SkriptoriaTerkini

Menapak di Jejak Masa Banten Art Community

Pemaknaan terhadap “tungku” sangat bergantung pada siapa yang memaknai karena tidak saya temukan (mungkin ada tapi saya gagal menemukannya) simbol pembatas pemaknaan tentang tungku itu selain tajuknya yang jauh lebih umum, Pawon yang dalam bahasa Indonesia berarti dapur. Mungkin pada kondisi inilah gunanya teori Petanda dan Penanda;  semiotika signifikasi yang lebih mengutamakan pemahaman suatu tanda pada penerima tanda dibandingkan pada proses komunikasinya. Saya jadi asyik sendiri membayangkan sepasang tangan Ibu saya saat menekuni lukisan Idy. Terasa betul bahasa cinta seorang di dapur yang dijaga dengan setia seumur hidupnya.

Hal yang berkaitan dengan tungku tentu saja adalah sesuatu yang dimasak. Ada Rabeg adalah karya Fandi: beberapa potongan daging kambing berkuah kental dalam mangkuk yang diletakkan di atas tumpukan daun pisang. Rabeg adalah makanan khas Banten, khususnya di wilayah Serang bagian barat dan Cilegon. Secara tradisi, rabeg sangat jarang dimasak oleh perempuan. Biasanya para lelaki yang mengurus sejak menyembelih kambing, membersihkan dan memilah organ dalam yang dapat dikonsumsi, hingga proses memasak. Bahan utamanya daging kambing. Jika bukan daging kambing, walau bumbunya sama, tidak dapat disebut rabeg. Perbedaan wilayah menentukan rasa. Di wilayah Serang bagian barat, rabeg cenderung pedas, sementara di wilayah Cilegon, cenderung manis. Hal-hal yang saya sebutkan di atas itulah yang diantarkan Fandi melalui karyanya.

Saya menyukai “Rabeg”, walau pikiran saya berkata: “Bagaimana kalau rabeg digambarkan tidak semata-mata rabeg yang dihidangkan di sebuah mangkuk? Misal, bermain simbol tradisi memasaknya atau menggambarkan nuansa hajatan. Sepengetahuan saya, istilah hajatan, khususnya pernikahan di tengah masyarakat kita disebut ‘ngerabeg’. Jika ada seorang teman bertanya kepada temannya dengan pertanyaan, ‘Kapan mengundang saya makan rabeg?’ berarti itu sedang bertanya ‘kapan menikah?’. Tetapi saya sangat yakin, Fandi–lelaki muda yang rumahnya hanya beberapa langkah dari sekretariat komunitas saya ini–memiliki cara pandang tersendiri tentang hal itu.”.

Pada gilirannya, langkah saya mengarah ke karya-karya Kei. Perupa beralis tebal yang pembawaannya cukup menarik. Ada tiga karya yang ia suguhkan. Di antara ketiganya, saya lebih tertarik pada sketsa wajah seseorang yang tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri.

Sketsa itu membuat saya teringat pada apa yang saya percaya. Saya percaya, cara manusia melihat wujud manusia hanya sebatas kemampuan mata melihat. Sebatas itulah perwujudan seseorang tercitrakan lalu tersimpan di dalam pikiran, jiwa, dan ingatan. Di luar setiap hal yang tampak di dalam kedirian manusia, sangat banyak yang tak tampak, di antaranya adalah mental (untuk menghindari pembicaraan tentang ruh, roh, dan semacamnya yang tidak saya kuasai). Kondisi mental seseorang seringkali tak setara dengan kondisi fisik, walau mau tidak mau mental mempengaruhi perwajahan fisik walau tidak selalu berpengaruh pada fisik itu sendiri. Sederhananya, mentalitas akan sangat berpengaruh pada pembawaan seseorang, walau tidak selalu berpengaruh pada bentuk wajah dan tubuhnya. Misal, seseorang yang pada dasarnya beralis tebal, ya, tebal saja. Tidak akan berubah dalam keadaan mental apapun. Dalam hal ini, saya mengesampingkan orang-orang yang lahir dengan bawaan mental tertentu.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
Previous page 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button