biem.co – SETELAH ditanggalkan oleh para pemimpin eksekutif yang telah dipilih secara demokratis, karena masa periode sudah habis dan pada saat yang sama posisi atau jabatan tersebut ‘diberikan’ kepada pejabat sementara (Pjs). Proses peralihan kekuasaan ini, dalam perspektif publik tampaknya telah menuai diskursus yang tak berujung sampai saat ini. Sebab, pertama, tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses pemilihan Pjs ini. Kedua, absen pula dalam melibatkan lembaga parlemen sebagai salah satu institusi representasi di Indonesia. Ketiga, para kandidat yang ditampilkan juga hanya diketahui oleh segelintir elite politik, termasuk kelompok local strongmen. Dalam hal ini, tidak ada upaya transparansi dan akuntabilitas yang inklusif kepada khalayak publik.
Dalam kaitan tersebut, tanpa adanya keterlibatan publik tentu akan memengaruhi salah satu bentuk kekuatan, dalam hal ini legitimasi yang akan diperoleh. Karena, Pjs berbeda dengan Gubernur yang dikehendaki oleh publik. Di satu sisi, Pjs merupakan hasil rekomendasi dari daerah dan diajukan ke pemerintah pusat untuk diseleksi. Sedangkan, di sisi yang lain, Gubernur dipilih melalui proses elektoral yang selalu digelar secara reguler.
Dengan kata lain, legitimasi antara pemimpin yang terpilih secara demokratis melalui mekanisme pemilu akan berbeda dengan pejabat sementara yang hanya ditunjuk oleh pemerintah pusat. Akibatnya, akan berimbas pada legitimasi pemerintahan dalam mengelola roda pemerintahan. Hal ini tentu akan berdampak juga pada keefektifan dan keefesiensian dalam menjalankan berbagai aktivitas program dan kegiatan. Sementara itu, secara eksplisit hal ini juga sangat jelas ada upaya resentralisasi kekuasaan, karena hak masyarakat untuk sementara diambil, termasuk mencederai spirit otonomi daerah yang selalu dibicarakan dalam forum-forum politik.