InspirasiOpini

Hutang di Masyarakat Kita

Datanglah tukang kerupuk dengan memikul 2 tabung besar berisikan kerupuk putih bersulam warnah putih, kuning dan bergantung 2 buah kaleng kerupuk untuk pelanggan baru.

Bade, Neng, Kerupukna?”

“Iya, Mang,” jawab ibu tadi yang kehilangan alat masaknya.

Dikeluarkan kaleng kerupuknya, dihitung kerupuk sisanya, diganti dengan yang baru, ditulis kembali.

Ayeuna arek setor sabaraha, Neng?”

Punteun, Mang, sa ayane wae, eunya?”

“Mangga, Neng. Nu penting aya setoran. Asal ulah kosong wae,” tukas sang maestro kerupuk.

Bibir dan hati saya tersenyum menyaksikan hal tersebut. Ternyata, sang ibu tersebut, menahan sejumlah uang recehnya karena memikirkan setoran kerupuk yang sudah jatuh tempo.

Gali lobang tutup lobang. Nu peunting, beuteung anak aing wareug,” gerutu ibu itu, kira-kira.

Itulah potret sederhana, fakta kualitatif kehidupan masyarakat di era tahun 70-an, di sudut kota, lorong jalan, dan pemukiman, rakyat yang berjuang membesarkan generasi NKRI yang akan bertanggung jawab untuk masa depan bangsa. Apakah hutang telah menjadi masa lalu atau sebetulnya keadaan tidak berubah, hanya saja istilah, kesan, dan sistem yang dibuat menjadi “terlihat” sangat berbeda?

Saat ini, hutang piutang lebih modern di era 4.0, syarat ringan, tanpa DP, bunga ringan, cicilan bisa diatur dan lain-lain. Petugasnya gagah, berdasi, ganteng, cantik, menarik, senyumnya menggoda setiap insan. Mau ambil motor bisa, mobil bisa, rumah bisa, cash bisa, mau pensiun bisa, haji bisa, umroh bisa, over kredit bisa, apeu bae biseu, pokone utang apa aja bisa diatur selama mau berhutang dan siap dengan segenap konsekuensinya.

Modal usaha dengan memanfaatkan kredit dari gaji, tunjangan profesi guru, pada awalnya membuat masyarakat kita dapat menikmat angin surga, motor baru, mobil baru, rumah baru dari hasil usaha yang membawa keuntungan. Dalam manajemen risiko aktivitas apapun yang terkait dengan pihak lain tetap mengandung risiko yang harus diantisipasi.

Bila tagihan tidak lancar, ditipu klien, rekanan dan sahabat yang tidak setia lagi, judi, godaan nafsu angkara murka di dalam diri akan merajalela. Kerenggangan rumah tangga, perlahan tapi pasti menuju ke jurang kehancuran. Habis manis sepah dibuang, peribahasa yang saya hapal dari SD kelas 3 itu membawa bukti nyata saat ini: masyarakat kita terlilit hutang, seperti “bernapas di dalam lumpur”.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
Previous page 1 2 3Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button