ada kebenaran yang tidak dapat dibicarakan dengan sangat tegas, misalkan kebenaran masing-masing pribadi.”
“Saya tidak akan bertanya, apa yang tidak dapat ditegaskan. Jadi, kebenaran macam apa yang dapat ditegaskan?”
Ia menghadirkan pemisalan melalui sebuah cerita.