Fahrisal Saputra melukis Khi Sholeh setengah badan di balik tiga gelembung awan dekoratif. Digambarkan sebagai sosok laki-laki berusia sekitar 40-50 tahun. Ia menggunakan romal (penutup kepala yang terbuat dari lipatan kain). Tepat di sisi kanan-kiri kepala Khi Sholeh terdapat dua ayam jago. Khi Sholeh dilukis dengan nuansa hitam putih, sementara dua ayam jago itu berwarna. Terasa kontras. Hal tersebut membuat saya berpikir bahwa lukisan itu sebagaimana umumnya lukisan tokoh-tokoh yang saya temukan di berbagai poster. Saya belum mengecek tradisi berpakaian di masa Khi Sholeh hidup, sehingga tidak dapat menanggapi mengenai hal tersebut. Namun ada satu hal yang mengusik saya.
Di permulaan pemaknaan karya Fahrisal, saya sengaja menerakan gambaran betapa kompleks sejarah Gunung Santri. Sebagian besar belum diketahui khalayak. Hal tersebut membuat saya membayangkan, jika Fahrisal berkenan mengeksplorasi sejarah yang ada, mungkin setelah ini, akan lahir lukisan lain yang memberi daya kejut.
Sampai di sini, napas cukup diuji oleh berbagai kemungkinan pemaknaan atas karya-karya Banten Art Community, bukan? Ini belum selesai. Saya terus bergerak sambil sesekali bercakap-cakap dengan pengunjung lain dan beberapa perupa yang melintas. Langkah saya terhenti untuk menikmati karya-karya Anto Buang. Seseorang yang pada mulanya saya kenal sebagai seorang komikus. Ada dua karya. Pertama, Bajang. Kedua, Tarung. Keduanya masih memberi kesan “komik” pada diri saya. Dari keduanya, saya lebih tertarik untuk menanggapi “Bajang”.
Pada “Bajang” ada sesosok manusia yang dilukis seperti tokoh wayang. Wajahnya merah gelap, hidungnya sebesar jambu air, alisnya melengkung sangat tebal, kantung matanya bulat besar dengan bola mata yang kecil, bibirnya tersenyum lebar sehingga kumis tebalnya terangkat. Saya tidak tahu apa maksud dari nama “Bajang”. Referensi saya tentang “bajang” hanya satu, yakni kelapa yang kulitnya telah mengering keriput karena tidak ada isinya. Tak dapat dimanfaatkan selain untuk bahan bakar di sebuah tungku. Pelan-pelan saya menerka maksud lukisan itu, tapi jika harus detail betul, saya tidak dapat melakukannya. Hal yang dapat saya tangkap hanya tentang “sosok manusia jahat” karena senyum dan warna yang dipilih oleh Anto mengarah kesana. Siapa manusia jahat itu? Ia mengenakan jas rapi dan berdasi. Rambut panjangnya diikat.
Beralih ke karya MT. Harsana: “Senja di Baduy” dan “Jalur Merah”. Pada “Senja di Baduy” ada sebuah lingkaran berwarna merah. Di bagian tengah, warnanya merah pekat. Semakin ke tepi mendekati garis batas putih yang juga melingkar, warna merah lebih terang. Di bawahnya ada 6 sapuan kuas tak beraturan, cenderung meliuk yang juga berwarna merah. Sampai di sini, saya belum menemukan jalan pemaknaan yang lebih selain menyadari posisi tekstur garis geometris berwarna abu-abu dan putih. Ianya cukup fungsional untuk menjelaskan bahwa lukisan tersebut menunjukkan suatu tempat atau wilayah. Apakah hanya itu? Jawabannya ada pada garis geometris, latar putih dan abu-abu, serta warna merah. Jalur merah pun kurang lebih sama polanya dengan “Senja di Baduy”.